FEATUREDNasionalNewsTOP STORIES

EDITORIAL | Sijunjung Dalam Kemelut: Ketika Mafia Hutan Bekerja, Jaksa Agung Turun Tangan

Sijunjung, MZK News – Sebuah kejahatan terhadap alam dan hukum sedang terbongkar secara perlahan di jantung Sumatra Barat. Lebih dari 700 hektare hutan di kawasan Tanjung Kaliang yang dibabat habis, diduga kuat hasil dari kolusi antara mafia tanah, oknum APH (Aprat Penegak Hukum), tokoh adat, dan sistem yang permisif serta birokrasi yang tak mau Ambil pusing.

Puncaknya, Kejaksaan Agung Republik Indonesia bergerak. Dua Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatra Barat dan Kepulauan Riau turun langsung untuk membuka tabir dugaan keterlibatan aparat penegak hukum dalam praktik perampasan hutan secara tersistematis.

Langkah ini bukan biasa. Ketika dua Kajati diturunkan sekaligus, itu sinyal bahwa Kejagung mencium aroma kuat keterlibatan oknum birokrat dan aparat APH dalam struktur kejahatan yang diduga terorganisir.

Ketika Negara Harus Memeriksa Dirinya Sendiri

Penurunan dua Kajati oleh Kejaksaan Agung adalah langkah luar biasa. Biasanya, Kejaksaan Tinggi hanya terlibat dalam pengawasan atau pendampingan hukum tingkat provinsi. Tapi dalam kasus Nagari Tanjung Kaliang, Kejagung memilih Penyelidikan langsung lewat dua wilayah yurisdiksi berbeda, mengingat salah satu aktor kunci dalam kasus ini Himawan Aprianto Saputra diduga adalah oknum jaksa aktif yang bertugas di wilayah Kejaksaan Tinggi Kepulauan Riau yang juga ikut nimbrung dan menjadi boneka oleh mafia hutan, dan memiliki sawmill di dekat lokasi pembalakan yang diduga liar yaitu Nagari Tanjung Kaliang, Kecamatan Kamang Baru, Kabupaten Sijunjung.

Foto: Penyerahan uang 1,2 miliar oleh Himawan Aprianto Saputra kepda ninik mamak (Foto: IST)
Foto: Penyerahan uang 1,2 miliar oleh Himawan Aprianto Saputra kepda ninik mamak (Foto: IST)

Hal ini membuka fakta bahwa kejahatan lingkungan tidak lagi dilakukan oleh masyarakat awam atau peladang kecil, melainkan oleh mereka yang paham hukum dan diduga diperalat sebagai tameng tanpa sadar menjadi tumbal oleh permainan Mafia kelas kakap ini.

Aktor, Uang, dan Rantai Kebohongan

Sumber investigasi kami menyebutkan nama Herman, seorang perantara dari Sugito alias Lilik, sebagai salah satu otak awal. Herman kemudian menjalin kontak dengan Sabirin, yang mengaku sebagai pemilik lahan. Nama Sabirin penting karena statusnya sebagai Datuak Monti penghulu di Suku Malayu Nagari Tanjung Kaliang, tokoh adat yang punya otoritas untuk mengeluarkan “alas hak”.

Pertemuan demi pertemuan berlangsung, lahan hutan “dijual” dan akhirnya digarap Sugito alias Lilik melalui Sabirin Datuak Monti Panghulu mulai menyusun dokumen jual beli, memakai nama-nama baru yang disuguhkan oleh Lilik sebagai pemilik, dan mendatangi notaris di Muaro Sijunjung.

Proses ini disulap menjadi legal, meski berdiri di atas lahan yang secara administratif masih berada dalam kontrol PT KI.

Kuat dugaan, mereka yang paham celah hukum dan memiliki akses terhadap alat negara diduga melakukan upaya masif dan tersistematis untuk menutupi jejak melalui upaya konflik pengalihan isu serta system intelijen yang kuat dengan kontra yang sengaja dibuat.

Pengalihan Isu Kontra dan Cipta Kondisi Secara Sistematis

Setelah terjadi perjual-belian dan terjadi pemberian uang di Polda Sumbar, pengerjaan penggundulan hutan pun berlangsung. Menurut Sabirin Datuak Monti Panghulu, pembabatan hutan sudah lebih dari 700 hektar bahkan aset yang diduga milik pemda pun terkena imbasnya.

Dugaan pengalihan isu dimulai dari pelaporan tentang tanda tangan palsu terkait perizinan dari Pemda Kab. Sijunjung atas nama Sekda Kabupaten Sijunjung yang dilaporkan ke Polres Sijunjung pada Tanggal 1 Juni 2023, dan bahkan tak ada ujung pangkal siapa tersangkanya sampai saat ini.

(Foto Ilustrasi)
(Foto Ilustrasi)

Sabirin Datuak Monti Penghulu juga melaporkan tanda tangan palsu dan penyerobotan lahan kepada Polda Sumatra Barat dan terlapor merupakan Lilik Cs dan Sabirin telah membatalkan alas hak yang sudah diberikan. Dalam pengakuan Sabirin, baru mengetahui, kalau hal ini dipalsukan karena adanya terbit Sipuh Atas Nama Sabirin untuk pengolahan Kayu Hasil Hutan Sebanyak 100 hektar.

Sabirin mengetahui terbitnya Perizinan Sipuh ini setelah adanya panggilan dari Polres Kab. Sijunjung sekira bulan Juni 2023 dengan menjadi saksi atas laporan Kabag Hukum pada Polres Sijunjung tentang adanya tanda tangan palsu Sekda Kab. Sijunjung terhadap izin pemakaian kayu hasil hutan.

Anehnya kedua laporan itu dibuat dengan waktu yang berdekatan bahkan setelah keadaan hutan sudah digunduli serta kayu yang sudah dijual ke Medan, Sumatra Utara.

Pada laporan terakhir yang didapatkan oleh mzknews.co keadaan lahan sudah ditanami Sawit secara kebut-kebutan, bahkan baru-baru ini, menurut Sabirin pada Bulan Mei 2025, ada aktivitas penanaman sawit skala besar dan kuat dugaan agar bisa memaksakan perizinan perkebunan karena informasi terakhir dari PTSP, Eni Kabid Perizinan bahwa “Bagi masyarakat yang sudah terlanjur menanam sawit tapi belum mempunyai izin tetap wajib mengurus izin dengan aplikasi OSS RBA”.

Dengan kejadian ini, negara tak boleh kalah dalam pengusutan dugaan praktik mafia hutan yang pintar mengakali hukum, jika Negara terlambat, maka negara akan kalah dan system bisah dikuasai, bahkan negara diduga akan rugi ratusan milyar bahkan triliunan rupiah.

Skema Perampasan Hutan yang Sistematis

Kejadian Ini Bukan Insiden Sporadis. Ini adalah dugaan skema yang sistematis perampasan aset negara:

1. PT KI membebaskan kawasan hutan berstatus HPK untuk kepentingan industri perkebunan, namun kuat dugaan ditelantarkan bertahun-tahun.

2. Muncul aktor bernama Herman, rekan dari Sugito alias Lilik, yang kemudian menghubungi Sabirin, tokoh adat yang mengklaim kepemilikan lahan.

3. Lilik dan Sabirin serta kelompoknya membuat kesepakatan pembuatan alas hak, menyisipkan nama-nama baru sebagai pemilik, dan memproses perjanjian ke notaris di Muaro Sijunjung.

4. Sabirin mengeluarkan surat alas hak adat, namun kemudian mengaku tanda tangannya dipalsukan, termasuk dalam dokumen SIPUHH seluas 100 hektare dan pada akhirnya terjadi pelaporan di Polda Sumbar oleh Sabirin kepada terlapor Lilik CS.

5. Fakta di lapangan menunjukkan penggundulan lebih dari 700 hektare, 7 kali lipat dari izin legal.

6. Kayu-kayu tersebut diolah di sawmill milik Himawan Aprianto Saputra, lalu dijual ke Medan, sebagaimana diakui oleh Sabirin dan Putra kepada wartawan yang meliput.

7. Himawan Aprianto Saputra juga disebut memberikan uang Rp 1,2 miliar kepada para ninik mamak, yang disebut sebagai “uang pembelian jatah lahan yang tidak diberikan oleh Sabirin kepada Ninik Mamak Nagari” dan duit itu berasal dari Sugito Alias wak Lilik.

Namun anehnya pelaporan kepada aparat penegak hukum tentang tanda tangan palsu surat dari Sekda Kab. Sijunjung atas nama Zefnihan dan tanda tangan palsu serta penyerobotan lahan milik Sabirin juga pembekuan perizinan Sipuhh baru dilakukan setelah hutan digunduli dan dibabat habis. Ini menjadi pertanyaan Skema hukum yang ditutupi hukum sebagai pengalihan isu.

Analisis Investigatif: Kejahatan Hukum dan Ekologis

Skema ini menunjukkan dua hal besar, mulai dari hukum yang telah dibajak oleh pelaku yang justru paham cara kerjanya. Bahkan Negara, dalam hal ini pemerintah daerah dan lembaga pengawasan kehutanan, gagal menjalankan fungsi deteksi dan respons terhadap aktivitas tersebut seolah terjadi pembiaran dan menutup mata.

Parahnya, PT KI selaku pemilik lahan tidak pernah melapor, tidak mengambil tindakan hukum, seolah-olah tak tahu dan membiarkan perambahan tersebut.

“Ini kejahatan yang melibatkan tanda tangan, segel, dan seragam,” kata seorang Aktivis muda Kabupaten Sijunjung yang tak ingin disebut namanya.

Kerugian Negara Mulai dari Pajak serta Ekologis Dipertanyakan?

Dugaan kerugian negara bukan hanya dari segi ekonomi, tapi kerusakan yang sangat besar secara ekologis dan sosial. Nilai kayu hasil tebangan liar bisa mencapai puluhan atau ratusan miliar rupiah, tanpa retribusi, pajak, atau kontribusi legal kepada negara.

Kehilangan 700 hektare hutan di zona penyangga Kawasan resapan air berpotensi mengganggu DAS (Daerah Aliran Sungai), memperbesar risiko banjir, longsor, dan perubahan mikroklimat. Bahkan Konflik horisontal di tengah masyarakat adat mulai muncul akibat perbedaan pendapat terkait legalitas lahan dan uang kompensasi menjadi sumber konflik yang akan menjadi besar antara masyarakat adat, mamak Suku dan pemerintah setempat. Konflik baru akan muncul mulai dari kekhawatiran akan kerusakan ekosistem serta isu sosial lainnya berakibat fatal bagi penduduk Nagari Tanjung Kaliang.

Desakan kepada KLHK dan ATR/BPN: Hentikan Praktek Penebangan Liar dan Kebun Sawit Ilegal, Audit, Pulihkan Status Hutan ke Status Semula

Kini tekanan publik mengarah pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Kementerian ATR/BPN. Mereka Didesak agar melakukan upaya pemulihan dan pengkajian status hutan tersebut dikarenakan kelalaian dan penelantaran pelepasan hutan oleh PT KA yang mengakibatkan konflik sosial serta adanya dugaan kerugian sektor ekonomi negara

Menurut Chris selaku Aktivis muda, ada beberapa poin penting yang harus diaudit oleh Kementerian lembaga terkait diantaranya;

1. Seluruh perizinan di kawasan Tanjung Kaliang dihentikan dan diaudit total.

2. Status kawasan dikembalikan ke HPK atau bahkan dijadikan hutan lindung untuk pemulihan.

3. Melakukan pengkajian proses pembebasan alih fungsi hutan/lahan oleh PT KI dan ditinjau ulang secara menyeluruh apakah ada unsur kelalaian atau kerjasama gelap dalam praktek pengrusakan Hutan dengan modus perkebunan yang mengatasnamakan Masyarakat.

Prabowo-Gibran: Ini Ujian Nyata Bukan Retorika

Pemerintahan baru Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka sedang diuji. Bukan oleh oposisi, tapi oleh realitas hukum dan lingkungan. Komitmen mereka dalam Asta Cita untuk membenahi tata kelola sumber daya alam kini di hadapan publik.
Jika negara tidak bertindak tegas dalam kasus ini, maka yang terjadi bukan hanya pembiaran, tapi pengkhianatan terhadap konstitusi dan kepercayaan rakyat.

Negara Tidak Boleh Takluk

Kasus Tanjung Kaliang adalah contoh nyata bagaimana kawasan hutan bisa hilang hanya karena surat palsu, uang tunai, dan pembiaran aparat. Ini bukan konflik lokal. Ini adalah alarm nasional. Saat dua Kajati harus diturunkan untuk menyelidiki kasus ini, itu artinya negara sedang memeriksa luka dalam tubuhnya. Dan kini, publik menunggu, Apakah hukum akan bicara? Atau sekali lagi, kekuasaan akan berpihak pada pemilik modal?.

Catatan Redaksi: ADVETORIAL (Pandangan Legal Redaksi): Tulisan ini adalah pandangan yang disusun berdasarkan pengakuan sejumlah tokoh adat, masyarakat, aktivis, jurnalis, dokumen, dokumentasi, serta konfirmasi awal dari lembaga penegak hukum.

Reporter: Gangga

Editor: Khoirul Anam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *