Menembus Hutan Sawit Demi Mendidik Anak Rimba
Merangin, MZK News – Dari Kabupaten Merangin, Jambi, di balik lebatnya hutan kelapa sawit dan jalanan berbatu yang terjal, dua perempuan tangguh yaitu Warsiti dan Fitri menjalani rutinitas yang tak biasa.
Setiap hari, mereka melintasi puluhan kilometer dari Desa Bukit Beringin, Kecamatan Bangko Barat, demi satu tujuan yaitu menyampaikan ilmu kepada warga rimba atau yang lebih dikenal dengan Suku Anak Dalam.
Dengan sepeda motor tua dan langkah kaki yang tak mengenal lelah, mereka menyusuri jalan sempit, berlumpur, dan seringkali hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki. Bukan fasilitas nyaman yang mereka tuju, melainkan hamparan tanah di bawah rindangnya pohon sawit. Di situlah “sekolah” digelar dan beralaskan tikar plastik, beratapkan langit, berlantai tanah serta rumput.
“Kami hanya ingin mereka bisa membaca, menulis, dan berhitung,” tutur Warsiti dengan suara lirih namun penuh tekad, Rabu (25/06).
Sekolah Tanpa Dinding
Tidak ada gedung. Tidak ada papan tulis. Namun di hadapan Warsiti dan Fitri, belasan anak dan bahkan beberapa orang dewasa dari Suku Anak Dalam duduk rapi dan memperhatikan. Meski sederhana, semangat belajar mereka luar biasa. Setiap kedatangan guru disambut dengan senyum dan pelukan hangat. Anak-anak itu yang sebelumnya tak mengenal huruf kini mulai mengeja nama sendiri.
“Rasanya semua lelah hilang saat mereka menyambut kami,” ujar Fitri sambil mengusap peluh di keningnya.
Mengajar Sambil Membagi Nasi Bungkus
Sadar bahwa perut kosong sulit diajak berpikir, kedua guru ini tak hanya membawa buku dan alat tulis, mereka juga rutin membawa bekal makanan dari warung, yang kemudian dibagi bersama anak-anak rimba usai belajar. Kegiatan sederhana itu menjadi bentuk kasih sayang dan cara membangun kedekatan.
“Kami ingin mereka tahu, belajar itu menyenangkan. Tidak harus kaku,” kata Fitri sambil tersenyum.
Tantangan yang Tak Sedikit
Mengajar warga rimba bukan perkara mudah. Selain harus berpindah-pindah karena pola hidup nomaden, Warsiti dan Fitri juga kerap kesulitan mencari murid mereka yang berpindah tempat di dalam areal perkebunan sawit.
Belum lagi minimnya sarana dan prasarana. Tidak ada fasilitas belajar layak, tidak ada transportasi yang memadai, dan cuaca ekstrem kerap menjadi tantangan tersendiri. Namun semua itu tak menyurutkan semangat mereka.
“Kami hanya berharap pemerintah bisa lebih peduli. Tidak hanya kepada kami sebagai guru, tapi juga untuk anak-anak rimba yang butuh pendidikan layak,” ungkap Warsiti penuh harap.
Harapan dari Tengah Rimba
Pendidikan adalah hak semua anak, termasuk mereka yang hidup jauh dari keramaian. Apa yang dilakukan Warsiti dan Fitri menjadi bukti nyata bahwa secercah harapan bisa tumbuh bahkan di tempat paling terpencil sekalipun.
Warsiti, Guru Swasta;
“Kami tidak butuh pujian, yang kami butuh adalah perhatian. Agar anak-anak ini bisa punya masa depan”.
Umi, Siswa Suku Anak Dalam;
“Saya senang kalau Bu Warsiti datang. Saya ingin belajar dan bisa baca tulis”.
Kisah dua guru ini bukan sekadar cerita tentang mengajar. Ini adalah kisah tentang keberanian, pengabdian, dan cinta pada ilmu, pada manusia, dan pada masa depan.
Reporter: Dewi Wilonna
Editor: Khoirul Anam