ArtikelMotivasi & InspirasiTOP STORIES

Ratu Shima, Potret Inspirator Perempuan Indonesia yang Berjiwa Leadership Tinggi Sejak Sebelum Kemerdekaan

Oleh: Dewi Nur Halimah

Foto: Ratu Shima (Sumber: sinergijakarta.com)

Berbicang soal perempuan, perempuan adalah pusat peradaban dunia. Perempuan memiliki peran sentral dalam membangun negara. Bahkan maju mundurnya suatu bangsa tak lepas dari kiprah perempuan. Mengapa demikian? Sebab perempuan adalah pencetak generasi masa depan bangsa. Sebagai pencetak generasi bangsa, perempuan memiliki hak yang sama dengan lelaki untuk memperoleh pendidikan serta mendapatkan pekerjaan yang layak sesuai kodrat perempuan. Dari sinilah muncul emansipasi wanita dan peradaban. Salah satu pencetus emansipasi wanita adalah Ratu Shima.


Ratu Shima adalah potret inspirator perempuan Indonesia yang telah dikenal dunia. Ratu Shima merupakan sosok pemimpin di Kerajaan Kalingga (disebut juga Kerajaan Keling atau Holing). Kerajaan Kalingga yaitu kerajaan Hindu yang pernah menjadi salah satu pemerintahan terbesar di Jawa, berpusat di pesisir pantai utara Jawa, tepatnya di wilayah yang kini bernama Jepara, Jawa Tengah. Ratu Shima memerintah sejak tahun 674 hingga 695 Masehi, menggantikan suaminya, Raja Kartikeyasinga yang wafat pada 674 Masehi.


Gaya kepemimpinan Ratu Shima dalam memimpin kerajaannya yang dikenal dunia adalah ketegasannya dalam menjunjung keadilan. Ratu Shima memberikan hukuman pada siapapun yang melanggar aturan kerajaan Kalingga tanpa pandang bulu, sekalipun yang melakukan pelanggaran adalah putra mahkota. Bahkan tanpa segan demi menegakkan keadilan, Ratu Shima memberikan hukuman dengan memotong kaki Putra Mahkota Narayana atas kesalahannya telah menyentuh barang yang bukan miliknya, yakni sekantung emas milik raja Tasih dari Timur Tengah yang diletakkan di persimpangan jalan, dekat dengan alun-alun kerajaan.


Berkat ketegasan dalam menegakkan hukum kerajaan Kalingga itu, Ratu Shima tersohor sebagai sosok ratu yag tegas, adil, dan bijaksana. Ketegasan Ratu Shima dalam menegakkan keadilan ini sejalan dengan supremasi hukum bangsa Indonesia. Supremasi hukum merupakan upaya untuk menegakkan dan menempatkan hukum pada posisi tertinggi dengan tujuan untuk menempatkan hukum sesuai tempatnya, sehingga hukum bisa melindungi seluruh warga negara tanpa intervensi dari pihak manapun. Bukan hanya itu, tegaknya supremasi hukum juga merupakan suatu upaya untuk menciptakan tata kehidupan masyarakat yang harmonis, tertib, dan berkeadilan, sehingga hukum dapat berperan dalam menjaga stabilitas negara.


Ratu Shima adalah pelopor emansipasi wanita yang merupakan ispirator dari keterwakilan perempuan dalam berpolitik. Ratu Shima adalah pemimpin perempuan yang terlibat dalam pembuatan kebijakan di kerajaan Kalingga yang mewakili suara perempuan serta memayungi hak-hak perempuan agar setara dengan hak kaum lelaki untuk mencapai kemaslahatan rakyat. Meskipun Ratu Shima hidup di era sebelum kemerdekaan, namun Ratu Shima telah menjadi teladan dalam emasipasi wanita dimana keterlibatannya dalam mengambil kebijakan dan berpolitik. Padahal, pada zaman dahulu hingga saat ini masih sangat sedikit keterlibatan perempuan dalam pengambilan kebijakan untuk kemaslahatan ummat. Coba bayangkan, apa jadinya bila dalam pegambilan kebijakan di suatu pemerintahan tanpa melibatkan perempuan?. Sudah pasti hak-hak kaum perempuan tidak akan tercover dengan baik dalam suatu kebijakan sehingga termarjinalkan.


Potret keterlibatan Ratu Shima dalam berpolitik ini diadopsi oleh para pemimpin bangsa dunia termasuk Indonesia saat ini untuk memberikan ruang dan kesempatan yang sama bagi perempuan untuk turut serta terlibat berkiprah dalam dunia politik. Hal ini diperkuat dengan adanya payung hukum yang melindunginya yakni Pasal 65 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang pemilihan umum yang berbunyi: “Undang-undang mengatur bahwa setiap partai politik peserta pemilihan umum dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD pemerintah pusat/kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan pada setidaknya 30 persen”. 


Kedudukan perempuan dalam politik diperkuat dengan lahirnya undang-undang nomor 8 tahun 2012, yang menegaskan bahwa dari 3 (tiga) calon, paling sedikit 1 (satu) orang adalah perempuan. Terbaru, muncul Peraturan KPU No. 7/2013 yang mengukuhkan poin-poin yang ada pada peraturan sebelumnya. Regulasi ini dikembangkan atas dasar kebijakan aksi (affirmative action) yang menegasakan keterwakilan perempuan dalam politik. Kebijakan afirmatif adalah tindakan khusus sementara yang diambil untuk mencapai persamaan kesempatan dan perlakuan antara perempuan dan laki-laki. Berbagai peraturan perundang-undangan tersebut tidak serta merta meningkatkan partisipasi politik perempuan. Salah satu indikator rendahnya tingkat partisipasi politik perempuan adalah rendahnya jumlah mereka keterwakilan perempuan di parlemen.


Keterlibatan perempuan dalam berpolitik dan pengambilan kebijakan termasuk penyusunan Undang-Undang dan Perda ini dimaksudkan dapat mengcover hak-hak kaum perempuan yang belum terjamah payung hukum. Salah satunya adalah hak-hak kaum perempuan yang tercantum dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, seperti: cuti hamil dan melahirkan, hak cuti keguguran, hak menyusui, hak mendapatkan biaya melahirkan, hak tenaga kerja wanita mendapatkan fasilitas khusus, cuti haidl, dan larangan melakukan PHK pada kondisi tertentu (hamil, melahirkan, menyusui, keguguran, dan menikah). Dengan terlibatnya perempuan yang berjiwa leadership tinggi dalam kursi pemerintahan, maka sedikit banyak akan mempengaruhi kebijakan yang berdampak pada perlindungan hak-hak kaum perempuan untuk mencapai kesejahteraan sosial yang setara.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *