Minta APBN, JMPI: Erick Jangan Jadi Lintah Darat
JAKARTA, MZK News – Permintaan anggaran negara dari APBN oleh Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam bentuk Penyertaan Modal Negara (PMN) maupun Dana Talangan, dinilai tidak tepat. Apalagi permintaan anggaran tersebut dilakukan ditengah kondisi APBN yang defisit, akibat dari kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebagai upaya pencegahan penyebaran Covid-19.
Koordinator Presidium Jaringan Pemuda dan Mahasiswa Indonesia (JPMI), Deni Iskandar mengatakan, pihaknya sampai saat ini masih merasa aneh dan janggal. Pasalnya, menurut Deni, ditengah APBN defisit seharusnya BUMN sebagai jantung negara, bisa tampil berperan membantu negara, dengan cara memberikan semua deviden dari perusahaan yang dikelola oleh BUMN.
“Justru saya merasa heran dengan kehadiran BUMN saat ini, postur APBN kita saat ini kan defisit akibat kebijakan PSBB, kalau defisit artinya negara kekurangan anggaran. Kemudian negara punya usaha kan, seharusnya usaha-usaha itu memberikan untung, apalagi ini usaha negara, potong kuping gw kalau semua usaha-usaha negara di BUMN itu rugi semua. Gak mungkin rugi semua,” kata Deni, Senin (13/07) dalam keterangan persnya.
Mantan Ketua HMI Cabang Ciputat Bidang Partisipasi Pembangunan Daerah yang akrab dipanggil Goler itu juga menegaskan, postur APBN Tahun 2020 yang defisit itu bisa ditutupi, apabila Menteri BUMN, Erick Thohir serius mengelola semua perusahaan negara yang dinaungi Kementerian BUMN itu.
“Kondisi APBN yang defisit saat ini sebenarnya sangat bisa diatasi, jika Erick Thohir serius mengurus BUMN, banyak caranya, salah satunya dengan cara, memberikan semua deviden perusahaan yang dikelola oleh BUMN untuk negara. Baik itu dari deviden perusahaan, aset perusahaan maupun pajak perusahaan BUMN.” Tegas Deni.
Ia menambahkan, cara tersebut sesuai dengan amanat UU No 19 Tahun 2003 Tentang Kementerian BUMN. Dimana dalam pasal (2) dijelaskan, maksud dan tujuan didirikannya BUMN adalah untuk “Memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian
nasional pada umumnya, dan penerimaan negara pada khususnya”.
Menurut Deni, saat ini kehadiran Kementerian BUMN dibawah kepemimpinan Erick Thohir, amanat dalam UU No 19 Tahun 2003 itu tidak dijalankan.
“Faktanya hari ini fungsi BUMN dalam UU tidak dijalankan oleh Erick Thohir. Justru yang ada Menteri BUMN ini meminta anggaran dari APBN yang defisit ini, sebesar 155 Triliun. Maksudnya apa, dan dimana menopang perekonomian negaranya, ini jelas sangat membebani negara. Menteri BUMN, Erich Thohir ini seharusnya jadi Super Hero untuk negara, bukan malah jadi lintah darat buat negara ini,” pungkas Deni.
PMN Untuk BUMN Tidak Layak
Informasi, berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) No 72 Tahun 2020, pemerintah saat ini telah mengucurkan anggaran dari APBN 2020 dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sebesar 155,60 Triliun untuk Kementerian BUMN. Kucuran anggaran tersebut, diberikan Kementerian BUMN kepada 17 Perusahaan.
Adapun Dana tersebut, diberikan kepada Kementerian BUMN dalam bentuk pencairan utang pemerintah sebesar, Rp 108,48 Triliun, Penyertaan Modal Negara (PMN) Rp 15,5 Triliun, dan pencairan anggaran dalam bentuk lainnya sebesar Rp.19,65 Triliun.
Direktur Kajian Bidang Ekonomi, Indonesian Of Social Political Institute (ISPI), Muhamad Yusuf saat di konfirmasi terpisah, Senin (13/07) mengatakan, langkah Kementerian Keuangan memberikan anggaran negara kepada Kementerian BUMN ditengah kondisi APBN defisit dianggap kurang tepat, dan tidak mengedepankan resiko investasi.
“Pemberian anggaran yang diminta Kementerian BUMN dari APBN ini, menurut pandangan saya, justru aneh. Contohnya, untuk PT Bahana Pembina Usaha Indonesia atau BPUI, PT Krakatau Steel Tbk dan PT Hutama Karya ini, jelas sangat tidak layak, karena memang tidak urgent untuk diberikan anggaran,” kata Yusuf.
Misalnya, tambah Yusuf, pemberian anggaran negara untuk PT Bahana Pembina Usaha Indonesia (BPUI) jelas tidak urgent, sebab pemberian anggaran tersebut untuk penanganan kasus korupsi Jiwasraya.
“Sekarang begini, itu pemberian anggaran negara untuk PT BPUI dalam bentuk PMN sebesar Rp. 11,8 Triliun itu untuk membayar klaim asuransi Jiwasraya yang dikorupsi. Sekarang yang salah ini siapa, ko jadi negara yang nanggung. Jiwasraya itu mutlak kesalahan management internal perusahaan BUMN, kenapa bebannya diberikan ke negara,” tambah Yusuf.
Selain itu, Yusuf juga mempertanyakan soal suntikan dana sebesar Rp.3 Triliun, yang diberikan untuk PT Krakatau Steel Tbk. Menurutnya, pemberian anggaran tersebut tidak layak dan tidak mengedepankan management resiko investasi.
Berdasarkan data analisis, Indonesian Of Social Political Institute (ISPI), selalu berkutat diangka rugi. Pada tahun 2015 angka kerugian PT Krakatau Steel berada diangka sebesar Rp. USD 326,514 Juta, kerugian ini adalah angka tertinggi. Sementara pada semester 1 tahun 2019, PT Krakatau Steel mengalami kerugian diangka sebesar, USD 137,6 Juta.
“Disinilah anehnya, kalau memang PT Krakatau Steel ini rugi terus, yang salah bukan negara, tapi pengelolaannya, dan itu yang harus dievaluasi adalah management internal perusahaan itu sendiri. Kalau bicara terdampak, semua bisa bilang terdampak, termasuk tukang tempe dan tahu juga terdampak. Kan Krakatau Steel perusahaan yang bergerak di bidang produksi Baja, dimana terdampaknya, kan pembangunan pemerintah jalan terus meskipun ada Covid-19,” pungkas Yusuf.
Reporter: Erfan Nurali
Editor: Martha