Kejati Sumbar Bungkam Soal Kasus Hutan Tanjung Kaliang, Menunggu Korban Jiwa?
Editorial khusus
Kerusakan hutan di Tanjung Kaliang, Kabupaten Sijunjung, memasuki fase krisis. Pembukaan kawasan hutan berlangsung masif, izin tidak lengkap, potensi kehilangan kayu negara semakin besar, dan dugaan korupsi perizinan menguat.
Kejaksaan Agung sudah melimpahkan perkara ini kepada Kejati Sumbar sejak pertengahan 2025, namun hingga kini Kejati tidak menunjukkan langkah konkret.
Kebungkaman ini memicu tanda tanya besar karena Sumatera Barat terus dilanda bencana hidrometeorologi akibat kerusakan lingkungan. Publik mempertanyakan apakah Kejati Sumbar harus menunggu korban jiwa terlebih dahulu sebelum bertindak.
Investigasi lapangan menunjukkan aktivitas pembukaan lahan di Tanjung Kaliang berlangsung sistematis. Aparat menemukan indikasi kuat tidak adanya HGU yang sah, ketidaksesuaian perizinan dengan aturan kehutanan, dan hilangnya kayu hasil pembalakan yang seharusnya masuk inventaris negara.
Temuan lain mengarah pada dugaan pengemplangan pajak dari aktivitas yang berlangsung di kawasan tersebut. Semua komponen pelanggaran administratif dan pidana sudah terlacak sejak awal tahun. Ketika Kejagung mengambil alih dan kemudian mengembalikan perkara ke Kejati Sumbar, publik berharap proses hukum bergerak cepat. Namun fakta di lapangan justru berbeda.
Konfirmasi resmi kepada Penkum Kejati Sumbar, M. Rasyid, tidak mendapat respons. Pernyataan klarifikasi tidak keluar, update penanganan tidak muncul, dan institusi memilih bungkam. Sikap pasif ini memunculkan kecurigaan adanya tekanan atau intervensi dari pihak tertentu yang ingin menghentikan atau memperlambat proses.
Di sisi lain, bencana ekologis terus menekan masyarakat Sumbar. Hujan deras pada November 2025 memicu banjir bandang, merusak permukiman, dan mengisolasi sejumlah kawasan. Aktivis lingkungan menyatakan kerusakan hutan di hulu sungai memperparah daya tampung wilayah dan meningkatkan risiko bencana.
Setiap penundaan penegakan hukum memperbesar dampak ekologis yang harus ditanggung warga. Ketika proses hukum macet, masyarakat kehilangan perlindungan. Ketika aparat diam, ruang bagi kejahatan lingkungan semakin terbuka. Sikap ini menimbulkan persepsi negatif bahwa penegakan hukum hanya bergerak ketika tidak menyentuh kepentingan tertentu.
Penelusuran informasi yang berkembang di tingkat lokal mengarah pada dugaan adanya kekuatan terselubung yang berupaya mengamankan kasus ini. Dugaan publik itu tidak mengarah pada individu tertentu, namun pola-pola keheningan institusional seperti ini kerap muncul ketika ada benturan kepentingan.
Sejumlah sumber menyebut kemungkinan keterlibatan oknum yang berkepentingan dalam menjaga agar kasus tidak naik ke tahap lebih tinggi. Tidak ada bukti formal yang memastikan, namun sikap bungkam Kejati justru menguatkan dugaan tersebut.
Sementara itu, tekanan publik terus meningkat. Masyarakat menilai Kejati Sumbar tidak menunjukkan keberanian menegakkan hukum secara terbuka.
Dalam konteks krisis lingkungan, tindakan lambat dari penegak hukum berpotensi memperbesar risiko keselamatan. Setiap pembalakan liar yang tidak ditindak membuka jalan bagi bencana berikutnya. Setiap penundaan pemeriksaan memperpanjang kerusakan. Setiap kebungkaman membuat pelaku semakin percaya diri.
Situasi ini menempatkan Kejati Sumbar dalam sorotan nasional. Sebagai lembaga penegak hukum, Kejati memiliki mandat melindungi lingkungan dan aset negara. Kejaksaan Agung telah mengambil langkah dengan melimpahkan perkara, sehingga bola sepenuhnya berada di tangan Kejati Sumbar. Keterlambatan tanpa alasan membuat publik meragukan integritas proses hukum. Berbagai kalangan mendesak Kejati memberikan penjelasan terbuka dan menunjukkan bahwa institusi penegak hukum tidak tunduk pada tekanan atau kepentingan tertentu.
Kasus hutan Tanjung Kaliang bukan hanya persoalan hukum, tetapi juga ancaman nyata terhadap keselamatan masyarakat. Ketika hutan hilang, air tidak punya tempat kembali. Ketika penegakan hukum lemah, bencana menjadi lebih mematikan.
Dalam kondisi demikian, pertanyaan publik semakin keras: apakah Kejati Sumbar benar-benar menunggu korban jiwa sebelum membuka suara?.
Reporter: Gangga
Editor: Khoirul Anam