FEATUREDNasionalNewsTOP STORIES

Skandal Hijau di Sumatra Barat Merajalela: SEMMI Tuntut Copot Kajati Sumbar Yuni Daru

Sumatra Barat, MZK News – (25 Juni 2025). Kasus skandal kejahatan lingkungan akibat perambahan hutan di Sumatra Barat akhir-akhir ini menjadi sorotan publik. Perhatian nasional pun mulai tertuju ke provinsi satu ini, setelah berbagai indikasi pelanggaran hukum atas nama investasi dan konversi lahan ditemukan di berbagai kabupaten. Mulai dari kawasan hutan lindung hingga Hutan Produksi Konversi (HPK) dibabat habis, diperjualbelikan dan dikuasai secara melawan hukum.

Modus yang digunakan terbilang sistematis, dimulai dari penguasaan lahan tanpa dokumen legal, tidak memiliki HGU resmi, hingga adanya dugaan keterlibatan oknum pejabat dan aparat penegak hukum dalam proses “pembiaran” yang disengaja.

Salah satu kasus paling mencolok terjadi di Kabupaten Solok Selatan. Sebanyak 650 hektar kawasan hutan lindung diketahui telah dijadikan perkebunan sawit, dan dugaan kuat mengarah pada pengelolaan tanpa HGU yang sah. Lebih mengerikan lagi, pelakunya diduga pejabat daerah kelas atas. Meski telah diperiksa oleh Kejaksaan Tinggi Sumatra Barat, hingga kini tak ada kejelasan kelanjutan hukum. Kasus terhenti, dan publik dibiarkan bertanya-tanya.

Merespons kemacetan hukum ini, mahasiswa dan aktivis dari SEMMI (Serikat Mahasiswa Muslimin Indonesia) turun ke jalan. Pada tanggal 20 Juni 2025, mereka menggelar aksi demonstrasi di depan kantor Kejati Sumbar, membakar ban bekas dan menyuarakan mosi tidak percaya terhadap aparat penegak hukum daerah.

Dalam aksinya, mahasiswa SEMMI menuntut Kejaksaan Agung untuk mencopot Yuni Daru sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatra Barat, karena dianggap “lemah dan tebang pilih dalam menangani kasus Korupsi” serta meminta percepatan penanganan kasus dugaan korupsi atas lahan negara yang terjadi di Solok Selatan.

Padahal kejahatan lingkungan adalah salah satu bentuk korupsi terbesar yang merugikan negara secara sistemik dan masuk dalam program prioritas nasional Asta Cita Presiden Prabowo-Gibran.

Presiden Prabowo sendiri telah menggarisbawahi bahwa pengrusakan hutan adalah ancaman ekonomi bagi negara dan kedaulatan lingkungan, karena itu dibentuklah Satgas Penanganan Kejahatan Hutan (PKH) yang dikukuhkan lewat Perpres No. 5 Tahun 2025, yang dikomandoi langsung oleh Jampidsus Kejaksaan Agung, Febrie Adriansyah. Namun, komitmen di pusat tidak serta-merta diikuti oleh kinerja di daerah. Sumatra Barat, sejauh ini, masih membisu.

Kasus Solok Selatan hanyalah salah satu dari sekian banyak kasus yang terjadi. Di daerah lain yaitu “Kabupaten Sijunjung”, kerusakan hutan terjadi lebih parah lagi. Di kawasan Nagari Tanjung Kaliang, Kecamatan Kamang Baru, diperkirakan antara 700 hingga 1.000 hektar hutan rusak akibat perambahan besar-besaran oleh seorang pengusaha asal Pekanbaru, Riau.

Lebih mengejutkan, dalam perjalanan kasus ini, nama seorang oknum jaksa disebut-sebut ikut terlibat aktif dalam praktik jual beli hutan. Hal ini menimbulkan kekhawatiran serius di masyarakat mengenai konflik kepentingan dalam proses penegakan hukum itu sendiri. Jika aparat penegak hukum ikut bermain, maka hukum kehilangan daya cengkeramannya.

Namun hancurnya hutan di Tanjung Kaliang ternyata hanya permukaan dari skandal yang lebih dalam. Investigasi mzknews.co mengungkap skema dugaan korupsi yang melibatkan pemerintah setempat yakni pembelian lahan hutan oleh Pemkab Sijunjung sendiri, dengan status HPK, yang kemudian diserahkan dalam bentuk kerja sama dengan pihak swasta.

Transaksi Pembelian itu terjadi pada tahun 2006, saat Pemkab Sijunjung membeli lahan dari seorang ninik mamak. Namun pelepasan status kawasan hutan justru dilimpahkan kepada PT Karbindo Internasional, sebuah perusahaan yang kemudian menjalin kerja sama dengan pemerintah daerah.

Data yang ditemukan dari dokumen resmi menunjukkan hubungan erat antara pemkab dan PT Karbindo. Dalam SK Bupati No: 188.45/246/X/PTSPBLHPMPT-2016, PT Karbindo diberikan izin usaha perkebunan. Dokumen lain, yakni SK No: 188.45/459/PTSP/BLHPMPT-2014,
yang isinya pada Diktum ke satu Memberikan Izin Lokasi Pembangunan Perkebunan kelapa Sawit Kepada PT Karbindo Internasional seluas 6799 hektar yang berlokasi di Nagari Kamang, Maloro, Air Amo dan Nagari Tanjung Kaliang, Kecamatan Kamang Baru.

Diktum Kedua kepada PT Karbindo Internasional sebelum memanfaatkan Lahan Perusahaan Daerah Perkebunan Binuang Sejahtera dan kebun Plasma Nutfah seluas kurang lebih 1.200 hektar terlebih dahulu harus membuat kerja sama dengan pemerintah Kabupaten Sijunjung.

Diktum ketiga disebutkan bahwa PT Karbindo wajib mengurus pelepasan kawasan hutan kepada Kementerian Kehutanan sebelum lahan dikelola.

Namun investigasi di lapangan menunjukkan bahwa proses perizinan belum tuntas, sementara lahan sudah dibuka dan ditanami sawit.

Pernyataan seorang pensiunan pejabat memperkuat dugaan ini. “Iya, memang benar, Pemkab dulu membeli lahan dari ninik mamak, lalu bekerjasama dengan PT Karbindo Internasional. Tapi status hutannya dilepaskan oleh PT tersebut,” ujarnya.

Dugaan praktik jual beli hutan oleh negara kepada negara menjadi skandal yang bukan hanya soal pelanggaran administrasi, tetapi juga berpotensi menjadi pelanggaran etik dan pidana. Ketika pemerintah daerah membeli hutan yang masih berstatus kawasan, dan kemudian menyerahkannya kepada pihak swasta. Bahkan ini menjadi pemicu bocornya PAD dari tahun ke tahun akibat aset tak bisa digunakan dan tak menghasilkan bagi daerah.

Kasus-kasus ini menunjukkan bagaimana kejahatan lingkungan di Sumatra Barat bukan lagi perkara kecil dan bisa dibiarkan, berbagai modus akan dilakukan oleh para Mafia kelas atas hingga mafia produk lokal. Masyarakat terus berharap bahwa Penegak hukum tegak lurus dan tak tebang pilih dalam penegakan supermasi hukum.

Reporter: Gangga

Editor: Khoirul Anam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *