Keajaiban Bulan Rajab
Foto: Ilustrasi (Sumber: suara.com)
Oleh: Iga Kurniawan, S.H.,M.Ag.
Ada salah satu ayat dalam al-Qur’an yang menyebut empat bulan yang mulia dalam satu tahun. Kalau tidak salah di surat al-Taubah ayat 36. Terjemah ayat tersebut tertulis; “Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya ada 4 bulan haram”. 4 bulan haram tersebut adalah Dzhul Qa’dah, Dzhul Hijjah, Muharram dan Rajab (Al-Zuhaili, 2003).
Bulan haram di sini bukan dipahami sebagai bulan yang diharamkan (haram sebagaimana dilarang dimakan dan digunakan). Haram dalam konteks ini, sebagaimana dijelaskan oleh al-Razi, bermakna ketaatan akan dibalas dengan pahala yang besar, dan kemaksiatan akan dibalas dengan siksa yang lebih pedih. Konon katanya bangsa Arab pada zaman dahulu sangat mengagungkan 4 bulan tersebut. Bahkan seandainya mereka menjumpai pembunuh ayahnya, ia tidak akan menghiraukannya (Al-Razi, 1981). Oleh karena orang Arab mengagungkan bulan-bulan tersebut, Tuhan pun seolah meniru kebiasaan orang-orang Arab tersebut dengan mengagungkan 4 bulan itu. Hingga kini 4 bulan itu dianggap memiliki keistimewaan dibanding bulan-bulan lainnya.
Mungkin ada yang bertanya mengapa Tuhan mengutamakan 4 bulan ini dibanding yang lain? Bukan kah itu berarti mengesampingkan bulan-bulan lainnya? Bahwa kebiasaan Tuhan mengutamakan satu waktu dibanding lainnya adalah hal yang lumrah. Sebagaimana Tuhan mengutamakan hari Jumat dari hari lainnya, bulan Ramadhan di banding bulan lainnya dan lain sebagainya (Al-Razi, 1981).
Ritual Rajab di Jawa, Masihkah Bid’ah?
Sebuah komunitas pasti memiliki tradisinya masing-masing. Masyarakat Nusantara pun demikian adanya. Bila ditelisik masyarakat Nusantara sangat terbuka dengan tradisi dan budaya asing yang masuk. Selama budaya itu bermanfaat dan sesuai dengan tradisi dan cita rasa lokal, maka mereka akan dengan senang hati menerimanya (Qurthubi, 2021).
Masyarakat Nusantara-Jawa khususnya, yang memegang kepercayaan terhadap kekuatan Adiluhung memiliki ritual sendiri kepada sang Pencipta. Hingga pada saat masuknya Islam para tokoh Islam tersebut melebur rapalan doa-doa Islami ke dalam ritual masyarakat Nusantara yang lebih dahulu ada.
Salah satu ritual yang paling sering dilakukan oleh masyarakat Islam Nusantara yang diajarkan secara turun temurun adalah Rajaban/Rajabiyah. Ritual ini bertujuan untuk memperingati hari Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad saw. Ritual ini biasanya dilaksanakan dengan menggelar pengajian dan doa-doa yan dikirim untuk arwah keluarga yang sudah meninggal. Materi pun dikemas seputar Isra Mi’raj dan Shalat 5 waktu.
Dalam Islam, ajaran tentang mengingat atau memperingati sesuatu terutama peristiwa-peristiwa bersejarah juga diajarkan. Isra’ Mi’raj sendiri disebut dalam surat al-Isra’ ayat 1. Pun dengan peristiwa lainnya seperti dikorbankannya Ismail, kelahiran Musa, kelahiran Isa dan lain sebagainya. Dari situlah peringatan peristiwa penting menjadi hal yang fundamental dalam Islam.
Sayangnya, ada pihak-pihak yang justru menentang dan menyalahkan ritual peringatan Isra Mi’raj di bulan Rajab ini. Kelompok tersebut, di sini sengaja tidak disebut nama ormas atau sekte yang bersangkutan menuduh ritual-ritual itu sebagai perbuatan bid’ah. Alasannya simpel sekali, tidak pernah dilakukan oleh Nabi. Segala yang tidak pernah dilakukan atau diajarkan Nabi adalah bid’ah, setiap bid’ah sesat dan masuk neraka. Alasan sesimpel itu, menurut saya kurang kuat dan sama sekali tidak otoritatif.
Dalam beberapa hadits dijelaskan bahwa Nabi memiliki ritual khusus dalam bulan Rajab, yakni berdoa meminta keberkahan. Di sisi lain, ritual peringatan Isra’ Mi’raj berangkat dari semangat menjalankan perintah al-Qur’an dalam memperingati peristiwa bersejarah. Oleh karena itu, peringatan Isra’ Mi’raj justru menjadi ibadah yang dianjurkan yang di dalamnya memuat berbagai dzikir dan doa serta pujian pada Tuhan dan Nabi Muhammad. Dengan peringatan tersebut, masyarakat awam menjadi paham bahwa Nabi yang mereka ikuti pernah melakukan perjalanan agung dan kembali membawa perintah yang agung, yakni salat lima waktu.
Bibliography
Al-Razi, F. (1981). Mafatih al-Ghaib. Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Zuhaili, W. (2003). Tafsir al Munir. Damaskus: Dar al-Fikr.
Qurthubi, S. A. (2021). Sebuah Pengantar. In S. A. Qurthubi, Tionghoa dan Budaya Nusantara (p.xiii). Semarang: Elsa.