CerpenSastra Kita

Karpet Masjid yang Basah

Parjo dan kawan-kawan menyelinap ke masjid tengah malam. Sunyi sepi. Suara desau angin dan jangkrik saling bersahutan dengan gesekan daun di pohon sekitar masjid.

“Tono, mana kartunya?” tanya Damar menepuk bahu Tono.

Dari balik sarungnya ia mengeluarkan setumpuk kartu. Sarmin dan yang lainnya membentuk lingkaran. Parjo bingung. Hatinya mengatakan jika ini salah. Bertemu malam lailatul qadr itu bukan dengan main kartu, gumamnya dalam hati.

“Loh, kalian kenapa malah main kartu?” tanya Parjo berbisik dengan nada setengah berteriak.

“Ini kan supaya kita nggak jenuh nunggu malam lailatul qadr, Jo” jawab Tono polos, “yang penting kita nggak mabuk di masjid, ya kan?”.

“Betul,” sahut Sarmin.

Apalah daya bagi Parjo melarang kebodohan teman-temannya. Sejak kecil tidak satupun di antara mereka bertiga yang belajar agama. Hanya Parjo seorang di masjid itu yang sedikit banyak telah banyak menelan ilmu agama. Sebelum akhirnya menjadi penjudi dan pemabuk dengan sampingan sebagai tukang ojek.

Ingatan lama Parjo yang telah kembali segar itu akhirnya ia tumpahkan kepada teman-temannya. Parjo mula-mula menjelaskan keutamaan malam seribu bulan. Sesekali ia melempar pandangnnya ke berbagai arah. Layaknya seorang ustadz yang sedang mengisi ceramah sebelum magrib.

Ia tatap satu-satu wajah temannya yang mulai bersemangat. Sambil memastikan mereka mengerti apa yang disampaikannya. Sesekali ia juga melakukan komunikasi dua arah. Sekedar melontarkan pertanyaan. Ada yang sudah tau belum? katanya sekali waktu, lalu diulanginya lagi pertanyaan itu sekali watu berikutnya setiap kali akan menjelaskan hal yang baru. Begitu seterusnya hingga tengah malam telah berlalu.

Tepat pukul satu lewat sepuluh menit. Air mata mulai merembes dari mata seorang Parjo. Dadanya mulai sesak, ingin menumpahkan semua rasa sedihnya. Perlahan tetesan air itu meleleh membasahi pipi Parjo. Saat mengiringi kisah yang ia ceritakan kepada teman-temannya. Kisahnya ketika belajar agama dahulu dengan sang guru, Ustadz Fikri.

Parjo menundukan kepala, sesekali ceritanya terhenti karena sesenggukan. Ia tak sanggup lagi menahan tangis. Tapi, tetap menceritakan kisahnya dengan sang guru. Bukan hanya kisah biasa. Kisah itu dibalut dengan banyak petuah-petuah.

Entah terbawa suasana atau mungkin memang hati ketiga temannya kini telah disirami oleh air yang sejuk. Dari kisah-kisah yang Parjo ceritakan. Tumpah ruahlah air mata ketiganya. Malam itu keempat penjudi menangis seperti anak kecil kehilangan mainannya. Air mata itu membasahi karpet masjid.

Pukul dua lewat dua puluh lima menit dini hari. Tangisan-tangisan itu baru berhenti setelah dari kejauhan terdengar langkah kaki menuju masjid. Suara sepatu satpam kampung mungkin. Yang pasti mereka tidak ingin menarik perhatian warga kampung. Perlahan namun pasti mereka berhasil pergi tanpa seorang pun yang tahu. Meski mereka meninggalkan jejak berupa karpet yang dibanjiri air mata.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *