Kurikulum Merdeka: Kuatkan Profil Pelajar Pancasila Tanpa Hukuman
Oleh: Nordalillah, S.Pd.I. (Guru SMP Negeri 2 Batulicin)
Dewasa ini seringkali kita temukan berita dan informasi tentang kekerasan antara guru dan murid yang membuat resah orang tua. Hal tersebut bermaksud mendisiplinkan murid dengan memberikan efek jera berupa hukuman. Hukuman yang diberikan kepada murid dapat menimbulkan dampak negatif diantaranya rasa trauma, takut, kesal, dan tambah tak peduli terhadap gurunya. Misal, tetap membangkang terhadap guru dengan tidak mau lagi mendengar apa yang menjadi nasehat dan perintah guru, tidak mau masuk jam pelajaran guru yang memberi hukuman.
Pada saat ini semarak digaungkan kurikulum merderka didalamnya terkandung profil pelajara pancasila. Di Kurikurilum 2013, kita mengenal Penguatan Pendidikan Karakter atau biasa disingkat PPK. Namun, dalam Kurikulum Merdeka, kita dikenalkan dengan istilah Profil Pelajar Pancasila. Profil Pelajar Pancasila adalah profil lulusan yang bertujuan menunjukkan karakter dan kompetensi yang diharapkan diraih dan menguatkan nilai-nilai luhur Pancasila murid dan para pemangku kepentingan. Profil Pelajar Pancasila terdiri dari enam dimensi, diantaranya: (1) Beriman, Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia, (2) berkebhinekaan global, (3) mandiri, (4) bergotong royong, (5) bernalar kritis, dan (6) kreatif.
Dalam kurikulum ini, sang tokoh pendidikan yakni Ki Hadjar Dewantara memiliki istilah sistem among, yakni melarang adanya hukuman dan paksaan kepada anak didik karena akan mematikan jiwa merdeka serta mematikan kreativitas murid. Guru hanya membersamai murid dalam mengembangkan potensi yang dimilikinya sesuai kodrat alam dan zaman. Selain itu, guru harus mengetahui kebutuhan muridnya.
Akan tetapi kata melarang disini bukan berarti guru dilarang untuk memberikan hukuman kepada kepada murid yang melakukan kesalahan, karena murid yang bersalah memang sebaiknya diberikan sanksi agar murid yang bersangkutan dan maupun murid yang lainnya tidak melakukan kesalahan serupa.
Namun, hukuman atau sanksi tersebut di ubah menjadi konsekuensi dengan memposisikan murid sebagai subjek yang diberikan tanggung jawab seluas mungkin berinovasi dan berkreasi dengan konsekuensi sebagai batasannya. Hal tersebut karena mereka sudah mempunyai kesepakatan kelas masing-masing dalam pembelajaran.
Sekolah merupakan lembaga pendidikan bukan lembaga pengadilan yang bertugas memberikan hukuman bagi murid yang bersalah. Ketika murid sering terlambat hadir, jangan dihukum ataupun disertap di depan kelas,dimarahi atau bahkan dicubit untuk memberikan efek jera yang malah membuat murid semakin marah kepada guru. Langkah awal yang guru lakukan adalah mencari tahu penyebab keterlambatannya dan tetap memberikan konsekuensi atas kesepakatan yang mereka yakini menjadi keyakinan kelas.
Kesepakatan kelas dapat membantu membentuk lingkungan kelas yang kondusif dan mendukung tumbuhnya budaya positif. Kesepakatan kelas ini dibentuk secara bersama oleh guru dan murid di dalam kelas. Kesepakatan kelas berisi beberapa aturan untuk membantu guru dan murid bekerja bersama membentuk kegiatan belajar mengajar yang efektif. Kesepakatan kelas tidak hanya berisi harapan guru terhadap murid, tapi juga harapan murid terhadap guru serta harapan guru dan murid terhadap proses pembelajaran yang berlangsung. Kesepakatan disusun dan dikembangkan bersama-sama antara guru dan murid. Kesepakatan kelas yang menuntun nilai nilai positif akan berujung pada keyakinan kelas. Keyakinan kelas merupakan kesepakan kelas yang di yakini bersama oleh guru dan murid selama proses pembelajaran.
Belajar di perpustakaan pada jam istirahat membuat rangkuman pelajaran yang kemudian dipresentasikan kepada guru agar mengetahui murid benar-benar mengerjakan konsekuensinya. Langkah ini lebih bijak daripada hukuman atau kekerasan. Dijemur di tengah lapangan misalnya untuk hukuman murid yang tidak mengerjakan PR atau tidak mengerjakan tugas. Murid tidak mendapatkan apa-apa dengan hukuman seperti ini, belum lagi kondisi kesehatan murid berbeda-beda ada yang kuat ada yang lemah. Hukuman seperti itu tidak mendidik karena hanya panas-panasan yang didapat yang bisa membuat murid sakit dan trauma. Maka sebagai gantinya diberikan konsekuensi membuat kliping atau membuat video pembelajaran sesuai mata pelajarannya karena murid sekarang sangat mahir dalam penggunaan gawainya, dengan catatan tetap mengerjakan PR atau tugas tersebut.
Banyak cara yang lebih mendidik untuk melatih kedisilplinan murid tanpa memberikan hukuman. Menurut Ki Hajar Dewantara mendidik dan mengajar adalah proses memanusiakan manusia dari segala aspek kehidupan baik secara fisik dan rohani, tanpa ada paksaan dari untuk murid untuk menjadi hijau atau merah karena yang mempunyai kehendak adalah murid itu sendiri. Bagaimana membentuk manusia yang dimulai dari mengembangkan bakatnya, dimana setiap murid mempunyai kodrat alami dalam dirinya masing-masing, guru sebagai pendidik hanya merawat, memberi pupuk, memberi air, dan menyiangi hama agar kodrat alami bisa tumbuh subur dan buahnya melimpah tampa mengubah kodrat alami tersebut.
Apapun kesalahan murid bukan hukuman yang menjadi tolak ukur dan pilihan pertama. Jika murid diberikan konsekuensi sesuai kesepakatan kelasnya yang lebih mendidik untuk memperbaiki kesalahan dan perilakunya kenapa harus dihukum. Salam dan bahagia!
Jika siswa tidak melakukan konsekuensi yg kita berikan,,apa sebaiknya yang kita lakukan? Mohon pencerahannya.