ArtikelFEATUREDTOP STORIES

Milih Pemimpin Itu Wajib, Yakin Mau Golput? 

Foto: Ilustrasi Pemimpin (harokati1.blogspot.com)

Oleh: Iga Kurniawan, S.H., M.Ag.

Seorang pakar fikih dan politik, Abu al-Hasan al-Mawardi dalam masterpisnya “al-Ahkam al-Sulthoniyyah” menyatakan bahwa “imamah” atau eksistensi pemimpin dalam suatu wilayah adalah sebuah keniscayaan. Fungsinya untuk melanjutkan peran kenabian dalam menjaga keutuhan agama dan kemaslahatan dunia. Oleh sebab itu, lanjut al-Mawardi, menegakkan kepemimpinan merupakan kewajiban.

Lalu apakah kewajiban menegakkan pemimpin (imam) berdasarkan akal atau syariat? Keduanya didukung oleh argumentasi yang kuat. Kewajiban menunjuk pemimpin yang didukung oleh akal menyatakan bahwa kewajiban adanya pemimpin ialah untuk menegakkan keadilan dan mencegah kedzaliman, serta untuk memecah permusuhan. Jika tidak ada pemimpin, pasti akan muncul kekacauan di mana-mana.

Sedangkan kewajiban menegakkan pemimpin yang didukung oleh syariat, merujuk pada ayat 59 surat al-Nisa, yakni perintah taat dan patuh pada Allah, Rasul dan Ulul Amri. Yang ketiga inilah yang disebut pemimpin, yang diberi wewenang yang sah oleh negara untuk mengelola tata negara.

Terdapat sebuah riwayat dari Hisyam bin Urwah, dari Abi Solah dari Abu Hurairah, Nabi bersabda “akan ada penguasa sepeninggalku, yang baik dengan kebaikannya dan pendosa dengan dosa-dosanya. Dengarkan dan taatilah keduanya dalam kebenaran. Jika mereka baik, maka kebaikan itu akan kembali padanya dan padamu. Dan jika mereka berbuat buruk, maka keburukan itu untuknya, bukan untukmu”.

Jika memiliki seorang pemimpin adalah wajib, maka yang harus dilakukan adalah membentuk, memilih dan menentukan pemimpin berdasarkan kesepakatan.

Dalam konteks Indonesia yang bersistem demokrasi, pemimpin dipilih oleh rakyat atau wakilnya. Terutama sejak tahun 2004 lalu hingga sekarang, pemimpin negara dipilih langsung oleh rakyat.

Keberlangsungan pemilihan langsung selama 20 tahun inilah yang memberikan kesempatan pada rakyat umum dari kalangan manapun untuk ikut serta menentukan pemimpin yang diharapkan mampu membawa kemaslahatan untuk Bangsa Indonesia.

Persoalan yang muncul adalah apabila rakyat acuh dan tidak melek wacana, terutama Pemilihan Umum yang akan digelar pada 14 Februari nanti menutut sikap kritis masyarakat terhadap calon yang sekarang sudah menebar janji politiknya. Jika tidak bisa mewakili harapan seluruh rakyat, setidaknya mampu mewakili sebagian besar harapan masyarakat. Oleh sebab itu, memilih untuk tidak memilih merupakan sebuah kekeliruan.

Al-Mawardi mengatakan apabila pemimpin (imamah) ini wajib, maka harus ada seseorang yang menempati posisi tersebut. Secara umum, teknisnya ada dua cara. Boleh dengan sistem demokrasi perwakilan, yakni ada orang-orang yang dipercaya untuk menentukan pemimpin. Untuk yang pertama ini bisa juga dengan opsi pemilihan umum sebagaimana yang kita terapkan 20 tahun terakhir ini. Sedangkan yang kedua bisa dengan mengangkat diri berdasarkan ketentuan perundangan yang sah.

Yang terpenting dalam hal ini tidak boleh ada kekosongan kepemimpinan agar tidak terjadi chaos dan kekacauan dalam sebuah wilayah.

Wallahu A’lam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *