Kearifan Lokal dalam Pakaian Adat Marapulai Basuntiang di Inderapura: Antara Estetika dan Filosofi
Penulis: Zikril Fadhila
(Mahasiswi Strata 1 Prodi Sejarah Peradaban Islam UIN Syech M. Djamil Djambek Bukittinggi)
Minangkabau kaya akan tradisi dan budaya, beberapa tradisi Minangkabau telah melanglang buana di kancah Internasional dan mendapat penghargaan di berbagai negara. Namun, terdapat suatu tradisi yang unik dan berbeda dari kebiasaan pada umumnya, yaitu adat Marapulai Basuntiang di daerah Inderapura Kecamatan Air Pura Kabupaten Pesisir Selatan.
Menurut Wikipedia.org, adat Marapulai memakai suntiang adalah sebuah tradisi unik prosesi pernikahan, dimana mempelai laki-laki (Marapulai) juga mengenakan Suntiang saat resepsi pernikahan (baralek) mendampingi mempelai wanita (Anak Daro) yang juga memakai suntiang (hiasan di kepala).
Di daerah lain di Minangkabau pada dasarnya suntiang hanya dipakai oleh Anak Daro, sedangkan Marapulai memakai saluak atau deta, tetapi berbeda dengan adat masyarakat di Inderapura Pesisir Selatan, Anak Daro dan Marapulai sama-sama memakai Suntiang.
Tradisi ini menjadi suatu kearifan lokal yang kaya akan filosofis dan makna simbolisme yang mendalam (Tuti Susanti, et.al., 2024), diantaranya ialah sebagai simbol kesetaraan dan kewibawaan. Pemakaian suntiang oleh Marapulai melambangkan kesetaraan derajat antara pria dan wanita dalam pernikahan.
Suntiang Marapulai biasanya berbeda dari Anak Daro, ukurannya lebih kecil, lebih kokoh, dan motifnya lebih besar, yang menggambarkan wibawa, ketegasan, dan tanggung jawab seorang laki-laki sebagai Urang Sumando (menantu) dan pemimpin rumah tangga.
Mengenakan suntiang menjadi penanda bahwa Marapulai telah resmi diterima oleh keluarga besar istrinya dan status sosialnya berubah menjadi Urang Sumando (menantu) bagi mamak rumah dan kemenakan bagi mamak (paman dari pihak ibu). Ini melambangkan perubahan statusnya sebagai pria yang kini memikul kehormatan keluarga besar istrinya (“Naik Satingkek Tanggo” atau naik satu tingkat status sosial dari bujangan menjadi suami orang).
Suntiang yang dikenakan oleh kedua mempelai menjadikan mereka berdua sebagai “Raja dan Ratu Sehari” saat bersanding dan diarak keliling kampung.
Menurut sejarah yang diungkapkan masyarakat setempat, tradisi ini konon berawal dari peristiwa masa lampau, salah satunya dikaitkan dengan masa Kerajaan Inderapura saat terjadinya konflik wilayah.
Pada masa itu, masyarakat Inderapura menyambut pasukan lawan dengan pertunjukan budaya yang melibatkan Anak Daro basuntiang. Karena ketertarikan pihak lawan, masyarakat kemudian memakaikan suntiang kepada perwakilan pihak lawan sebagai simbol penyamaan kedudukan atau tanda penerimaan.
Sejak saat itu, tradisi Marapulai Basuntiang dipertahankan sebagai lambang kehormatan, keberanian, dan jati diri laki-laki Minangkabau di Inderapura.
Meskipun tata cara pernikahan secara umum mengikuti adat Minangkabau, momen Marapulai Basuntiang terjadi pada tahapan berikut;
Pertama, ketika Turun Bako: Marapulai dirias dan mengenakan Suntiang saat dibawa ke rumah bako (saudara perempuan ayah) untuk persiapan akhir.
Kedua, saat arak-arakan (Ba-arak): Kedua mempelai, Marapulai dan Anak Daro, sama-sama memakai suntiang saat diarak keliling kampung, seringkali diiringi musik Badiki (berzikir dengan rebana), sebagai pemberitahuan kepada masyarakat bahwa mereka telah sah menikah.
Ketiga, ketika makan Nasi Daun: Setelah arak-arakan, Marapulai akan mengganti suntiang dengan saluak/deta (penutup kepala pria Minangkabau umumnya) sebelum duduk bersanding dan saling menyuapi.
Terdapat perbedaan suntiang antara suntiang yang dipakai anak daro dengan suntiang yang dipakai marapulai tersebut. Suntiang Anak Daro memiliki ukuran yang cukup besar, bertingkat, dengan banyak ornamen bunga dan hiasan, melambangkan keindahan dan kemuliaan seorang wanita. Sedangkan Suntiang Marapulai lebih kecil, lebih tegak, dan lebih ringkas. Fungsinya adalah sebagai simbol kehormatan, ketegasan, dan tanggung jawab seorang kepala keluarga.
Pemakaian suntiang bagi Marapulai ini tentu menjadi salah satu keunikan tradisi Minangkabau yang mesti dijaga dan dilestarikan agar tidak tergilas perguliran masa dan budaya. Kearifan lokal daerah Pesisir Selatan ini sangat menarik dalam mewarnai keberagaman adat yang indah di alam Minangkabau.
Namun, dalam memahami suntiang Marapulai di Inderapura, kita juga perlu menegaskan bahwa setiap unsur adat tidak boleh luput dari syari’at agama. Adat Minangkabau sejak dahulu berlandaskan falsafah adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah. Sehingga segala bentuk simbol, pakaian, maupun perhiasan yang dikenakan marapulai harus tetap berada dalam batasan yang dibenarkan oleh Islam. Karena dalam syari’at Islam laki-laki tidak dibenarkan berpakaian ataupun berhias menyerupai perempuan.
Karena itu, laki-laki tidak diperkenankan memakai riasan, make-up berlebihan atau perhiasan emas yang dilarang dalam syari’at. Nilai adat tidak boleh menyalahi tuntunan agama, sebab syaraklah yang menjadi pemegang kendali atas apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan.
Penegasan ini bukan untuk merendahkan pihak mana pun, apalagi untuk menerapkan sistem patriarki, tetapi justru untuk menjaga marwah adat yang selaras dengan ajaran Islam. Suntiang marapulai harus dipahami sebagai simbol tanggung jawab, kehormatan, dan kesiapan seorang laki-laki memimpin keluarga sesuai syari’at, bukan sebagai perhiasan yang menyalahi aturan agama. Dengan cara inilah adat Inderapura tetap terhormat, tidak kehilangan ruhnya, dan tetap berjalan seiring dengan nilai-nilai Islam yang mengatur setiap gerak kehidupan.
Dengan keselarasan antara pelestarian adat dan budaya dengan syari’at Islam dalam mengawali membina rumah tangga, maka diharapkan setiap laki-laki dapat menerapkan sebagaimana yang diteladankan oleh Rasulullah dalam memimpin keluarganya.
Rasulullah tidak mengatakan bahwa ia lebih terhormat atau lebih mulia dan disegani daripada istri-istrinya, tetapi Rasulullah sangat amanah menjadi qawwam dalam rumah tangganya. Qawwam dalam rumah tangga itu ialah menjadi pendamping, teman sejawat, sahabat yang setia, rasa tanggung jawab yang besar, serta pemimpin yang amanah dalam memimpin rumah tangganya.