Meredupnya Fungsi Surau di Minangkabau
Penulis: Wafika Jannatul Hasanah
Mahasiswi Strata 1 Prodi SPI UIN M. Djamil Djambek Bukittinggi
Secara historis, surau bukan sekadar tempat ibadah di Minangkabau, tetapi juga sentral pendidikan, pembinaan karakter, forum sosial budaya, dan tempat bermalam bagi para pemuda setempat, pada intinya surau menjadi bagian dari proses sosialisasi dan pembentukan identitas masyarakat Minang. Namun, saat ini, fungsi multi dimensi surau tersebut telah mengalami kemunduran atau pergeseran yang signifikan.
Dapat dilihat dari realita yang tampak saat ini, surau/langgar/mushalla di Minangkabau hanya difungsikan sebagai tempat ibadah, dan itupun hanya diisi oleh beberapa orang jemaah saja. Hal yang paling miris ialah beberapa surau itu hanya dibuka pada bulan Ramadhan saja.
Kenyataan ini tentu menjadi pertanyaan di benak kita, apa penyebab awalnya fungsi surau ini jadi meredup? Kenapa para pemuda tidak gemar lagi mengaji dan bermalam di surau? Jawabannya tentu akan kita kupas dalam tulisan singkat ini.
Faktor-faktor yang menyebabkan memudarnya peran surau dapat disebabkan oleh faktor eksternal dan internal, (Lativa Husna, 2024).
Faktor Eksternal;
- Pengaruh Kolonial dan Sistem Pendidikan Formal: Sejak masa kolonial Belanda, keberadaan surau mulai terpinggirkan. Penjajah mencurigai gerakan di surau dan sistem pendidikan Barat yang lebih terkoordinasi dan sistematis diperkenalkan. Setelah kemerdekaan, lembaga pendidikan Islam (termasuk surau) harus tunduk pada undang-undang pemerintah, yang semakin menguatkan peran sekolah formal sebagai lembaga pendidikan utama, menggantikan surau sebagai lembaga edukasi pertama.
- Arus Modernisasi dan Rasionalisasi: Perkembangan zaman dan modernisasi membawa perubahan gaya hidup. Anak-anak muda saat ini lebih memilih tinggal di rumah daripada belajar agama dan tidur di surau.
- Urbanisasi: Perpindahan penduduk ke wilayah metropolitan (urbanisasi) menyebabkan ikatan kekerabatan dan peran surau sebagai lembaga pendidikan Islam di lingkungan keluarga perkotaan menjadi terabaikan.
- Sekularisme dan Individualisme: Terdapat pandangan bahwa sekularisme yang meminggirkan dimensi spiritual dari ruang publik, serta meningkatnya individualisme di tengah masyarakat modern, telah mengikis relevansi institusi tradisional seperti surau.
Faktor Internal;
- Kurangnya Minat Generasi Muda: Pendidikan agama kini lebih banyak diberikan di sekolah formal, sehingga minat generasi muda untuk belajar dan aktif di surau semakin berkurang. Apalagi dengan kemajuan teknologi, berjam-jam di depan layar gadget jauh lebih menarik bagi generasi muda daripada ke surau.
- Masalah Sumber Daya dan Manajemen: Beberapa surau mengalami keterbatasan dana dan fasilitas yang kurang memadai. Selain itu, faktor seperti manajemen yang tidak efektif, kurangnya pengembangan pelajaran dan kitab yang digunakan, serta minimnya tuanku (guru surau) yang memiliki kapasitas yang memadai (yang memahami adat, budaya, dan agama) juga menjadi kendala.
- Terputusnya Mata Rantai Kepemimpinan: Beberapa ahli menyebutkan terputusnya mata rantai keturunan syekh yang melanjutkan estafet kepemimpinan surau, serta terputusnya mata rantai literatur karya-karya nyata Syekh Minangkabau, turut melemahkan eksistensi surau.
Surau merupakan pondasi utama dari falsafah hidup Minangkabau, “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah” (ABS-SBK). Sehingga dengan redupnya fungsi surau berdampak terhadap lemahnya generasi muda di Minangkabau.
Melemahnya fungsi surau menyebabkan lemahnya pembinaan karakter dan moral generasi. Karena surau ialah tempat pembinaan karakter dan kontrol sosial pada usia dini, khususnya bagi laki-laki Minang, sehingga hilangnya fungsi surau berpotensi menyebabkan peningkatan perilaku negatif pada generasi muda.
Menurut Lativa Husna (2024), lemahnya fungsi surau juga membuat disorientasi identitas kultural dan keagamaan. Surau adalah wadah utama sosialisasi nilai-nilai agama dan adat. Kehilangan peran ini menyebabkan masyarakat menjadi lebih sekuler, dan terjadi krisis identitas religius pada generasi muda.
Penelitian menunjukkan perubahan fungsi surau yang memudar telah mengubah perilaku masyarakat, membuat mereka semakin meninggalkan fungsi Surau dan bahkan nilai ABS-SBK.
Redupanya fungsi surau juga membuat lemahnya solidaritas sosial atau yang lebih dikenal dengan ukhuwah Islamiyah. Surau tidak lagi berfungsi sebagai pusat konsolidasi umat, yang berakibat pada hilangnya kekuatan persatuan dan berkurangnya interaksi antar warga.
Terakhir, dengan redupnya fungsi surau juga menjadi ancaman terhadap kepunahan warisan budaya. Banyak bangunan surau yang tidak terawat dengan baik dan terancam punah, yang berarti hilangnya simbol peradaban Islam dan budaya Minangkabau.
Dampak dari hilangnya fungsi surau juga difilmkan pada sebuah karya fenomental yang berjudul “Robohnya Surau Kami” karya A.A Navis. Film ini bukan dibuat begitu saja, film tersebut dibuat atas keresahan para pemerhati terhadap lemahnya generasi Minangkabau akibat fungsi surau tidak dikembalikan sebagaimana mestinya.
Untuk itu, dalam tulisan singkat ini penulis berharap adanya revitalisasi surau yang menjadi jati diri Minangkabau yang sarat akan keislaman. Karena Minangkabau lahir dari falsafah adat yang berlandaskan syari’at. Adat tidak akan berjalan sebagaimana mestinya apabila syari’at tidak dipahamkan terhadap generasi.
Jika kita menilik kembali sejarah ulama dan cendekiawan Minang, seperti Buya Hamka, bukanlah lulusan universitas formal, melainkan ditempa oleh sistem pendidikan surau yang intensif mendalami tafsir, filsafat, dan adab hidup. Sutan Syahrir dan Mohammad Hatta, arsitek republik, juga mengenyam nilai-nilai Minang sejak kecil dari lingkungan surau yang menanamkan prinsip keadilan dan keberanian berpikir. Ini menunjukkan efektivitas surau dalam menciptakan SDM unggul yang berkarakter.
Kita tidak dapat menyalahkan modernisasi atau sekolah formal secara mutlak. Karena masalah utamanya adalah kegagalan kolektif, baik masyarakat maupun struktural untuk mengadaptasi dan mereaktualisasi fungsi surau agar tetap relevan di era digital tanpa kehilangan ruh aslinya.
Surau modern harus direvitalisasi bukan hanya sebagai tempat ibadah, tetapi sebagai pusat kajian Islam dan kebudayaan yang interaktif. Kurikulumnya harus sistematis, menggabungkan pendidikan agama dengan mengkaji kitab kuning disandingkan juga dengan kajian adat, memahami kewirausahaan, literasi digital, dan juga ilmu kepemimpinan yang sesungguhnya di tengah-tengah masyarakat Minangkabau era modern ini.
Pemerintah Nagari dan Niniak Mamak harus mengembalikan legitimasi sosial surau dengan mewajibkan atau setidaknya mendorong kuat anak laki-laki usia tertentu untuk kembali bermalam atau aktif dalam kegiatan-kegiatan malam di surau, menjadikannya syarat tak tertulis untuk menjadi pemuda Minang yang ideal yang dikenal sebagai orang Siak atau Pakiah.
Surau harus dikelola secara profesional dan didukung dengan transparansi pendanaan untuk memastikan fasilitas yang memadai.
Jika fungsi surau tidak dipulihkan, bukan hanya bangunan fisiknya yang akan rapuh, tetapi fondasi spiritual dan kultural masyarakat Minangkabau. Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah – terancam hanya menjadi slogan kosong yang kehilangan makna operasional dalam kehidupan sehari-hari generasi muda. Revitalisasi surau adalah investasi strategis dalam mempertahankan jati diri bangsa yang dibangun di atas peradaban Islam dan budaya yang luhur.