Bukan Sekadar Pengganti UN, TKA dan Integrasi PAI Adalah Kunci Pendidikan Holistik
Penulis: Mutia Adriyeni (Mahaasiswa Program Pascasarjana Prodi PAI Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat)
Mengapa Tes Kemampuan Akademik (TKA) saja tidak memadai? Perubahan kurikulum pendidikan di Indonesia merupakan keharusan yang terus berlangsung demi peningkatan kualitas pembelajaran. Tes Kemampuan Akademik (TKA) kini ditetapkan sebagai pengganti Ujian Nasional (UN), sebagaimana tercantum dalam Kepmendikdasmen Nomor 95 Tahun 2025 tentang Pedoman Penyelenggaraan TKA.
Kehadiran TKA adalah langkah maju yang patut diapresiasi karena berfokus pada pengukuran kemampuan bernalar dan berpikir kritis (HOTS), bukan sekadar menguji hafalan sebagaimana terjadi pada UN. Dalam perspektif pendidikan, orientasi baru ini menawarkan harapan bagi terwujudnya proses belajar yang lebih bermakna.
Namun demikian, di tengah optimisme tersebut muncul satu persoalan fundamental: ketiadaan Pendidikan Agama Islam (PAI) sebagai komponen evaluasi dalam TKA. Hal ini memicu pertanyaan mengenai komitmen pendidikan nasional terhadap konsep Pendidikan Holistik.
Konstitusi dan tujuan pendidikan nasional secara eksplisit menekankan pentingnya pembentukan peserta didik yang tidak hanya unggul dalam kompetensi kognitif, tetapi juga beriman, bertakwa, dan berkarakter. Jika TKA hanya mengukur kemampuan akademik (hard skill), maka terdapat risiko munculnya generasi yang cerdas secara intelektual, tetapi lemah secara moral dan etika. Dengan demikian, TKA hanya mengukur sebagian kecil dari potensi peserta didik, sementara dimensi spiritual dan karakter yang menjadi fondasi masyarakat beradab tidak tersentuh.
Tulisan ini bukanlah penolakan terhadap TKA, bahkan sebaliknya. Penulis memberikan dukungan penuh terhadap implementasinya. Namun, dukungan tersebut disertai dorongan agar pemerintah mempertimbangkan integrasi Pendidikan Agama Islam sebagai bagian dari instrumen penilaian.
Analisis ini menunjukkan bahwa TKA akan mencapai efektivitas optimal bila ia mampu mengharmonikan pengukuran kompetensi akademik dengan penguatan integritas moral melalui PAI. Integrasi tersebut menjadi kunci untuk memastikan tercapainya tujuan pendidikan nasional: menghasilkan lulusan yang cerdas secara intelektual sekaligus kokoh secara karakter.
TKA berpotensi menjadi instrumen evaluasi yang lebih objektif dalam menilai kemampuan akademik siswa. Berbeda dengan UN yang kerap menimbulkan tekanan tinggi (high-stakes) dan membuka peluang kecurangan, TKA dapat dirancang untuk mengurangi stres dan meningkatkan reliabilitas tes.
Dalam perspektif asesmen pendidikan, instrumen yang baik harus mampu mengukur kompetensi yang nyata dipahami siswa bukan seberapa banyak materi yang berhasil dihafal di bawah tekanan kelulusan. Jika dirancang dengan tepat, TKA dapat menjadi alat evaluasi yang benar-benar mencerminkan pemahaman konseptual.
TKA dirancang untuk menilai kemampuan berpikir tingkat tinggi (HOTS), seperti analisis, evaluasi, dan pemecahan masalah, bukan sekadar kemampuan mengingat informasi. Desain ini serupa dengan standar penilaian internasional seperti Program for International Student Assessment (PISA) yang menekankan penggunaan literasi dan numerasi untuk menghadapi situasi nyata.
Pergeseran fokus ini memiliki implikasi positif, guru terdorong untuk mengajar secara lebih bermakna dan kontekstual, sementara siswa termotivasi untuk belajar dengan pemahaman, bukan hafalan mekanis.
Pentingnya Keseimbangan Ilmu dan Iman dalam TKA
Meskipun TKA memiliki keunggulan dalam pengukuran kemampuan akademik, pendidikan di Indonesia menuntut pendekatan yang lebih komprehensif.
Ki Hajar Dewantara menegaskan bahwa pendidikan harus mengembangkan seluruh aspek diri peserta didik seperti kognitif, fisik, emosional, sosial, spiritual, dan karakter.
Integrasi PAI dalam TKA menjadi langkah strategis untuk menjaga keberlanjutan prinsip tersebut. Kehadiran nilai-nilai agama dalam instrumen evaluasi tidak hanya menunjukkan bahwa aspek spiritual merupakan bagian dari kompetensi, tetapi juga menegaskan bahwa pendidikan tidak boleh terlepas dari nilai moral yang membimbing perilaku peserta didik.
PAI memiliki peran utama dalam membentuk karakter, menanamkan nilai-nilai kejujuran (ṣidq), tanggung jawab (amānah), keadilan (‘adl), dan integritas. Menguji kecerdasan logis tanpa menyentuh dimensi moral sama dengan membangun bangunan tanpa fondasi.
Integrasi PAI dalam TKA tidak harus berupa tes hafalan, tetapi dapat diwujudkan melalui analisis kasus berbasis etika dan prinsip ajaran Islam. Keseimbangan antara ilmu (pengetahuan) dan iman (nilai moral) merupakan cita-cita pendidikan Islam dan menjadi kebutuhan mendesak dalam pembangunan karakter generasi bangsa.
Sebagai pendidik, penulis mendukung penuh TKA sebagai masa depan evaluasi akademik yang lebih progresif dan berkeadilan. Namun, agar TKA benar-benar berfungsi sebagai instrumen pengukuran yang menyeluruh dan mencerminkan tujuan pendidikan nasional, pemerintah perlu mempertimbangkan integrasi Pendidikan Agama Islam ke dalamnya.
Dengan demikian, TKA bukan hanya mengukur kecerdasan akademik, tetapi juga berkontribusi pada pembentukan karakter, sehingga pendidikan nasional bergerak menuju model yang holistik, berimbang, dan berkarakter.