FEATUREDOpiniTOP STORIES

Kompleksitas Problem Kepolisian Indonesia

Oleh: Alvin Gumelar Hanevi, M.Pd.

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) menempatkan kepolisian sebagai institusi dengan tingkat kepercayaan publik paling rendah (63%) dibandingkan dengan institusi penegakan hukum lainnya di Indonesia. Hal yang sama juga ditemukan dalam laporan tahunan Ombudsman pada tahun 2023 yang menempatkan kepolisian sebagai institusi yang sering dilaporkan terkait dengan pelayanan publik dengan total 647 laporan atau 7,97% dari 8.458 laporan.

Hal senada juga ditemukan dalam laporan Komnas HAM RI yang menunjukkan hasil yang lebih memprihatinkan, pada tahun 2023 kepolisian menjadi institusi yang paling banyak diadukan dengan 771 aduan dari 2.753 aduan.

Rendahnya tingkat kepercayaan publik (public trush) terhadap polri disebabkan oleh berbagai sebab seperti penegakkan hukum yang tebang pilih/lambat, arogansi oknum polisi, dan kasus pungli yang terjadi baik di internal maupun eksternal kepolisian.

Problem pertama yang menjadi sorotan publik adalah proses penegakkan hukum yang lambat bahkan cenderung tebang pilih. Banyak istilah yang menggambarkan persoalan ini seperti paradigma “hukum tajam kebawah tumpul keatas” atau yang terbaru yang sering disuarakan masyarakat ialah “no viral no justice”

Persoalan penegakkan hukum menjadi faktor pertama yang menyebabkan institusi kepolisian kurang mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Beberapa kasus yang bisa dibuktikan seperti saat kasus pembunuhan Vina Cirebon, Saka Tatal (16 tahun) dipaksa mengaku sebagai pelaku.

Ia akhirnya mengaku karena tidak tahan disiksa oleh polisi, seperti dipukuli, diinjak, disetrum, dan bahkan disuruh minum air kencingnya. Hal ini berujung pada vonis penjara selama 8 tahun meskipun ia kemudian bebas pada 2020.

Kemudian problem yang berikutnya adalah persoalan arogansi aparat kepolisian. Arogansi ini juga erat kaitannya dengan profesionalisme kepolisian. Beberapa kasus yang pernah terjadi seperti kasus mantan Kadiv Propam Ferdi Sambo dan juga kasus kematian Brigadir Nurhadi di NTB yang diduga dianiaya dan dibunuh oleh atasannya.

Selain itu juga ada beberapa kasus yang juga melibatkan aparat dan masyarakat sebagai korban seperti kasus pelecehan seksual oleh mantan Kapolres Ngada AKBP Fajar Widyadharma Lukman, Briptu Muhammad Rizky, dan Aipda Paulus Salo, sebagian besar tidak sampai ke pengadilan dan hanya disidang etik.

Kemudian problem ketiga yang paling menimbulkan keresahan masyarakat adalah kasus pungli yang dilakukan oleh kepolisian. Mungkin ada yang bertanya mengapa kepolisian secara umum bukankah itu hanya oknumnya saja, hemat penulis hampir seluruh aparat kepolisian diduga banyak tersandung kasus pungli.

Contoh sederhana yang bisa dirasakan oleh masyarakat luas adalah ketika proses pembuatan SIM, banyak sekali calo pembuatan SIM yang berhubungan langsung dengan aparat kepolisian. Ironisnya calo SIM ini menawarkan jasanya tepat di sebelah kantor kepolisian yang seharusnya kepolisian bisa menangkap dan memproses hukum namun faktanya berkata lain.

Selain itu juga banyak ditemukan kasus pungli dalam pelanggaran lalu lintas atau proses penilangan. Banyak slogan yang bermunculan seperti UUD (Ujung-Ujungnya Duit) atau polisi lapar dan segala macamnya.

Kompleksitas masalah yang ada ditubuh polri perlu dituntaskan segera. Pembentukan Komisi Percepatan Reformasi Polri yang dibentuk oleh Presiden Prabowo merupakan satu langkah awal yang baik untuk memperbaiki kerja dan citra kepolisian.

Terakhir, penulis berharap langkah pembentukan komisi ini tidak hanya sekedar formalitas semata namun perlu kesungguhan semua pihak dan elemen masyarakat untuk turut serta melahirkan kepolisian yang baik dan dekat dengan masyarakat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *