Waspada Bunga Beracun di UIN Ar-Raniry
Rentang bulan Juni sampai bulan Juli merupakan bulan yang bisa dikatakan padat akan jadwal masuk ke Perguruan Tinggi, terlebih mahasiswa baru seperti saya pada beberapa tahun yang lalu. Saya harus mempersiapkan segala macam berkas yang lumayan ribet untuk tingkat pemikiran anak yang baru lulus di salah satu Madrasah Aliyah Negeri (MAN) seperti saya. Planga-plongo, dan harus selalu mencari informasi seputar kampus hampir saya alami setiap hari. Saya tidak ingin ketinggalan informasi seperti teman-teman saya sebelummya yang lalai karena senang dengan kelulusannya dari sekolah menengah hingga lupa dengan dunia perkampusan. Ada beberapa orang teman saya dulu yang seperti itu
Akhirnya, sekelebat masalah terkait masuk ke Perguruan Tinggi sudah saya alami dan saya masuk ke salah satu kampus yang dikenal paling biru di Aceh, yaitu Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh. Seketika itu saya langsung berangkat ke Banda Aceh dan mempersiapkan segala hal untuk mengikuti Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK) minggu depan. Ketika perjalanan menuju UIN, saya merasa bingung untuk mencari fakultas saya, yaitu Fakultas Sains dan Teknologi (Saintek) yang terkenal sebagai fakultas paling bergengsi di kampus yang ‘dikuasai’ oleh para aktivis tersebut. Disebut bergengsi, mungkin akibat besarnya nominal Uang Kuliah Tunggal (UKT) dari fakultas yang lain. Itu hanya sebutan dari para senior saya, mungkin supaya bisa membuat bangga juniornya.
“Malu bertanya dan sesat di jalan”, begitu bunyi sebuah pepatah. Setelah kurang lebih setengah jam saya berputar-putar, akhirnya saya menemukan fakultas tersebut akibat diberitahukan oleh salah satu senior yang memakai almamater biru di pinggir jalanan dan sedang mengawasi para junior yang membutuhkan informasi. Alhasil, saya pun telat sampai dan dimarahi oleh salah satu abang leting yang lumayan ganteng (Sekarang menjadi teman diskusi saya) dan saya dipermalukan sebagai hukuman akibat keterlambatan saya. Ternyata, hukuman yang diberikan berupa memperagakan sebuah orasi yang bertema “Mahasiswa”. Saya pun diberikan sebuah pengeras suara yang menjadi senjata andalan para aktivis untuk menggoyangkan kezalimam penguasa, yaitu sebuah Toa.
Saya diajarkan cara memegang ‘senjata mematikan’ itu, dan saya pun mencoba untuk berorasi sekitar kurang lebih 5 menit dengan perasaan yang kacau balau dan tangan bergetar akibat takut serta kicauan yang semakin kacau tak tahu arah dari tema yang diberikan. Ah, rasanya ingin saya menggali lubang sedalam-dalamnya lalu masuk seorang diri. Kemudian setelah selesai hukuman untuk berorasi, maka saya dipersilahkan kembali ke barisan para mahasiswa baru. Di barisan, saya kembali merasa deg-degan, ternyata seperti ini rasanya memegang Toa dan berteriak lantang layaknya aksi di tahun 98 yang pernah disiarkan di televisi. Kemudian, setahun saya berkuliah lalu saya mencoba mengikuti kegiatan-kegiatan ringan semacam kepanitiaan di ranah kampus untuk menghilangkan status “Mahasiswa Kupi-kupu” pada diri saya dan saya kemudian mengenal salah satu kakak leting yang cantik (Ya iyalah, kan perempuan). Kebetulan, beliau merupakan salah satu aktivis perempuan di kampus dan bersuara lantang serta menggelegar laksana petir menyambar. Saya seperti ingin jatuh mental ketika mendengar perempuan seperti beliau berorasi.
Alhasil, karena saya dan beliau selalu dalam satu kepanitiaan, akhirnya kami saling mengenal dan dekat (Jangan berprasangka buruk ya, hahaha). Kata “Dekat” di sini, maksudnya adalah dia memberikan kesempatan kepada saya tentang agar belajar cara untuk menjadi berani tampil di depan publik dan berani bersuara. Ketika kegiatan PBAK tahun selanjutnya di kampus dan saya pun masuk ke sebuah kepanitiaan yang beliau juga masuk ke dalamnya. Saya juga mulai dianggap sebagai salah satu “senior” karena sudah mempunyai calon adek leting yang masuk kampus, Hahaha. Ketika di lapangan, beliau kemudian sengaja meminjamkan toa kepada saya dan menyuruh saya agar mencoba berorasi. “Ini sebagai bentuk pembelajaran mental menghadapi keramaian buat adik”, pintanya. Setelah PBAK itu, saya sangat mengenang jasa-jasanya, karena telah berupaya melahirkan bibit-bibit pejuang selanjutnya, meskipun dia adalah perempuan yang seharusnya berperilaku lemah lembut menurut sebagian besar orang.
“Namun, untuk berbagai kondisi, kita perlu untuk menempatkan karakter kita sesuai yang dibutuhkan. Yang penting, jangan pernah merasa minder dan harus berani menghadapi kerasnya persaingan dunia kampus. Jangan mentang-mentang perempuan, kita selalu diremehkan”, begitu ujarnya. Menurut saya, beliau merupakan salah satu perempuan yang aktif berkecimpung dalam politik mahasiswa, dan beliau tak segan-segan ‘memotong kaki’ lawannya ketika sedang kontestasi. Serius, ini merupakan salah satu ‘Bunga Biru Beracun’ Kampus Biru, kalian harus waspada dengan tipe perempuan seperti ini dan tidak boleh dipandang sebelah mata potensinya.
Di luar itu, saya juga banyak belajar darinya, baik itu ketika tergabung dalam kepanitiaan maupun di luar kampus. Beliau selalu memberikan kritik dan nasihat kepada saya. Tepat ketika masuk ajang kontestasi politik mahasiswa dan saya pun berniat mencalonkan sebagai salah satu calon pimpinan termuda di organisasi. Beliau kemudian memberikan kritik dan nasihatnya terhadap kekurangan saya dan “kepantasan” saya ketika sudah menjabat nantinya.
Memanglah pedas! kritikannya to the point, beliau blak-blakan dengan kekurangan saya tapi tak lupa memberikan support dan strategi untuk memenangkan pertempuran. Saya pun menerima pesan-pesannya meskipun beliau merupakan sosok perempuan yang bisa dikatakan ‘sepele’. Namun, untuk kali ini, saya tidak melihat ‘keperempuanannya’ dan menyepelekannya, karena saya telah melihat langsung jiwa pejuangnya yang pantang menyerah seperti semangat Cut Nyak Dhien di masa lampau. Alhasil, saya berhasil menjadi salah satu pimpinan termuda di organisasi akibat menggunakan taktik tempurnya dan beliau mengucapkan; “Selamat, Adik!”, dengan perasaan bangga.
Bagaimana beliau tidak bangga, saya yang awalnya tidak berani berbicara dan mempunyai perasaan introvert dan malu, akhirnya beliau telah berhasil menciptakan bibit generasi selanjutnya agar berani untuk berproses. Menurut saya, perempuan memang haruslah diberikan kebebasan penuh dan setara layaknya laki-laki ketika dalam hal perpolitikan. Karena melihat kisah perjalanan kecil saya, maka saya berani mengakui bahwa ada kontribusi dari sosok perempuan yang telah mengajari saya cara untuk berani dan mengalahkan ketakutan. Dan saya sangat bangga pernah mengenal senior seperti beliau.
Akhir kata, saya berharap agar para perempuan bisa lebih berani untuk melangkah tanpa mengenal lelah. Jangan biarkan semangat perempuan tergerus oleh perasaan malu atau merasa tidak mampu untuk menjadi pejuang. Ingat, Aceh di masa lampau pernah memiliki Cut Nyak Dhien ketika melawan Belanda dalam sebuah pertempuran, Aceh bangga memiliki salah satu sosok perempuan seperti beliau! Lantas, apa yang harus kita ragukan, bukankah kita semuanya memiliki kesetaraan hak untuk berproses? Mari lawan ketakutan kita dan buktikan kepada dunia. Ingat, yang perempuan cantik dan glowing sudah banyak. Namun, yang diperlukan oleh dunia adalah perempuan yang bisa berkontribusi penuh dengan segala kemampuannya untuk membanggakan kampus, bangsa dan negara kita. Jadilah ‘Bunga Beracun’, yang disegani dengan potensi yang dimiliki. Selamat berjuang! Hidup mahasiswa! Hidup perempuan!
Banda Aceh, 29 Juni 2020
Penulis: Sulthan Alfaraby (Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Pemuda Cinta Aceh)
Editor: Martha