Harga Anjlok, Petani Kopi Kerinci Terhimpit
Sungai Penuh, MZK News – Embun pagi masih menggantung di pucuk daun kopi di lereng perbukitan Kerinci. Di balik keindahan panorama alam ini, tersimpan kegundahan hati para petani. Harga biji kopi robusta kering yang menjadi tumpuan hidup mereka, kini merosot tajam hingga 30 persen dalam tiga bulan terakhir.
Dulu, hasil panen kopi robusta Kerinci bisa dijual dengan harga Rp70 ribu hingga Rp80 ribu per kilogram. Kini, harga itu terjun bebas menjadi hanya Rp40 ribu hingga Rp50 ribu per kilogram. Sementara kopi arabika, yang juga ditanam sebagian petani, masih bertahan di kisaran Rp15 ribu hingga Rp20 ribu per kilogram.
Sardoni, seorang pedagang sekaligus pemilik rumah produksi kopi di Kerinci, menghela napas panjang saat menceritakan situasi ini.
“Dulu seminggu bisa jual tiga kali, sekarang paling dua kali sebulan,” ujarnya, menatap tumpukan karung kopi yang tak secepat dulu berpindah tangan, Selasa (12/08).
Penurunan harga ini bukan hanya soal angka di pasar. Bagi petani, itu berarti penghasilan yang kian menipis, biaya sekolah anak yang terancam, dan dapur yang harus lebih irit.
Faktor cuaca musim kemarau yang panjang membuat pasokan kopi melimpah, ditambah masuknya kopi dari luar daerah yang membanjiri pasar. Harga pasar kopi dunia yang menurun pun ikut menekan harga di tingkat lokal.
Permintaan terbesar biasanya datang dari UMKM pembuat kopi bubuk dan kafe, baik di Kerinci maupun luar daerah. Namun kini, pembelian dilakukan sekadar memenuhi pesanan, tanpa ada keinginan untuk menyimpan stok lebih.
Sardoni berharap, pemerintah Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh tidak tinggal diam. Ia ingin kopi Kerinci yang dikenal sebagai salah satu kopi berkualitas terbaik dunia mendapat pemasaran yang lebih layak, agar harga kembali menguntungkan petani.
“Kami bangga dengan kopi Kerinci. Tapi bangga saja tidak cukup, harus ada pasar yang mau membeli dengan harga pantas,” ucapnya penuh harap.
Di tengah aroma kopi yang semerbak, harapan itu terus menyala meski harga terus menekan, dan masa depan masih dibayangi ketidakpastian.
Reporter: Dewi Wilonna
Editor: Khoirul Anam