DaerahFEATUREDNewsTOP STORIES

Warga Woro Terpukau dengan Tarian Anak-anak SMKN 1 Donggo

Foto: Siswa-siswi SMKN 1 Donggo yang melakukan tarian (Foto: IST)

Bima, MZK News – Tarian anak-anak SMK Negeri 1 Donggo sepanjang jalan raya Desa Woro, Kecamatan Madapangga, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) pada Selasa, 6 September 2023 sore tadi, tampak memukau dan menghipnotis hati masyarakat desa setempat.

Beragam atraksi ditunjukkan penari binaan sosok Kepala SMKN 1 Donggo Abdul Majid Hasan mulai Wura Bongi Monca, hingga Kalero Donggo untuk memeriahkan gelaran pawai budaya atas rencana khitanan buah hati sepasang suami istri Muhammad Sayuri dan Sriwijaya yakni Aditya Ainurrahman memadati ruas jalan.

Tak hanya itu, para pengendara dan pengemudi yang melintas harus berhenti ikut serta menyaksikan atraksi tarian tersebut.

Pembimbing Aisyah mengatakan, antusiasme masyarakat Desa Woro dalam memeriahkan pawai yang diiringi tarian seni budaya adat Donggo tadi membuat rasa semangat anak-anak beratraksi tak mengenal capek dan lelah hingga usai.

Menurutnya, anak-anak ini baru kali pertama beratraksi di Desa Woro ini, meski kerap tampil di acara atau pentas selama ini. Bakat anak-anak ini tumbuh kembang karena di sekolah itu ada kegiatan rutinitas. Jadi, selama dalam satu pekan itu, tiga sampai empat kali untuk latihan. Anak-anak ini biasa menerima panggilan dari Pemerintah Daerah Kab. Bima untuk tampil di acara-acara kaya pentas seni dan lain-lain.

“Alhamdulillah anak-anak ini adalah anak-anak yang baik, yang ketika gurunya menyuruh latihan, mereka langsung datang tanpa harus dipaksa,” ungkap Aisyah.

Dia juga menjelaskan, tadi adalah cerita yang menceritakan kehidupan masyarakat Donggo di masa lampau, itu namanya Teater Fisik dan Kalero, di mana Fisik itu adalah isak tangis dan ratapan dan kalau dalam bahasa Bima adalah kada dan ka poro akibat adanya salah satu keluarga yang meninggal. Sementara Fisik adalah sama. Ungkapan kesedihan dengan menghentakkan kaki, rasa sedih, rasa tidak ingin ada keluarga yang hilang. Jadi, Tumpang Kala juga tadi adalah rasa kepasrahan kenapa peristiwa tersebut bisa terjadi.

Persiapan yang menonjol, sambung dia, lebih ke pakaian adatnya. Pakaian adatnya, Donggo asli ya, om. Jadi, kalau kekurangan kostum biasanya pinjam karena di sekolah itu ada siswa yang berasal dari Nggeru Kopa dan Tolo Nggeru biasa untuk pinjam.

“Kami menyadari kendala yang dialami anak-anak hingga sekarang adalah kostum, om. Kalau kami tampil, nggak mau pakaian biasa. Kami maunya pakaian adatnya agar terlihat unik karena yang unik dari Donggo adalah adatnya,” tutup Aisyah.

Reporter: Muhtar Habe

Editor: Khoirul Anam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *