Mengenal Nafsu
Oleh: Iga Kurniawan, S.H.,M.Ag.
Tulisan ini mengulas tentang nafsu dalam sudut pandang Imam al-Ghazali. Sufi master itu dengan detail menjelaskan bagaimana cara kerja nafsu yang bersemayam dalam diri manusia.
Dalam karyanya yang berjudul Maarij al-Quds, al-Ghazali dengan rinci menjabarkan tentang nafsu yang diklasifikasi sedemikian rupa.
Kelebihan al-Ghazali dalam menjelaskan nafsu ini tidak serta merta menyatakan bahwa nafsu itu mutlak keliru dan buruk. Ada nafsu yang dapat diidentifikasi sebagai nafsu yang baik, yang mampu membawa manusia kepada kedudukan yang tinggi di mata Tuhan dan juga manusia.
Pada umumnya nafsu dikenal sebagai sosok yang buruk dan membahayakan. Ia mengandung segala macam sifat-sifat tercela. Ia juga wujud manifestasi dari potensi hewani yang belawanan dengan sifat natural manusia. Pengertian inilah yang sering dipahami oleh kelompok sufi. Hingga dikatakan diantara jihad yang paling utama adalah memerangi nafsumu sendiri. Pada makna itulah Nabi memberi isyarat musuhmu yang paling berbahaya adalah nafsumu yang ada di antara dua sisi lambung. Begitulah makna nafsu yang pertama.
Kedua, nafsu dipahami sebagai esensi manusia. Dalam makna kedua ini nafsu dipahami sebagai jiwa, maka jiwa segala sesuatu adalah esensi (hakikat) sesuatu itu sendiri. Ia marupakan permata yang menjadi bagian dari alam malakut (alam gaib). Alam malakut tidak bisa diakses dengan panca indera. Ia hanya dapat dicapai dengan potensi spiritual dengan cara membersihkan hati dari potensi-potensi buruk yang menutupi mata hati.
Ketika masuk pada makna nafsu yang kedua ini (jiwa), al-Ghazali baru hendak membagi bagaimana klasifikasi jiwa seseorang. Dalam pandangan al-Ghazali jiwa seseorang terbagi pada tiga tingkatan, muthmainnah, lawwamah dan ammarah bi al-su.
Jika jiwa seseorang selalu menuju pada kebenaran, lalu bersemayam ketenangan dari Tuhan dan selalu menebar aroma kebaikan yang melimpah hingga merasa nyaman dan tenang setiap kali mengingat Allah, mampu mengenal Allah dengan baik dan melayang pada alam malaikat, maka ia disebut nafs muthmainnah (jiwa yang tenang). Dengan kata lain jiwa yang tenang ini selalu merasakan kenyamanan hati, jauh dari rasa sedih dan susah karena menemukan hakikat Tuhan sebagaimana yang dialami oleh malaikat. Jiwa yang tenang inilah yang disebut di dalam al-Qur’an di Surah al-Fajr ayat 27-28; “Wahai jiwa-jiwa yang tenang, kembalilah pada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai”.
Jiwa kedua yang disinggung oleh al-Ghazali adalah nafs lawwamah (jiwa yang suka mengkritik atau meyesali dirinya sendiri). Seseorang yang memiliki nafs lawwamah seringkali mengalami perdebatan batin antara yang benar dan yang salah, yang baik dan buruk, yang elok dan tidak elok serta pertentangan dua hal lainnya antara potensi positif dan negatif.
Ia seringkali tidak tegak karena terombang ambing dengan keadaan yang membingungkan. Tekadang ia mampu menolak kemungkaran dan menjalankan ketaatan, namun tidak jarang pula ia menuju pada kemungkaran itu sendiri.
Saat ia condong pada kemungkaran pada saat itu juga ia menyerupai binatang, dan sebaliknya, jika ia menuju ketaatan pada saat itu juga ia menyerupai malaikat. Nafs lawwamah inilah yang paling banyak dimiliki oleh manusia pada umumnya. Yang mampu menjalankan ketaatan dan meninggalkan kemungkaran, namun tak jarang pula kemugkaran itu ia lakukan. Jiwa ini yang disinggung dalam al-Quran Surah al-Qiyamah ayat 2; “dan aku bersumpah demi jiwa yang selalu menyesali dirinya sendiri”.
Ketiga, jiwa yang paling anarkis yang disebut nafs ammarah bi al-su’. Jiwa ini sepenuhnya menyamai sifat-sifat binatang yang beragam sesuai karakternya masing-masing. Binatang buas akan cenderung menerkam dan memangsa yang lemah, binatang tenak akan cenderung memuaskan perut dan kelaminnya dan lain sebagainya.
Jiwa semacam ini akan selalu mengajak pada kemungkaran dan kejahatan serta tidak peduli pada sesamanya. Asal ia kenyang dan senang, ia akan lakukan. Jiwa ini dianggap hina karena jauh dari nurani manusiawi pada umumnya.