DaerahFEATUREDNewsTOP STORIES

Banjir Maut Sumbar 2025: Jejak Mafia Kayu dan Dugaan Perwira Tinggi di Balik Gelombang Kayu Gelondongan

Editorial Khusus

“Banjir maut yang meluluhlantakkan Sumatera Barat tak hanya menyisakan ribuan rumah yang rata, ratusan korban jiwa, dan puluhan daerah yang porak-poranda. Di balik derasnya arus yang menghanyutkan manusia dan harta benda, ikut meluncur ribuan batang kayu gelondongan yang membuka tabir kelam. Bencana ini bukan semata-mata murka alam, tetapi diduga merupakan puncak dari operasi pembalakan liar yang selama bertahun-tahun dibiarkan, dilindungi, bahkan ditopang oleh oknum aparat lintas institusi termasuk seorang perwira tinggi bintang dua yang disebut berada dalam lingkaran kendali.”

Kayu gelondongan yang berserakan di sepanjang Muaro Pantai Padang Sumatera Barat saat banjir bandang dan galodo bukan hanya puing dari hutan yang tumbang, itu adalah bukti visual dari operasi pembalakan yang telah berjalan lama, terstruktur, dan terlindungi.

Bencana besar pada penghujung 2025 ini justru membuka tabir gelap yang selama ini ditutup rapat, dugaan keterlibatan oknum aparat dari berbagai institusi dalam jaringan ilegal logging yang sangat kuat di Sumbar. Dan yang paling mengejutkan nama seorang oknum perwira tinggi bintang dua ikut muncul dalam lingkaran perlindungan jaringan tersebut.

Berdasarkan penelusuran berbagai sumber di lapangan dan data investigatif, pola kerjanya terlihat sangat rapi. Bukan kerja sembarang pelaku. Ada alur yang disetel untuk mengamankan kayu dari hutan, mengganti identitas legalitasnya, dan mengalirkannya keluar tanpa tercatat sebagai kayu ilegal.

Modus utamanya adalah penggunaan SIPUHH yang diduga palsu atau dokumen SIPUHH yang dipinjam dari provinsi/Daerah kabupaten lain. Kayu ditebang di daerah Sumbar, tapi dokumennya seolah berasal dari daerah berbeda. Legal di atas kertas, ilegal di lapangan.

Dalam operasi ini, sosok sipil yang mengendalikan jalur lapangan diduga bekerja tidak sendirian. Ia disebut memiliki “payung” dari oknum aparat lintas sektor termasuk dukungan dari seorang oknum jenderal bintang dua. Informasi ini bukan desas-desus liar.

Ia disebutkan berulang oleh sejumlah pihak yang selama ini mengetahui bagaimana kasus-kasus kehutanan tak pernah naik ke permukaan. Ketika laporan dibuat, ia berhenti di meja tertentu. Ketika penyelidikan dimulai, ia hilang tanpa jejak. Ada tembok kekuatan yang terlalu tebal untuk ditembus aparat tingkat provinsi.

Banyak pihak percaya, selama sosok berpengaruh ini masih berada dalam lingkaran perlindungan jaringan, Sumatera Barat tidak akan pernah mampu mengusut pembalakan liar dari hulu hingga hilir. Bahkan penegak hukum daerah sendiri merasa tercekik. Mereka bekerja dengan risiko, sementara musuh yang dihadapi bukan pelaku kecil tetapi jaringan yang punya rute, punya dokumen, punya modal, dan punya “pelindung”.

Di sisi lain, izin pelepasan kawasan hutan, lemahnya pengawasan Dinas Kehutanan Sumbar, serta kurangnya kontrol KLHK juga menjadi bagian dari rantai persoalan. Banyak informasi yang menyebut sejumlah izin kawasan justru digunakan sebagai pintu masuk untuk penggundulan hutan yang tidak pernah diaudit secara serius. Karena itu, nama-nama pejabat daerah seperti gubernur dan bupati hingga otoritas pusat di KLHK perlu diperiksa untuk membuka siapa memberi ruang pada operasi gelap ini.

Dalam dinamika bencana terbaru, Gubernur Sumatera Barat Mahyeldi akhirnya mempertegas akar masalah. Ia menyatakan bahwa bencana hidrometeorologi yang memporakporandakan banyak daerah tidak bisa dilepaskan dari aktivitas penebangan kayu ilegal. Ia mendesak pemerintah pusat untuk meninjau ulang kebijakan kehutanan dan memperketat pengawasan, karena pembalakan liar telah merusak struktur alam Sumbar.

“Hal itu memang berdampak pada meningkatnya potensi banjir dan longsor di daerah rawan,” ujarnya, Senin (1/12/2025).

Mahyeldi juga menekankan perlunya kolaborasi penuh antara pemerintah pusat, daerah, aparat penegak hukum, dan masyarakat untuk menghentikan pembalakan liar. Ia memerinci dampak bencana: 132 meninggal dunia, 118 hilang, lebih dari 33.000 rumah rusak, 16.000 hektare lahan pertanian hancur, serta puluhan fasilitas pendidikan, kesehatan, dan rumah ibadah yang rusak. Infrastruktur vital seperti bendungan, irigasi, hingga lebih dari empat kilometer jalan juga luluh lantak.

Skala kerusakan ini mengindikasikan sesuatu yang lebih parah dari sekadar curah hujan ekstrem. Ada hutan yang hilang. Ada kawasan yang kosong. Ada bukti-bukti kayu gelondongan yang ikut hanyut. Semua itu memperkuat analisa bahwa bencana kali ini adalah kombinasi antara cuaca dan kerusakan ekologis akibat aktivitas manusia.

Kini tekanan publik semakin menguat: Presiden diminta turun tangan. Tidak lagi cukup mengandalkan aparat daerah. Hanya pemerintah pusat yang punya kewenangan dan kekuatan untuk membongkar jaringan ini, termasuk menyentuh oknum perwira tinggi bintang dua yang disebut berada dalam bayang-bayang operasi. Tanpa itu, Sumbar hanya akan menunggu bencana berikutnya.

Kayu gelondongan yang hanyut saat banjir adalah pesan keras dari hutan: ini bukan sekadar musibah. Ini bukti. Dan bukti itu mengarah pada satu kesimpulan ada operasi gelap berskala besar yang harus dibongkar hingga ke meja tertinggi.

Reporter: Gangga

Editor: Khoirul Anam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *