Kalender Jawa dalam Bingkai Politik Kerajaan Mataram
(Sumber foto: idsejarah.net)
Oleh: Iga Kurniawan, S.H., M.Ag.
Pada sekitar abad ke-17 (1613-1645), kekuasaan Mataram dipegang oleh generasi ketiga bergelar Sultan Agung. Lengkapnya adalah Sultan Agung Anyakrakusuma Senapati Ing Ngalaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah (Raja yang Agung, Pangeran yang sakti, panglima perang, pemangku amanat Allah yang maha Kasih, junjungan yang menata agama dan menjadi wakil Allah di muka bumi). Ia adalah anak dari Raden Mas Jolang, yang bergelar Pangeran Hanyakrawati yang juga merupakan anak dari Panembahan Senopati, pendiri Kerajaan Mataram.
Sultan Agung memang dikenal beda. Ia masyhur sebagai tokoh sentral Mataram yang mampu membawa kerajaan Mataram kepada puncak kajayaannya. Bahkan namanya melebihi pendiri kerajaan Mataram, kakeknya sendiri.
Pada pemerintahannya, Mataram berhasil mempersatukan beberapa kerajaan kecil di tanah Jawa selain Cirebon dan Batavia yang saat itu dikuasai oleh VOC (perusahaan dagang Belanda).
Salah satu warisan Sultan Agung yang sampai saat ini dipakai oleh masyarakat Jawa adalah Kalender Jawa, sebuah sistem penanggalan yang menggabungkan metode penanggalan Hijriyah Islam yang berasal dari Arab dan penanggalan Saka tinggalan Hindu di Tanah Jawa. Secara singkat sistem penanggalan Jawa menggunakan tujuh hari Arab, yakni menggunakan peredaran bulan sebagai patokan. Sementara kalender Saka menggabungkan peredaran bulan dan matahari secara bersamaan.
Hari-hari yang digunakan pun ternyata diubah. Nama-nama hari saat ini (Itsnain, Tsalatsa, Arba’a, Khamis, Jum’at, Sabt dan Ahad) menggantikan hari tujuh yang lama (Soma, Anggara, Budha, Respati, Sukra, Tumpak dan Radite) yang dikombinasi dengan lima hari Pancawara atau yang dikenal Pasaran yang meliput: Legi, Pahing, Pon, Wage dan Kliwon. Keduanya akan berakhir dalam hitungan hari ke-35 yang dikenal dengan sebutan “selapan”.
Hingga saat ini sistem penanggalan Jawa yang dirumuskan oleh Sultan Agung masih digunakan oleh masyarakat Jawa, khususnya di daerah Jawa Tengah, Jawa Timur dan terutama sekitar Yogyakarta. Masyarakat Jawa percaya bahwa penanggalan ini selain mengandung unsur-unsur mistik juga Islami karena diadopsi dari penanggalan Hijriyah Islam.
Kalender Jawa Sebagai Strategi Politik Sultan
Analisis yang menarik dikemukakan oleh KH. M. Sholikhin, seorang Kiai Akademisi dan pelaku spiritual Jawa yang cukup produktif. Dalam bukunya yang berjudul “Misteri Bulan Suro Perspektif Islam Jawa” ia mengatakan bahwa kalender Jawa tidak serta-merta muncul dalam ruang hampa. Ini terkait dengan posisi Sultan sendiri sebagai seorang bergelar “Sayyidin Panatagama Abdurrahman Kholifatullah”, tuan penata Agama yang menjadi wakil Allah di muka bumi.
Ada dua analisa yang Sholikhin paparkan. Pertama, masyarakat Jawa yang terkenal dengan mistisisme dan spiritualnya tidak bisa dicekoki Islam mentah-mentah. Mereka perlu dikenalkan budaya Islam pelan-pelan dengan tidak merusak kearifan lokal yang lama mengakar. Maka Pancawara atau Pasaran masih tetap dipakai dalam penanggalan Jawa yang mengadopsi penanggalan Islam. Pun dengan nama-nama bulan dalam satu tahun, yang merupakan bentuk Arab yang dijawakan seperti Suro, Sapar, Mulud, Bakda Mulud, Madi Awal, Madi akhir, Rejeb, Ruwah, Poso, Sawal, Apit, Besar. Dengan pendekatan kultural inilah simpati masyarakat Jawa kepada Islam tetap terjaga.
Kedua, pada saat ia berkuasa, musuh yang paling sulit ia taklukkan adalah VOC yang menguasai Batavia. Ini dibuktikan oleh catatan sejarah bahwa beberapa kali menyerang Batavia dengan kekuatan militer yang ia miliki. Namun, ia selalu gagal. Penggabungan antara Kalender Saka dengan Kalender Islam digunakan untuk menggabungkan dua entitas Islam, yakni Islam santri dan Islam abangan (menggunakan pendekatan Clifford Geertz). Kekuatan inilah yang nantinya digerakkan untuk menggempur VOC di Batavia. Dengan demikian, dalam pandangan penulis, strategi ini merupakan strategi politik agar kekuatan Mataram semakin kuat.
Meski tidak sepenuhnya berhasil, serangan Sultan dan pasukan Mataram ke Batavia tetap meninggalkan jejak keislaman yang kuat. Di daerah Tanah Abang, terdapat sebuah masjid bernama “Al-Makmur” yang konon merupakan sebuah langgar (musala jadul) yang didirikan oleh KH. Muhammad Asyuro, anak salah satu bangsawan Mataram bernama Raden Kertobuso. Masjid inilah yang memberi corak keislaman di Tanah Abang meski saat ini keberadaannya terhalang oleh para pedagang.