Seri 1 (Adversity): Mempermudah Masa Kanak-Kanak = Mempersulit Masa Dewasanya
Oleh: Devira Sari, M. Psi., Psikolog
“Berikan kesempatan kepada anak untuk menyelesaikan masalahnya sejak dini, agar ketika dewasa nanti ia cakap menghadapi masalahnya secara mandiri” –Elly Risman–
KASUS RIAN, SI ANAK IBU
Rian (bukan nama sebenarnya), lelaki tengahbaya usia 45 tahun, berkulit gelap, sikap tubuhnya agak kaku, dan ekspresi wajahnya cenderung kurang bersahabat. Ia tinggal sendirian di rumah besar di lingkungan elit di kota besar. Ia paling tidak suka bersosialisasi bahkan untuk sekedar bertegur sapa dengan tetangga. Ia juga tidak suka jika ada orang lain yang menginap di rumahnya, walaupun orang itu adalah keluarganya sendiri. Setiap hari rumahnya selalu tertutup, gorden jendela pun tidak pernah dibukanya. Ia selalu merasa kekurangan dalam hidupnya dan menyalahkan orang lain atas kesulitan-kesulitan yang dihadapinya. Hal yang selalu menghantui pikirannya adalah seseorang akan berbuat jahat padanya dan mengambil seluruh harta yang dimilikinya.
Ayahnya merupakan pejabat tinggi sedangkan ibunya adalah ibu rumah tangga. Keluarganya dikenal sebagai keluarga yang dermawan dan disukai banyak orang. Sebagai anak tunggal, Rian mendapatkan fasilitas lengkap dan pendidikan terbaik. Hidupnya terjamin, segala kebutuhannya terpenuhi, jadwalnya diatur, keperluannya disediakan, bahkan makanan pun diantarkan ke kamarnya. Ibunya sangat protektif dan membereskan semua masalah yang ada sehingga Rian tidak perlu mengalami kesulitan.
Ia punya pembantu yang khusus melayaninya seperti memastikan sepatunya telah disemir, pakaiannya selalu bersih dan rapi, hingga makanannya pun bebas tulang. Saat Rian beranjak remaja, ayahnya meninggal dunia karena suatu penyakit. Sepeninggalan ayahnya, Rian dan ibunya tetap menjalani kehidupan dan tidak mengalami kekurangan. Ibunya tetap dermawan pada orang lain dan semakin protektif terhadap Rian.
Setelah lulus kuliah, Rian mendapatkan kesempatan bekerja di BUMN di bagian lapangan sehingga ia akan ditempatkan di daerah. Ibunya yang tidak tega melihatnya akan kesulitan hidup di daerah tidak memberinya izin. Ia pun batal bekerja di BUMN. Tak mengapa sebenarnya, harta keluarganya lebih dari cukup untuk menghidupinya. Lagipula, dengan IQ sekitar 130 dan ijazah dari kampus ternama tidak sulit bagi Rian untuk mendapatkan pekerjaan di kota besar. Ia pun mulai bekerja di perusahaan swasta di kota itu. Namun, tak lama kemudian ia resign. Pindah ke perusahaan lain, resign lagi. Selalu ada saja alasan-alasan sepele yang membuatnya resign, yang tentu saja juga dari pertimbangan ibunya yang tidak pernah tega melihatnya bersusah hati.
Beberapa tahun kemudian ibunya meninggal dunia karena penyakit kronis. Saat itu Rian masih saja berpindah-pindah pekerjaan meski usianya sudah di akhir 20-an. Sebelum meninggal ibunya memberikan wasiat untuk Rian, dan pesan kepada keluarga besarnya untuk menjada dan mencarikan Rian jodoh terbaik. Rian sendiri mulai kewalahan dengan tanggungjawab dan masalah-masalah hidup sehari-hari yang biasanya telah dibereskan ibunya. Setiap saran yang diberikan oleh keluarga besarnya dianggapnya salah dan menyusahkan.
Ia pun mulai menyalahkan semua orang karena tidak ada yang membantunya, membiarkannya bersediah dan harus menghadapi hidup yang keras seorang diri. Padahal keluarga besarnya selalu berusaha memenuhi wasiat dari ibunya, memperhatikan dan memberikan yang terbaik untuk Rian. Warisan yang ditinggalkan ibunya juga sangat banyak dan dapat menghidupi dirinya walaupun tidak bekerja. Namun, apapun yang diberikan/ditawarkan padanya selalu kurang dan tidak sesuai standarnya. Ia terus mencari orang yang memberikan segalanya seperti yang dilakukan ibunya.
Ia menarik diri dari keluarga besarnya dan bertekad akan sukses sendirian tanpa bantuan siapapun untuk membalas rasa sakit hatinya pada dunia. Setelah beberapa kali pindah pekerjaan, beberapa tahun kemudian, ia mendapatkan pekerjaan yang menurutnya sesuai. Tidak butuh waktu lama, ia pun mendapatnya posisi strategis dan fasilitas lengkap dari perusahaan tersebut.
Ia dipercaya menjadi salah satu tangan kanan owner perusahaan tersebut. Baginya owner adalah orang baik penyelamat hidupnya. Tak ada seorang pun yang mengetahui ia bekerja dimana, namun ia selalu menyombongkan jabatan dan penghasilan yang ia miliki. Dengan kesuksesan tersebut tidak menjadikannya dermawan, malah semakin kikir dan berpikir bahwa orang lain iri dengan kesuksesannya. Setiap perempuan yang dekat dengannya (atau yang didekatinya) disebut mata duitan, yang hanya ingin menguras hartanya saja. Alhasil hingga usia kepala empat ia belum juga mendapatkan pasangan hidup dan baginya itu semua kesalahan keluarga besarnya.
Ternyata owner perusahaan tempat ia bekerja, bermain curang dalam berbisnis. Keluarga besar Rian mencium adanya ketidakberesan di pekerjaannya dan menyarankannya untuk segera resign dan pindah ke perusahaan lain. Namun, ia tidak mengggubris saran dari siapapun karena menurutnya aran tersebut didasarkan pada niat buruk. Sesuai instruksi ownernya, ia tetap tinggal di perusahaan tersebut sampai collapse total. Owner ditangkap pihak berwajib dan satu per satu anak perusahaannya disita. Beruntung dirinya tidak terseret dalam kasus tersebut. Setelah kejadian tersebut, ia pun semakin membenci dan mendendam karena menurutnya semua orang turut andil dalam kemalangan yang ia alami. Ia juga semakin takut kalau-kalau ada orang yang akan mengambil harta warisan yang masih tersisa dan hasil kerja kerasnya.
MEMPERMUDAH MASA KANAK-KANAK = MEMPERSULIT MASA DEWASANYA
Mungkin Anda bertanya-tanya mengapa tulisan parenting ini bercerita tentang lelaki berusia 45 tahun. Jika harapan Anda parenting hanya akan bercerita tentang masa kanak-kanak hingga remaja, maka saya mesti meluruskan pemikiran Anda. Parenting adalah persoalan mempersiapkan masa depan anak, maka kita berpikirnya jauh ke depan. Perlakuan yang kita berikan saat ini, saat mereka masih kecil dan lucu itu, dampaknya baru benar-benar terasa setelah mereka dewasa. Dan, percayalah, jauh lebih mudah membentuk anak di usia dini saat mereka masih lunak, daripada membenahi karakter buruknya setelah dewasa.
Kisah yang saya ceritakan diatas merupakan kasus nyata yang saya tangani sendiri. Rian adalah satu dari sekian banyak kasus anak yang tumbuh dewasa secara usia namun tidak secara mental. Iqnya yang tinggi ternyata tidak cukup untuk menjawab tantangan hidup sederhana di kesehariannya. Harta yang melimpah pun perlahan habis terpakai membuatnya ketakutan kekurangan harta. Pendidkan yang tinggi ternyata tidak menjaminnya mampu survive di masa dewasa.
Keluarga besar yang suportif juga masih tidak cukup baginya. Ia tidak pernah belajar bagaimana bersosialisasi dan menyalahkan orang lain yang tidak berinisiatif mendekati dan membantunya. Karena kebiasaannya mendapatkan bantuan di setiap kondisi membuatnya begitu ringkih saat menghadapi kondisi itu sendiri. Pada akhirnya ia menjadi orang dewasa yang kesepian, dimana hatinya selalu merasa susah dan jiwanya selalu menderita. Ia layaknya anak kecil yang masih mencari perlindungan ibunya, terperangkap di dalam tubuh madya. Coba bayangkan, pasti sedih sekali jika pengalaman ini terjadi pada anak-anak Anda bukan?
Hidup di zaman sekarang penuh dengan tantangan. PR kita adalah untuk mempersiapkan anak yang future ready – siap menghadapi masa depan. Bagaimana anak bisa menghadapi tantangan besar di masa depan jika tantangan kecil dalam kehidupan sehari-hari saja sudah kewalahan? Jika kita terus mempermudah keseharian anak, maka kita akan mempersulit masa depannya. Tidak hanya anak-anak yang akan kesulitan di masa depan, Anda pun juga akan dibuat sulit di masa tua.
Saya pernah bertemu orangtua yang masih kerepotan membantu anak-anaknya yang sudah dewasa dan berkeluarga. Orangtua yang seharusnya menikmati masa tua masih harus membiayai dan membayar hutang anak-anaknya, bahkan sambil mengasuk cucu-cucunya. Jika tidak bersedia repot mendidik kemandirian saat anak masih kecil, maka bersiaplah direpotkan saat anak sudah dewasa namun masih bergantung.
Hal yang perlu orangtua sadari adalah anak tidak akan selamanya hidup bersama dan dalam perlindungan orangtuanya. Suatu saat ia harus pergi untuk hidup mandiri, entah itu bersekolah, bekerja, dan menikah. Atau mungkin orangtualah yang lebih dulu pergi meninggalkan mereka. Seperti Rian yang “remuk” begitu ditinggal ibunya, padahal ibunya meninggalkan banyak modal untuknya. Sayangnya, ibunya melupakan satu hal penting: kecerdasan adversity.
Sumber: Buku “Sukses Menjadi Orang Tua” Penerbit Satra Jendra
Editor: Martha