ArtikelDarimuFEATUREDReligiTOP STORIES

Induk Keutamaan Manusia: Mambaca Ulang Al Ghazali

Oleh: Iga Kurniawan, S.H., M.Ag.,

Membaca ulang dalam kasus ini bukan berarti menelaah dan mengkritik penilaian dan penafsiran terdahulu tentang tema yang sama terhadap al-Ghazali. Ini hanya pembacaan ulang saya atas pembacaan-pembacaan saya sendiri yang dulu mungkin kurang komprehensif dan detail tentang induk keutamaan dalam diri manusia menurut al-Ghazali.

Dalam karyanya, Ma’arij al-Quds, al-Ghazali menilai bahwa manusia sesungguhnya memiliki keutamaan-keutamaan (al-fadlail) yang berupa sifat bawaan dari Tuhan. Keutamaan-keutamaan tersebut ialah al-hikmah, al-iffah dan al-syaja’ah. Ketiganya merupakan jalan tengah antara dua persimpangan negatif dalam diri manusia.

Pertama, al-Hikmah yang merupakan keutamaan akal. Ia mampu mengendalikan akal apakah akal ini menuju dimensi yang tinggi atau dimensi rendah. Al-Hikmah merupakan titik keseimbangan antara dua hal buruk yakni al-Khob (tipuan) dan al-Balh (kedunguan).

Al-Khob (tipuan) merupakan tingkah negatif manusia yang memaksakan akal sehat untuk menipu dan membohongi pihak lain untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam kondisi ini manusia tidak segan melakukan cara apa pun untuk mencari pembenaran, tipu daya bahkan menumbalkan orang lain untuk mencapai tujuannya.

Sikap sebaliknya ialah al-balh (kedunguan), yakni lemahnya nalar dan jiwa seseorang sehingga tidak mampu menolak seluruh keburukan pada dirinya. Sikap semacam ini biasanya muncul dari kurangnya pengetahuan, sempitnya wawasan dan cakrawala seseorang sehingga ia justru menjadi objek tipu daya orang lain.

Kedua, al-iffah yang merupakan pengendalian diri. Al-Iffah merupakan jalan tengah antara dua hal negatif lainnya. Dari aspek ini, al-Ghazali menilai manusia memiliki potensi negatif menuju dua sisi yang berlawanan, sisi atas yang disebut al-syarhu (kerakusan) dan sisi bawah yang disebut khumud al-syahwat (padamnya keinginan).

Sisi pertama merupakan dorongan syahwat yang berlebihan untuk mencapai kenikmatan semu yang seharusnya ditentang oleh akal. Sedangkan sisi kedua adalah sebaliknya, yakni melemahnya dorongan dalam diri untuk mencapai kemaslahatan yang didukung oleh akal. Di antara keduanya lah al-iffah berada. Ia mengawal dan menuntun manusia untuk mencapai tujuan sesuai yang dibenarkan oleh akal secara proporsional. Dengan al-iffah manusia mampu menilai dan mengendalikan syahwat (keinginan) yang berlebihan serta mampu memotivasi diri untuk mencapai hal-hal yang diperlukan.

Ketiga, al-syaja’ah yang merupakan sisi keberanian manusia. Al-Syaja’ah merupakan pengendali emosi agar tidak berlebihan dan juga tidak terlalu lemah. Ia berada di antara dua sifat negatif lainnya, yakni at-tahawwur (ngawur) dan al-jubn (pengecut).

Al-Tahawwur atau sikap ngawur dalam pandangan al-Ghazali merupakan sikap yang melebihi kadar proporsional. Ia menyeret manusia pada aktifitas negatif yang membahayakan. Orang yang didominasi oleh karakter ini seringkali berbuat sesuatu tanpa pertimbangan rasional dan matang. Akhirnya ia akan terjerumus pada penyesalan.

Di sisi yang lain, ada sikap al-jubn yang menjadi sisi negatif lainnya dalam diri manusia. Ia dalam pandangan al-Ghazali- menggambarkan sisi manusia yang sama sekali tidak memiliki keberanian dan rasa percaya diri untuk menolak penindasan, penghinaan dan kenyataan pahit yang menimpa dirinya. Sikap ini dianggap buruk karena manusia seharusnya memiliki inisiatif untuk maju mengembangkan potensi diri yang diberikan oleh Tuhan.

Ketiga potensi positif dalam diri manusia itu, baik al-hikmah, al-iffah dan al-syaja’ah disebut al-Ghazali sebagai al-‘adalah, sikap moderat yang dimiliki manusia. Manusia dengan bekal kemampuan alamiah tersebut seharusnya dapat mengendalikan dirinya agar selalu berada dalam jalur kehidupan yang tepat sebagai individu maupun sebagai bagian dari masyarakat sosial. Ketiganya, dan ditambah dengan al-‘adalah– itulah yang dimaksud oleh al-Ghazali sebagai induk keutamaan (Ummahat al-Fadlail).

Dengan kata lain, apabila manusia mampu menggunakan ketiganya pada momentum yang tepat, maka ia akan menjadi makhluk yang utama di hadapan Tuhan dan di hadapan manusia lainnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *