ArtikelFEATUREDPendidikanTOP STORIES

Mengapa Indonesia Tak Menjadi Negara Islam: Kompromi Keberagaman atau Kekalahan Politik?

Penulis: Yasniati Putri (Mahasiswi Ilmu Politik UM Sumbar)

Indonesia, tanah dimana azan berkumandang lima kali sehari, tetapi hukum syariah tak pernah benar-benar menjejak dalam konstitusi. Negeri yang dari kejauhan tampak seperti benteng peradaban Islam terbesar di dunia. Namun, di dalamnya justru berdiri pada fondasi ideologis yang bersifat universal bukan teokratis. Di balik gegap gempita populasi Muslim terbesar sejagat, Indonesia justru menegaskan dirinya bukan sebagai negara Islam.

Apakah ini wajah toleransi sejati? Ataukah ini wajah dari sebuah kekalahan diam-diam? Kekalahan dari politik Islam yang sejak kelahirannya telah dipelintir oleh kompromi, dipangkas oleh nasionalisme, dan dijinakkan oleh tafsir-tafsir sekularisme yang berbaju persatuan.

Pertanyaan ini tidak berhenti di buku sejarah, melainkan terus hidup dalam denyut kebijakan, dalam arah kepemimpinan, bahkan dalam diamnya suara-suara yang dulu pernah lantang menggagas “negara berdasarkan syariat.” Maka esai ini lahir sebagai upaya membuka kembali ruang diskusi: Mengapa Indonesia tak menjadi negara Islam? Apakah karena kesadaran luhur akan pluralitas, atau karena Islam politik kehilangan arah, kekuatan, bahkan suara?.

Dengan pendekatan kritis-kultural dan tinjauan sejarah, mulai dari Sidang BPUPKI hingga Mosi Integral Mohammad Natsir, tulisan ini akan menelusuri bagaimana Islam terus menjadi aktor penting, meski bukan penguasa utama dalam panggung kenegaraan. Sebab boleh jadi, di negeri ini, Islam tidak memerintah, tetapi ia terus mengintai dari balik dinding kekuasaan, menunggu saat ketika nilai-nilainya tak lagi ditakuti, melainkan diterima sebagai ruh dari politik yang adil dan beradab.

Sejarah kemerdekaan Indonesia bukan hanya kisah tentang perlawanan terhadap penjajah, tetapi juga arena tarik-menarik antara dua arus besar: nasionalisme sekuler dan Islam politik. Sejak detik-detik awal perumusan dasar negara, perdebatan soal identitas ideologis bangsa sudah menggema lebih nyaring dari dentuman meriam penjajah yang baru saja pergi.

Pada Sidang BPUPKI, kelompok Islam memperjuangkan Piagam Jakarta sebagai dasar negara, sebuah naskah kompromi yang dalam butir pertamanya memuat frasa “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Kalimat itu, yang kemudian menghilang menjelang detik-detik proklamasi, menjadi simbol pahitnya awal kompromi ideologis. Atas nama persatuan dan menghindari disintegrasi, tujuh kata itu dicabut, dan bersama dengannya, harapan sebagian umat Islam untuk melihat negara ini berdiri di atas pondasi syariat pun ikut terkubur.

Namun, politik Islam belum mati. Ia tidak lagi menjerit, tapi ia mengendap dalam strategi. Tahun 1950, Mohammad Natsir, tokoh sentral Masyumi, memimpin pidato parlemen yang dikenal sebagai Mosi Integral Natsir. Di tengah suasana republik yang terpecah dalam bentuk federal, Natsir berhasil menyatukan kembali Indonesia ke dalam bentuk Negara Kesatuan. Sebuah langkah monumental, diplomatis dan visioner yang menyatukan bukan hanya bentuk negara, tapi juga semangat kebangsaan.

Hanya saja sejarah tidak selalu adil pada pelakunya. Jasa besar itu tidak mengantar Islam ke singgasana ideologis. Masyumi dibubarkan, suara Islam dibatasi, dan sejak saat itu, Islam politik terus hidup dalam bayang-bayang kecurigaan. Seolah-olah Islam hanya boleh hadir sebagai pewarna, bukan pengarah; sebagai ornamen, bukan landasan.

Keputusan untuk tidak menjadi negara Islam tentu tidak bisa dilepaskan dari kenyataan sosiologis: Indonesia bukan monolitik. Ia adalah kepulauan identitas, di mana agama, suku, dan budaya bersatu dalam satu atap kebangsaan. Membentuk negara Islam dalam kondisi seperti itu dianggap banyak kalangan sebagai ancaman terhadap persatuan.
Di sinilah negara memainkan narasi kompromi: Pancasila dijadikan titik temu ideologis, dan agama dijaga agar tidak mendominasi sistem kenegaraan. Namun, kompromi ini juga menimbulkan residu: Islam, yang secara statistik mayoritas, harus menahan diri agar tidak disebut tiran terhadap minoritas.

Dalam teori politik, ini mencerminkan kontrak sosial Rousseau: negara terbentuk dari kesepakatan bersama yang mengorbankan sebagian kehendak individual. Tapi dalam konteks Indonesia, umat Islam seperti diminta mengorbankan lebih banyak bahkan nilai-nilai yang menjadi fondasi moral mereka pun sering kali ditahan dengan dalih pluralisme.
Akibatnya, ruang publik menjadi sekuler secara praktik, meski tidak secara formal. Agama direduksi jadi urusan pribadi, padahal dalam Islam, hukum dan ibadah adalah dua sisi dari satu mata uang. Inilah yang menyebabkan banyak umat merasa terasing di negerinya sendiri. Mereka mayoritas, tapi tidak merasa punya kuasa dalam perumusan hukum dan kebijakan.
Meski demikian, menuntut Indonesia menjadi negara Islam bukanlah jawaban.

Negara Islam sebagai sistem formil tak selalu menjamin keadilan. Kita telah melihat bagaimana negara-negara yang mengatasnamakan Islam justru terjebak dalam otoritarianisme dan diskriminasi sektarian. Yang dibutuhkan bukan formalisasi, tetapi internalisasi. Indonesia tidak perlu menjadi negara Islam, tetapi ia perlu menjadi negara yang Islami dalam nilai: amanah, adil, bersih, dan pro rakyat. Islam tidak harus mengatur dari atas, tapi nilai-nilainya harus menjiwai cara kita memilih pemimpin, menyusun undang-undang, hingga mengelola pajak dan kekayaan negara.

Dominasi nilai Islam bukanlah bentuk penindasan, melainkan perwujudan dari moral publik yang luhur, selama ia tidak meniadakan hak hidup dan keyakinan kelompok lain. Di sinilah Islam menemukan wajahnya yang paling indah: rahmatan lil ‘alamin.

Indonesia tidak menjadi negara Islam, dan mungkin memang tidak seharusnya. Tapi pertanyaan sesungguhnya bukan pada sistem, melainkan pada isi. Apakah sistem yang kita anut mampu menjamin keadilan? Apakah hukum yang kita terapkan mencerminkan nilai-nilai yang luhur? Jika jawabannya belum, maka barangkali yang absen bukan hanya negara Islam, tapi juga nilai Islam itu sendiri.

Esai ini tidak dimaksudkan untuk menghidupkan kembali wacana formalisasi negara Islam. Justru sebaliknya, ia menawarkan refleksi bahwa dalam pluralisme, dominasi nilai bisa lebih efektif daripada dominasi sistem. Indonesia tidak harus tunduk pada satu agama, tetapi ia harus berdiri di atas nilai-nilai kebenaran dan keadilan yang tak pernah usang dan dalam hal ini, Islam menawarkan kontribusi yang tak ternilai.

Proses kompromi ideologis yang terjadi menjelang kemerdekaan sejatinya merupakan titik temu yang getir. Soekarno dan Hatta, dalam menghadapi realitas bangsa yang plural, terpaksa memprioritaskan persatuan nasional di atas kepentingan kelompok tertentu. Meski kelompok Islam menunjukkan konsistensi dalam memperjuangkan syariat sebagai dasar negara, tetapi tekanan dari wilayah timur Indonesia yang merasa terancam dengan frasa ‘syariat Islam bagi pemeluknya menjadi alasan utama dicabutnya tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Ini bukan sekadar soal teks, tetapi representasi dari kekalahan simbolik politik Islam yang mengalah demi menjaga keutuhan Republik yang baru lahir.

Mosi Integral Natsir pada tahun 1950 adalah bukti konkret bahwa Islam bukan kekuatan destruktif, melainkan aktor rekonsiliatif. Ketika Indonesia dalam ancaman perpecahan akibat sistem federal warisan Belanda, Natsir justru tampil sebagai tokoh pemersatu. Namun, penghargaan terhadap peran politik Islam ini tidak bertahan lama. Di bawah rezim Orde Lama dan terutama Orde Baru, suara Islam kembali ditekan. Pembubaran Masyumi menjadi bukti bagaimana Islam politik dianggap ancaman jika tidak tunduk pada arus kekuasaan. Sekali lagi, Islam politik memberi kontribusi besar, namun dikesampingkan dalam peta kekuasaan nasional.

Dalam perspektif Antonio Gramsci, negara menjalankan kekuasaan bukan hanya dengan kekuatan koersif, tetapi juga dengan hegemoni penguasaan makna, nilai, dan wacana. Dalam konteks Indonesia, hegemoni sekuler yang dibalut dengan narasi Pancasila berhasil menjadi ideologi dominan. Islam politik tidak hilang, tetapi selalu diposisikan sebagai ‘oposisi ideologis’. Nilai-nilai Islam seringkali dijadikan sumber moral, namun tidak diberi legitimasi politik yang memadai. Inilah bentuk hegemoni halus: ketika suatu nilai digunakan, tapi tidak diberi ruang untuk memerintah.

Pasca reformasi 1998, kebebasan politik memberikan ruang baru bagi kebangkitan Islam politik. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi representasi baru Islam dalam demokrasi elektoral. Sementara itu, muncul juga fenomena perda syariah di sejumlah daerah yang menunjukkan aspirasi Islam kultural yang ingin dilembagakan dalam sistem hukum lokal. Namun di sisi lain, organisasi seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) justru menjadi ancaman karena menyuarakan sistem khilafah dan menolak Pancasila. Akibatnya, suara Islam politik pun kembali tercampur: antara yang demokratis dan yang radikal, antara yang konstruktif dan yang konfrontatif.

Dalam kondisi seperti itu, muncul pertanyaan mendasar: apakah Islam akan terus menjadi ‘penumpang’ dalam negara yang dibangunnya sendiri? Atau sudah saatnya Islam mengambil peran lebih besar dalam memberi warna pada kebijakan publik, tanpa harus menjadi sistem negara yang eksklusif? Negara Islam bukan tujuan akhir, tapi negara yang adil dan beradab adalah cita-cita utama. Di situlah peran Islam sebagai nilai menemukan tempat terbaiknya bukan di dalam teks konstitusi, tetapi dalam praktik politik yang jujur, adil, dan berpihak pada rakyat.

Referensi:
Boland, B. J. (1982). The Struggle of Islam in Modern Indonesia. Springer.
Liddle, R. W. (1996). The Islamic Turn in Indonesia: A Political Explanation. The Journal of Asian Studies.
Gramsci, A. (1971). Selections from the Prison Notebooks. International Publishers.
Madjid, N. (1993). Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan.
Assyaukanie, L. (2009). Islam and the Secular State in Indonesia. ISEAS Publishing.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *