Drama COVID-19: Mengupas Revolution Bargaining Versi WHO
Oleh: Martha Syaflina
Banyak hal yang menuai kontroversial seputar pernyataan Presiden Indonesia, Joko Widodo beberapa waktu yang lalu. Menurutnya, berdamai dan hidup berdampingan dengan Covid-19 merupakan solusi yang cocok untuk saat ini. Hal ini dilakukan tentu dengan menerapkan protokol kesehatan yang ada di Kementerian Kesehatan.
Bagi sebagian masyarakat menanggapi pernyataan ini dengan sebuah ketidakkonsistenan pemerintah dalam menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Semula menerapkan untuk selalu berdiam diri dirumah. Lalu, beberapa waktu ke depan mengajak untuk berdamai. Inilah yang memunculkan polemik besar tentang meningkatnya kasus Covid-19 di Indonesia.
Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization) dalam ini juga sudah banyak mencari solusi. Bahkan untuk menerapkan kedisiplinan dalam mengisolasikan diri di rumah. Banyak hal yang menyebabkan WHO kewalahan. Apalagi tekanan kiri-kanan membuatnya harus melawan arus itu sendiri. Salah satunya, ancaman dari Gedung Putih. WHO seolah-olah dituntut untuk sejalur dengan mereka.
Menilik Pendapat Pak JK
Jusuf Kalla (JK) pun buka suara tentang ajakan Presiden Jokowi untuk berdamai. Ada cara pandang yang berlawanan dari JK terhadap solusi yang diberikan presiden. Ini memunculkan asumsi publik yang tak bisa dielakkan. Salah satu perkataan JK: “Virusnya tidak bisa berdamai, gimana?”. Masuk akal juga. Sebab, sifat sebuah virus akan ada masa puncaknya lalu melemah. Ini terjadi jika objek yang ditularkan tidak ada.
Bagaimana bisa jika berdamai itu dijadikan solusi? Banyak hal yang harus diperhatikan dalam hal ini. Salah satunya kedisiplinan dan kewaspadaan masyarakat Indonesia sendiri. Masih banyak yang kurang patuh terhadap himbauan PSBB sehingga untuk berdamai terlihat susah sekali diterapkan. Bila seseorang keluar rumah, bisa menularkan beberapa orang setelahnya. Apa maksud dari berdamai yang digemborkan Presiden Jokowi ini sebenarnya?
Sikap WHO dengan Kata “Berdamai”
Setelah asumsi mengajak berdamai semakin ramai dibicarakan, WHO juga mengeluarkan statement yang sama. Bisa dibaca di beberapa laman media bahwa saran WHO diawal adalah mengajak dunia untuk berdamai dengan Covid-19. Statement ini didukung dengan kembali merebaknya Covid-19 jenis baru di China.
Apalagi saat ini yang diserang Covid-19 banyak dari kalangan anak-anak. Seperti yang terjadi di Italia, China dan Amerika. Sudah hampir mencapai 2% menjangkiti anak-anak. Ini tidak bisa dibiarkan dengan hanya berdamai. Diperlukan solusi konkrit pemerintah dan WHO untuk lebih memperhatikan hal ini.
Seperti halnya di Indonesia, masih mengalami peningkatan. Untuk menurunkan kasus juga susah. Apalagi keterbatasan peralatan kesehatan membuat semakin lambatnya aksi menyelamatkan nyawa yang sudah diserang Covid-19. Jika berdamai dijadikan solusi, ini sangat kurang tepat.
Disetujuinya Revolution Bargaining
Setelah kata “berdamai” menghilang, muncul lagi sebuah persetujuan yang melibatkan dunia. Ajakan untuk melakukan revolusi dalam penanganan pandemi. Beberapa negara sudah tergabung, termasuk Indonesia untuk mendukung revolusi ini. Banyak harapan dari kata “revolusi” ini.
Baru-baru ini WHO melaporkan bahwa sudah disahkan tentang revolusi untuk menangani Covid-19. Revolusi ini disponsori bersama, termasuk Indonesia ikut di dalamnya. Revolution Bargaining ini menurut berita di waspada.id sudah disetujui WHO. Salah satu isinya, WHO akan melakukan evaluasi mandiri atas penanganan Covid-19. Hal ini bertujuan untuk perbaikan upaya global dalam pencegahan, kesiapsiagaan, dan perbaikan kapasitas penanganan pandemi atau krisis kesehatan global di masa akan datang.
Bisa dilihat perundingan revolusi ini memunculkan suasana baru untuk memperjelas kata “berdamai” yang sudah diucapkan Presiden Jokowi. Bila ini terjadi, ini akan menimbulkan peraturan baru yang harus diterapkan dunia. Peraturan inilah yang akan membuat tatanan baru di semua negara untuk hidup “berdamai” dengan Covid-19.
Kilas Balik Penerapan Aturan di Indonesia
Tingkat keberhasilan revolusi WHO perlu juga kita anggap menarik. Sebab, ini juga termasuk usaha untuk lebih mengetatkan lagi beberapa aturan yang sudah berlaku. Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia saat ini bisa dilihat masih lemah dan abai terhadap aturan. Aturan PSBB saja masih sering dilanggar. Sebaiknya, WHO juga mengkaji hal-hal tentang kebiasaan masyarakat di belahan dunia, salah satunya Indonesia.
Jika Indonesia patuh dan taat serta dukungan pemerintah konsisten. Besar harapan PSBB ini akan berhasil. WHO tidak perlu mengadakan revolusi. Hanya menyiapkan bagaimana ke depannya untuk menangani Covid-19 berskala kecil. Ini juga akan menjadi pertimbangan besar untuk WHO. Begitu juga pemerintah Indonesia. Diharapkan konsisten dan komitmen untuk menjaga aturan yang sudah dibuat.