Meneladani Sifat Kartini dalam Suratnya “Panggil Aku Kartini Saja”
(Sumber Foto Kompas.com)
Oleh: Khairatul Annisa
Raden Ajeng Kartini atau yang sering kita semua kenal dengan R.A. Kartini adalah pejuang emansipasi wanita. Banyak gelar dan pepatah sudah ia lahirkan serta dapatkan salah satunya ialah “Habis gelap terbitlah terang”.
Dikutip dari Detikbali; Kartini lahir dari keluarga bangsawan di pulau jawa. Ayahnya bernama Sosroningrat yang pada saat itu menjabat sebagai Bupati Jepara. Ia dilahirkan pada tanggal 21 April 1879.
Sebagai anak dari Bupati pada masa itu, ia mendapatkan pendidikan di Europesche Lagere School (ELS), sebuah sekolah dasar Eropa, pada 1885.
Sebagai perempuan keturunan Jawa tulen, Kartini harus mengikuti adat istiadat untuk dipingit hingga ia mendapatkan laki-laki yang mau menikahinya. Dari dalam kamarnya Kartini mulai menciptakan perubahan akan kegelapan yang terjadi di Indonesia. Kakanya Kartono memberikan jalan untuk Kartini dan mengatakan bahwa jiwa Kartini boleh terpenjara tetapi tidak dengan pemikirannya.
Sebagai pribumi yang mendapatkan pendidikan pada saat penjajahan oleh Belanda. Bersama adiknya Raden Ajeng Kardinah dan Raden Ajeng Roekmini, ia menggelorakan pendidikan bagi pribumi. Perjuangan ini tidak semata-mata mudah dilaksanakan oleh Kartini dan adik-adiknya pada saat itu.
Apa Saja Sifat Kartini Yang Harus Diteladani?
– Rendah Hati
Sebagai putri dari keturunan bangsawan, Kartini tidak ingin dirinya dipanggil dengan panggilan Raden Ajeng Kartini. Ia lebih ingin dipanggil Kartini, seperti pesan yang dikirimkannya pada sahabat penanya di Eropa bahwa ia meminta dipanggil Kartini saja. Begitu juga dengan para saudaranya, ia dipanggil “Kartini” atau “Trinil”.
– Rasa Empati yang Tinggi
Kartini selama menjalani masa pingitan ia dilarang oleh kakaknya (Nama kakak Kartini) untuk pergi keluar dari rumah. Hal ini menjadi penghambat bagi Kartini untuk menyebarluaskan ide-idenya agar masyarakat merasakan kesejahteraan.
Ia melakukan segala macam cara agar bisa terbebas dari kekangan kakaknya. Ketika sudah bebas kembali dari kekangan kakaknya ia mengusulkan pada petinggi Belanda untuk memasarkan ukiran khas Jepara.
– Teguh Pendirian
Kartini sejak awal tidak suka dengan budaya feodalisme yang diterapkan oleh keluarganya yang mengikuti gaya Eropa. Pandangan yang tidak setara antara perempuan dan laki-laki membuat Kartini memperjuangkan suara-suara wanita sehingga dikenal sebagai pejuang emansipasi wanita hingga saat ini.
– Gigih
Selama menjalani masa pingitan Kartini menjadi dirinya sendiri tanpa perlu mendapatkan pandangan dari orang lain. Ia membaca buku, menulis, dan memperjuangkan hak-hak perempuan tanpa henti dari dalam kamar pingitannya. Kegigihan tetsebutlah yang membuat Kartini dikenal dan patut diteladani hingga saat ini.
Kegigihan dan segala sifat yang dimiliki Kartini itulah yang membuat kita harus merayakannya setiap tanggal 21 April. Selamat hari Kartini untuk seluruh perempuan Indonesia.