CerpenSastra Kita

Karpet Masjid yang Basah

“Bang Ojek…,” panggil suara di kejauhan.

“Jo, giliran kamu tuh narik penumpang”.

“Serius, nih?” tanya Parjo heran,“Biasanya kamu selalu semangat narik penumpang kalau pagi begini Min,” lanjutnya memastikan.

“Itu kan kalau penumpangnya perempuan, Jo,” kilah Sarmin diiringi tawa yang lainnya.

Parjo mengalah. Mengambil penumpang lebih dulu tak seperti biasanya. Penumpang berpakaian putih itu mengenakan peci hitam dan tas ransel di punggungnya. Selang beberapa waktu Parjo, sepeda motor dan penumpangnya sudah sirna dari pandangan. Menuju ke Masjid Al Furqon. Sesuai permintaan si penumpang.

“Mau ngapain, dik, ke masjid pagi-pagi begini?” tanya Parjo penasaran.

“Mau i’tikaf, Bang, di Masjid Al Furqon, kebetulan saya ikut bantu jadi panitia. Sekalian berburu malam Lailatul Qadr, Bang,” lanjutnya dengan antusias menjawab rasa penasaran Parjo.

Mendengar kata lailatul qadr dada Parjo berdebar. Semangat pemuda yang diboncenginya seolah menjadi pemicu ledakan di dadanya. Ingatan lamanya kembali terbuka. Hingga ketika sampai di tujuan. Masjid Al Furqon. Parjo terdiam memandangi masjid. Ia mulai tenggelam dalam ingatannya.

Tenggelam pada kenangan yang telah keruh. Karena telah dicampur pahit kabar kematian sang guru. Ia nyalakan lagi sepeda motornya usai mengantarkan penumpang. Hanya ada satu tempat di pikirannya. Masjid. Tapi, ia menampikkan pikirannya dan memilih kembali ke pangkalan ojek. Lebih tepatnya pangkalan judi.

Ingatan tentang Al Qadr di kepala Parjo entah kenapa segar kembali. Seolah baru saja ia pelajari. Bahkan setiba di pangkalan ojek dan kembali bermain judi. Parjo menceritakan kepada teman-temannya tentang malam yang lebih baik dari seribu bulan itu.

Mereka asik dengan permainan judinya siang itu. Tapi tetap mendengarkan cerita Parjo. Terlebih ketika Parjo bilang “Siapapun yang berdo’a di malam itu, do’anya pasti terkabul”. Ketiga temannya semakin tertarik. Bahkan penasaran ingin membuktikannya.

Parjo dan kawan-kawannya mengatur rencana untuk memburu malam lailatul qadr.

“Kita mulai malam ini, Jo” tanya Damar diikuti wajah penasaran Sarmin dan Tono.

“Iya, kita mulai malam ini juga, tapi kita susun rencana dulu,” kata Parjo memberi komando. Sarmin, Damar dan Tono hampir serentak mengacungkan jempol mereka.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *