Karpet Masjid yang Basah
Seorang relawan datang ke kampung bersama Pak Lurah.
“Saya temannya Ustadz Fikri, saya ingin menyampaikan kabar duka,” ucapnya tanpa basa-basi.
“Apa yang terjadi dengan Ustadz Fikri?” Pak RT berharap kabar yang datang tidaklah seburuk yang ada di kepalanya.
“Beliau tewas tertimbun longsor, ada beberapa orang saksi yang melihatnya tertimbun saat sedang malakukan pencarian korban. Selain itu, mayatnya belum bisa ditemukan sampai saat ini,” ia menundukan kepala, karena ikut larut dalam kesedihan kabar yang dibawanya.
“Brakkk….!” Pak RT menggebrak meja,”kalau mayatnya saja belum ditemukan kenapa sudah dinyatakan tewas?” lanjutnya tidak terima dengan kabar yang datang.
Bagaimana dengan Parjo? Apa yang harus aku bilang padanya? Ia pasti akan terpukul, resah di dada Pak RT tak kunjung menemukan jawabnya. Matanya berkaca-kaca, bibirnya tertutup rapat. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan. Lalu, mengangis sesenggukan.
Kabar itu seolah menghantam keras kepala Parjo muda. Ia pingsan mendengarnya. Kabar yang begitu menyakitkan bagi seorang anak sebatang kara yang belum lama mendapatkan ganti kasih sayang baru. Parjo menjadi anak yatim piatu untuk kedua kalinya.
Parjo memang anak yang mandiri, ia mampu mengurus hidupnya sendiri. Meskipun, untuk urusan makan dan minum masih ditanggung iuran uang kas warga sekampung.
Tapi, kepergian sang guru membuatnya kehilangan semangat hidup, bahkan untuk sekedar berdiri di atas kakinya sendiri ia tak mampu. Berminggu-minggu semenjak kabar itu sampai. Tak satupun ada yang datang mengantarkan jenazah Ustadz Fikri ke kampung. Jenazahnya hilang. Mungkin tertimbun tanah longsor ketika sedang melakukan pencarian korban longsor di pulau seberang.
Selama itu pula Parjo hanya diam di rumah. Ia sudah tidak lagi datang ke masjid. Jangankan ikut mengaji bersama ustadz yang menggantikan gurunya. Sekedar sholat untuk menunaikan kewajiban pun tidak ia lakukan. Kepergian sang guru bukan akhir hidupnya, melainkan akhir dari semua hal baik yang pernah ia miliki.
Seseorang sepertinya tidak bisa terus-menerus mengandalkan uang kas kampung untuk menyambung hidup. Semenjak hilangnya wajah Parjo di masjid sebulan lebih. Warga kampung enggan menangung hidupnya.
Jadilah Parjo seorang tukang ojek. Motor butut peninggalan ayah angkatnya menjadi modal utama. Ditambah hutang di bengkel untuk memperbaiki motor tua itu. Tapi, bukan masalah baginya. Toh, jasa ojek sedang sangat dubutuhkan saat itu.