EDITORIAL | Kayu-Kayu yang Membuka Mulut: Skandal Hutan Sumbar yang Diseret Arus Galodo
Sumatera Barat mencatatkan salah satu bencana paling brutal dalam dua dekade terakhir. Namun bukan hanya banjir bandang dan galodo yang meluluhlantakkan perkampungan, alam juga membawa pesan: kebenaran yang selama ini dikubur dalam sunyi.
Ketika air bah datang, ribuan kayu gelondongan bermunculan dari perut hutan, terseret melintasi lembah, menumbuk dinding rumah, merobek jembatan, lalu berakhir di pesisir Muaro Padang.
Kayu-kayu itu datang bukan sebagai korban, melainkan sebagai bukti diam, yang selama ini barangkali disembunyikan lebih rapat daripada rahasia negara.
Pemandangan tumpukan batang pohon berdiameter besar yang terdampar di bibir pantai, hanyut dari punggung bukit hingga hilir, adalah pemandangan yang tak lagi bisa dinafikan. Skala bencana tahun 2025 ini menyaingi banjir bandang 2023, dan menjadi yang terbesar sejak gempa 2009. Namun kali ini, alam seperti mengeluarkan “arsip gelap” dari hulu sungai: bukti kehancuran yang tidak bisa dipoles lewat konferensi pers.
Di Kabupaten Sijunjung, terutama Nagari Tanjung Kaliang, gambaran kerusakan hutan sudah lama menjadi cerita rakyat. Di lapangan, ratusan hektare hutan gundul telah bertahun-tahun berdiri seperti luka menganga. Warga menunjuki titik-titik tebangan yang mereka sebut “kebun oknum”, merujuk pada pola pemanfaatan kawasan hutan dengan dalih dokumen administratif yang semakin hari semakin mencurigakan.

Foto kerusakan hutan deforestasi di Nagari Tanjung Kaliang Kab. Sijunjung Sumatera Barat ratusan hektar hutan rusak.
Temuan-temuan lapangan menunjukkan pola yang berulang: dokumen diduga direkayasa, tata batas berubah tiba-tiba, izin muncul seperti bayangan. Bahkan penyidik kehutanan daerah mengaku pada wartawan dengan syarat anonim bahwa beberapa laporan tak pernah kembali setelah dikirim ke tingkat lebih tinggi.
Jika pembalakan liar biasanya berlangsung sembunyi-sembunyi, maka di Sijunjung aktivitas itu seperti berlangsung dalam keheningan yang disahkan. Bumbungan asap gergaji mesin terdengar hampir saban minggu, tapi tak pernah ada pengawasan yang benar-benar memanjat sampai ke kaki mesin.
Di balik semua itu, muncul satu kalimat yang terus berulang dari para narasumber yang enggan disebut namanya: “Kasus ini tidak akan naik, kecuali Presiden sendiri yang memerintahkan.”
Ungkapan itu bukan tanpa alasan. Dalam penelusuran investigatif, nama seorang perwira tinggi berpangkat jenderal bintang dua beberapa kali disebut sebagai sosok yang berada dalam lingkaran pengaruh. Benar atau tidaknya, dugaan itu menunjukkan betapa kuatnya bayang-bayang yang melindungi operasi pembalakan di jantung Sumbar.
Mzknews.Co menyebut pola ini sebagai “tangan yang tidak terlihat namun sangat terasa”. Gangga yang bertugas menyebutnya “afiliasi gelap antara perizinan, pengawasan, dan akses modal”. Meski belum pernah terungkap dalam dokumen resmi, pola ini terlihat dari:

laporan-laporan pembalakan yang hilang di meja birokrasi,operasi lapangan yang dihentikan mendadak,pelaku kecil yang ditangkap tetapi operator besar hilang dari sorotan,dan keberanian luar biasa para penebang untuk merambah kawasan hutan ratusan hektare tanpa rasa takut.
Sesuatu yang besar jelas bekerja di balik layar.
Bencana tahun ini menjadi panggung yang memaksa para pelaku keluar dari persembunyian. Tuhan, begitu kata sebagian warga, sedang mempertontonkan kesalahan mereka. Alam tak lagi menutupi kejahatan manusia. Ribuan kayu hanyut yang menghantam desa-desa itu seperti menulis pengakuan di atas lumpur: bahwa kerusakan ini bukan karya badai, melainkan hasil industri gelap yang beroperasi bertahun-tahun.
Korban berjatuhan. Rumah hilang. Hidup tercerabut.
Kerakusan itu kini ditagih lewat nyawa manusia.
Editorial investigatif ini menyimpulkan satu hal: skandal kehutanan Sumatera Barat bukan lagi sekadar pelanggaran izin atau administrasi. Ini adalah kejahatan terstruktur yang merampas masa depan, memperkaya segelintir orang, dan membiarkan rakyat menjadi korban bencana yang bisa dicegah.
Pertanyaan sekarang bukan lagi apakah kerusakan ini disengaja, tetapi siapa yang bertanggung jawab di baliknya. Dan pertanyaan itu tidak akan berhenti sampai negara membuka seluruh tabirnya.
Reporter: Gangga
Editor: Khoirul Anam