Hiduplah dengan Cara Dirimu Sendiri

Hidup memang disuguhkan dengan dua hal, yaitu dengan cara kita sendiri, atau mengikuti omongan orang lain. itu hanya sebuah pilihan yang mau dan tidak pasti akan kita ambil, entah kita mau memilih yang pertama atau yang kedua. Semuanya mempunyai risiko dan konsekuensi masing-masing.

Pertama, kita hidup dengan cara kita sendiri. Memang tidak akan ada benarnya, dan tidak akan ada salahnya, jika menjalani hidup itu dengan kehendak kita sendiri, pasti ada saja orang yang merasa iri terhadap kita, meskipun kita tidak pernah mengusik dan mencari masalah kepadanya, itulah yang dinamakan dengan Sunnatullah (hukum Allah) terhadap alam. Terkadang apa yang kita rasa itu benar, belum tentu benar bagi orang lain, dan begitu sebalikanya, orang rasakan benar, bagi kita belum tentu juga. Hiduplah dengan apa yang sesuai kita harapkan. Karena apa? jika dengan apa yang kita katakan, yang ada hanyalah kebahagiaan versi kita sendiri. Bahagia itu, tidak ada batas ukurannya, siapa pun berhak untuk bahagia. Pernah dengar kalimat ini kan? “Bahwa bahagia itu adalah tergantung bagaimana kita mensyukuri hidup kita, bukan bagaimana kita mendapatkan dan mempunyai semuanya.” Iya memang, sudah pernah, bahkan sering malahan, namun, bahagia terkadang hanyalah sebuah kamuflase yang kita tutup-tutupi sendiri dengan pura-pura menjadi orang lain untuk bahagia, bukan menjadi diri sendiri. Tentunya, hal itu akan terasa menyakitkan dalam sisi lain.

Kedua, hidup dengan sesuai apa yang mereka omongkan. Hidup adalah memang hanyalah saling pandang memandang. Aku mandang mereka enak, mereka bilang sama saja, dan mereka bilang kita enak, tapi kita bilang ke mereka adalah biasa saja, seperti yang kalian rasakan kok. Nah itulah sebenarnya kehidupan yang selama ini kita rasakan. Karena apa, bahagia itu tetap kembali lagi ke tiada batasnya. Hidup dengan apa yang mereka katakan, tidak akan memberikan kita sebuah kebahagiaan, yang ada malah hanya menambah sebuah kesulitan bagi kita sendiri.

Coba simak cerita singkat berikut ini:

“Suatu hari, ada seorang bapak dan anaknya, yang kira-kira sudah memasuki usia remaja. Keduanya berjalan dengan menaiki sebuah keledai, dari kampung halamannya menuju tempat tujuan, yaitu kampung sebrang. Dalam perjalanan, mereka berdua bergantian menaiki keledai itu, dan pada saat melewati sebuah kampung, si bapak yang menaiki keledainya, sementara si anak berjalan kaki dengan memegangi tali keledai itu, yang mana di sana terdapat banyak orang-orang yang sedang ngobrol-ngobrol, saat keduanya anak dan bapak lewat, mereka memperhatikannya, dan orang-orang itu mengatakan, “Bapak yang tidak punya otak, tidak punya rasa kasihan pada anaknya, masa anak disuruh jalan kaki, dianya yang naik keledai.”

Mendengar perkataan orang-orang itu, si bapak akhirnya turun, dan menyuruh anaknya untuk naik di atas keledainya, dan dia berjalan kaki. Namun, setelah berhasil melewati kampung satu, keduanya memasuki kampung kedua, seperti yang pertama, ada seseorang yang nyeletuk, “Anak tidak punya akhlak, dia naik sendiri, sementara bapaknya berjalan kaki,” mendengar itu, si anak turun dari keledai, dan menyuruh bapaknya yang naik lagi, tetapi, si bapak tidak mau jika naik sendirian, karena nantinya akan ada omongan seperti itu lagi.

Keduanya telah naik keledai, dengan harapan, tidak ada orang yang mengatakan hal yang sama sebelumnya. Sebelum sampai pada tujuan, masih satu kampung lagi yang harus mereka lalui. Setibanya di kampung terakhir, dengan keadaan mereka berdua naik keledai itu, dikira sudah merasa aman, karena keduanya tidak ada yang jalan kaki, namun, apalah namanya orang, mempunyai pendapatnya masing-masing, masih ada yang mengatakan, “Bapak dan anak tidak mempunyai belas kasihan, masa keledai dinaiki berdua, apa tidak berat apa.”

Ternyata, dari perjalanannya itu, si bapak tadi, menyimpulkan, dan mengambil hikmahnya, ternyata kita tidak bisa hidup dengan mengikuti apa yang mereka katakan, karena apa, meski kita sudah menuruti satu, tetapi apa, masih ada yang mengatakan yang lain.

Jadi intinya, hiduplah sesuai dengan apa yang kalian inginkan, jangan sesuai yang orang lain katakan, karena bahagia itu hanyalah sebuah sawang-sinawang (pandang-memandang), tidak ada kebahagiaan yang sesungguhnya di dunia ini, yang ada hanyalah di hari kelak. Semoga bermanfaat.

Penulis: Khoirul Anam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *