Momentum Lebaran yang Takkan Terlupakan
Penulis: Fitria Sartika, S. Pd (Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat
Editor: Martha
Setiap perjalanan yang mewarnai kehidupan, meninggalkan jejak yang kadang tak bisa dilupakan. Walau masa telah berganti, zaman pun telah berubah. Namun, kenangan masih tersimpan rapi dalam ingatan.
Tidak ada yang tahu dengan rute dan perjalanan hidup seseorang, terkadang ia terlihat seolah baik-baik saja meski segenap lara telah singgah di singgasana kehidupannya, begitu juga luka yang berhasil ditutupinya. Tahun 2011 menjadi tahun yang bersejarah dan tak mungkin bisa ku lupakan begitu saja. Bagaimana mungkin akan ku lupakan, segenap kisah suka duka yang menguras rasa dan air mata mengejewantah di dalamnya.
Masih sama seperti biasanya, belajar, memasak, mencuci, dan segala kegiatan untuk kebutuhan pribadi menjadi rutinitas yang ku jalani selama tinggal di asrama putri Pondok Pesantren al-Irsyad Bulaan Kamba, Kubang Putih, Kecamatan Banuhampu, Kabupaten Agam.
Tahun ini sudah memasuki angka ke-5 tahunnya aku berada di pondok ini, artinya sudah 4 tahun lebih aku menimba ilmu di Ponpes dengan gedung bertingkat 3 itu. Dari jalan raya yang membentang di depan gerbang, sebuah tulisan besar di pinggir kanan gerbang masih terbaca walau sedikit sudah mengabur “Selamat Datang di Pondok Pesantren MTI al-Irsyad Bulaan kamba”.
Halaman Ponpes yang luas, biasa digunakan untuk upacara tiap hari senin, dan dimanfaatkan untuk bermain sepakbola sewaktu jam olahraga oleh para santriwan. Tak lupa sebuah tiang bendera berdiri kokoh di depannya, sekitar 5 meter dari teras gedung. Warna hijau gedung yang selalu menyegarkan pandangan, ditambah latar Gunung Merapi yang menjulang di belakangnya, serta Gunung Singgalang terlihat di bagian kiri gedung, membuat hatiku makin terpaut di tempat ini.
Pemandangan indah dan lepas jua menyejukkan dari lantai 3, dengan menaiki anak tangga di pinggir kiri gedung, aku naik ke lantai 3. lantai 3 itu terdiri dari 3 kelas untuk santri tingkat Madrasah Aliyah saja. Lantai 2 terdiri dari 4 ruangan, dari kanan ke kiri terlihat tulisan yang agak kecil tapi terbaca jelas terpampang di atas tiap pintu ruangan itu, ada kantor Kepala Madrasah, Ruang Tata Usaha, Perpustakaan, dan Ruang majlis guru.
Dari lantai 3 ini terlihat indahnya Kota Bukittinggi, tak luput Jam Gadang sebagai ikon Kota Sanjai itu pun terlihat walau puncaknya saja. Jauh di depan sana juga terlihat bukit kecil di Balingka. Masih rapi dalam ingatan, beberapa tahun lalu ketika tergabung dalam anggota pramuka ponpes al-Irsyad ini, aku pernah menjajaki bukit yang tak terlalu tinggi itu.
Memandang ke bagian kanan dari sini, sejauh mata memandang terlihat Bukit Barisan yang berjejer, menghiasi pemandangan dari depan kelasku ini. Langit biru pun menutupi luasnya bentangan alam raya. Sungguh karunia Allah yang luar biasa, menciptakan bumi dengan segala isinya.
Hari ini sudah memasuki pekan kedua bulan suci ramadhan, artinya tidak lama lagi waktu libur untuk pulang kampung akan segera tiba, tak sabar rasanya menanti hari pengumuman libur itu datang. Maklum, aku bisa pulang hanya satu kali saja tiap 3 atau 4 bulannya. Karena jarak kampungku dengan ponpes ini lumayan jauh, hampir satu hari perjalanan. Apabila sering pulang, tentu biaya akan bertambah lagi. Sedangkan Ayah dan Mak hanya bekerja sebagai petani, dengan keuangan yang pas-pasan. Terkadang hasil panen tidak mencukupi untuk kebutuhan hingga panen berikutnya. Seringkali kami menghutang kepada tetangga atau kepada paman dan bibiku. Aku sembilan bersaudara, Allah izinkan bersama cuma 5 orang saja hingga saat ini. 3 laki-laki dan 2 perempuan.
Biaya sekolah dan kebutuhan hidupku di ponpes ini Abang ke-5 yang membantu, Hasnedi namanya. Bang Hasnedi merantau untuk menambah penghasilan, guna membiayai sekolahku di sini. Sudah satu tahun ini aku tak berjumpa dengannya, hanya lewat suara di handphone jadulku, handphone pemberian Bang Amri, saudara laki-laki di yang lebih tua dari bang Hasnedi 2 tahun. Nokia warna hitam, panjang 8 cm, lebar 4 cm, tanpa kamera ataupun layar berwarna. Kebutuhan pulsa Hp ini pun bang Hasnedi yang menanggung. Wajar, kalau rindu makin menusuk dalam jiwa. Terbayang abang dengan postur lebih pendek dariku sedikit itu, kira-kira 150 cm tingginya. badan gempal dan warna kulit sawo matang arah ke kuning langsat. Rindu memang, tapi, agenda safari ramadhan yang sedang aku ikuti masih menguatkan hati untuk bertahan di tempat ini.
Malam ini sudah malam ke 17 ramadhan, masih ada jadwal ceramahku beberapa malam lagi. Seperti biasa, kami yang tergabung dalam anggota safari ramadhan berbuka di kantor majlis guru bersama ustadz-ustadz pembimbing, setelah selesai shalat maghrib dan makan, kami menaiki bus madrasah yang bertuliskan “Ponpes Al-Irsyad Bulaan Kamba” di wajah bus itu. Bus warna ungu dengan muatan 20 orang.
Ada kedamaian ketika perjalanan malam dihiasi kerlap-kerlip lampu di lereng gunung singgalang, kali ini tempat yang kami tuju ke arah lereng gunung singgalang. Dinginnya udara lereng singgalang yang menusuk tulang tak terelakkan, tapi kebersamaan di antara kami bersama guru pembimbing menghangatkan suasana dalam jiwa.
Dua puluh satu hari sudah terlewati puasa kali ini, lima belas malam terisi dengan jadwal ceramah safari ramadhan. Kini tiba waktu yang dinanti-nanti, pengumuman libur lebaran. Libur hingga satu 10 hari usai lebaran, akan membuat suasana liburan di kampung lebih berwarna dari libur semester yang hanya bisa satu minggu saja menempati gubuk berukuran 6×6 meter itu. Gubuk yang berada di atas bukit, di depannya terbentang sawah 7 petak, di belakangnya ada kolam ikan, sedikit tanaman dan sayur-sayuran. Bagian barat ada air mengalir dalam parit. Sekelilingnya hanya pohon-pohon dan semak serta padang rumput yang hijau. Suasana yang menyegarkan pikiran, masih asri, dan udara pun sedikit dingin.
Sebelum pulang ke kampung halaman masing-masing, kami diberi uang saku oleh pimpinan ponpes, pembagiannya dihitung sesuai jadwal ceramah yang diisi. Giliranku pun tiba, saat namaku disebutkan, aku langsung menuju barisan yang telah ditempati beberapa teman lain sebelumku, menerima amplop putih bersegel ini rasanya bahagia sekali, maklum, anak rantau, dikasih 2 ribu rupiah pun sangat berharga terasa. Apalagi ini lebih dari cukup bagiku. 2 lembar uang warna merah dan 1 lembar warna biru. Ini bisa buat ongkos dan makan di jalan, sisanya masih bisa buatku beli baju baru. Sudah setahun pula aku tak mengenakan baju baru, mungkin inilah jalan yang Allah berikan untuk mendapatkannya tahun ini.
Hari ini ku bereskan segala peralatanku di asrama putri ini, semuanya harus bersih dan tertata rapi dalam lemari kayu warna coklat itu sebelum ditinggal pulang. Kamar 3×3 meter ini pun harus ku sapu bersih, tak lupa aula yang berada di depan kamarpun ku bersihkan. Besok pagi sebelum matahari menampakkan waajahnya, tempat ini akan ku tinggal, bersama terbukanya gerbang hijau tua, setinggi 5 meter itu. Asrama ini berada tepat di bagian belakang kanan gedung ponpes.
Tiba di kampung setelah 10 jam perjalanan, akhirnya udara segar tanpa polusi ini bisa ku hirup juga. Tapi, masih ada yang kurang, yang ku temui hanya Ayah dan Mak di rumah, ku bertanya kepada Mak.
“Mak, kapan abang Hasnedi pulang ya, Mak?”
“Belum tahu, agak susah pulang mungkin, kendaraan susah dari solok selatan sekarang, pakai motor tidak mungkin, musim kecelakaan lebaran ini”, ujar wanita yang sudah mulai keriput itu menenangkan.
Rindu yang tak terbendung membuatku bertanya kepada abang lewat sms.
“Abang kapan pulang? Aku sudah di rumah.”
Beberapa menit kemudian terlihat notif amplop kecil muncul, sebagai tanda ada pesan masuk, lalu ku buka pesan masuk itu.
“Ragu mau pulang, bus susah, pakai motor mungkin bisa.” balasnya.
“Kalau abang mau pulang pake bus aja, nggak usah pakai motor,” balasku khawatir.
Beberapa hari di kampung setelah, hari Raya Idul Fitri tiba. Esok harinya aku ke rumah sepupuku dengan menempuh perjalanan 1 jam berjalan kaki mendaki ke arah utara. Seperti biasa, tiba di rumah sepupu ini aku akan main air ke sungai, air sungainya jernih, ada bebatuan besar dan kecil untuk tempat bermain-main di sini. Di pinggir sungai banyak pepohonan tinggi dan sedang, udara di sini lebih dingin dari di rumahku, sama dinginnya dengan udara di Bulaan Kamba.
Hari menjelang sore, kami sedang asyik bermain bersama kakak sepupu di sungai ini, bentar lagi waktu shalat Ashar tiba, sekalian berwudhu’, nanti baru balik, pikirku. Di sela-sela memandang air sungai yang mengalir bersama dedaunan yang jatuh dari pohon pinggir sungai, rasa khawatir masih menguasai jiwa. Teringat Bang Hasnedi, yang katanya tadi jadi pulang.
Beberapa menit berselang, adik sepupuku yang laki-laki datang tergesa-gesa, sambil menarik nafas kepayahan.
”Kak, Bang Hasnedi kabarnya kecelakaan di jalan”.
Mendengar kata itu terucap dari mulutnya, bumi yang ku pijak tiada lagi rasa, langsung ku bereskan sendal yang ku taruh di atas batu tempat duduk tadi. Jalan setapak yang mendaki dan berbatu dari sungai menuju rumah bibi itu membuatku sedikit kepayahan berlari, bersama sesak di dada dengan air mata yang tak bisa terbendung lagi. Sampai di depan pintu, masih ku dengar suara paman sedang menelpon teman abangku, terdengar jelas di seberang telepon suara tangisan tanteku yang berada di dekat solok selatan, bersama suara ambulance yang meraung-raung.
Segala rasa bercampur jadi satu. Walau paman dan bibi berusaha menenangkanku. Namun, rasa bersalah muncul, karena seolah aku yang memintanya untuk pulang kali ini. Khawatir yang luar biasa kalau ia tak bisa terselamatkan, sedangkan aku belum sempat bertemu untuk sekedar melepas rindu. Aku tak tau bagaimana kondisi ia sesungguhnya saat ini, sehingga segala pikiran buruk menguasai. Sungguh, lebaran yang memilukan hati. Harapan bahagia liburan di kampung, kini hancur sudah, berganti dengan air mata dan penyesalan yang tak terhingga.
Sembilan tahun telah berlalu, kini bang Hasnedi sudah memiliki seorang putra. Alhamdulillah ia bisa sembuh usai berjuang melawan maut itu. Namun, rasa pilu yang berbeda kini muncul dalam jiwa. Kenapa tidak, lebaran kali ini tak satupun kami yang di rantau bisa pulang kampung akibat pandemi yang masih melanda. Beberapa hari yang lalu, aku menelpon Ayah melalui HP abang sulungku yang di kampung. Mohon maaf yang pertama kali ku bilang pada Ayah, karena tak bisa mengunjungi mereka berdua lebaran ini.
Seolah wajah renta itu terlihat jelas di depan mataku.
“Ayah, maaf….kami tak bisa pulang hari raya kali ini,” ucapku menahan sesak.
Di seberang telepon terdengar suara yang mulai serak itu.
“Tak apa nak, kami pun tak bisa mengunjungi kalian ke situ.” Dari ucapan itu terdengar jelas kalau ada kerinduan yang berusaha beliau tahan, dan ada air mata yang dengan kuat beliau bendung. Ayah dan Mak…. maafkan kami. Semoga wabah ini segera menemui jalan pulangnya, hingga kami pun bisa pulang dengan nyaman tanpa hambatan untuk segera menemuimu. Walau hanya tuk sekedar melepas rindu.