FEATUREDNasionalNewsTOP STORIES

EDITORIAL | Skandal Sunyi Pembelian Aset Pemkab Sijunjung: “Negara Membeli Negara” Hingga Penegak Hukum Pura-Pura Buta

Ironi memang! Saat masyarakat Kabupaten Sijunjung dipertontonkan teatrikal dengan iringan orkestrasi permainan para elit politik dan para pejabat yang merasa aman selama belasan tahun, skandal yang kian tertutup rapat tetap saja menyisakan dugaan aroma korupsi. Ini sudah menjadi rahasia umum di kalangan pemkab dan masyarakat.

Memang, skandal yang satu ini susah untuk dibuka, bahkan banyak yang enggan bicara karena begitu hebatnya instrumen yang bergerak untuk melindungi kasus ini dari tahun ke tahun.

Pada saat ini, sudah hampir 19 tahun kasus itu tak kunjung ada ujung pangkalnya, beberapa kepala APH berganti, namun tak juga ada kepastian hukum dalam skandal dugaan korupsi pembelian lahan dan aset Pemda itu.

Kini, benang merah dalam kasus skandal pembelian aset daerah di Kecamatan Kamang Baru, Kabupaten Sijunjung, kian terbuka dan kembali menjadi buah bibir oleh masyarakat Kabupaten Sijunjung. Masih teringat ketika mahasiswa berdemo di depan kejaksaan dan juga halaman gedung KPK untuk menyuarakan kebenaran. Namun, masih saja tak ada pergerakan hukum yang signifikan bahkan mati di jalan.

Ini menambah kekhawatiran masyarakat: Apakah hukum itu benar ada? Ataukah hukum hanya tajam ke bawah, tumpul ke atas?

Tercium dari Hutan: Jejak Dugaan Korupsi
Skandal dugaan korupsi pembelian lahan aset pemda ini berawal dari investigasi lapangan atas jejak penggundulan hutan di Tanjung Kaliang. Ternyata, penggundulan lahan tersebut hanyalah permukaannya saja. Pendalaman kasus ini justru bermuara pada dugaan peralihan dan pembelian aset lahan Pemda serta jejak dari PT Karbindo internasional.

Jejak penggundulan hutan yang berpolemik di tengah masyarakat pun membawa pada dugaan maladministrasi, bahkan potensi kerugian negara. Kawasan hutan di Tanjung Kaliang dan beberapa wilayah berdekatan merupakan HPK (Hutan Produksi Konversi) yang dilepaskan oleh PT Karbindo Internasional, perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan.

PT Karbindo diminta melepaskan kawasan hutan yang berstatus HPK pada tahun 2014. Hal ini tertuang dalam Surat Keputusan Bupati Kabupaten Sijunjung dengan nomor 188.45/459/PTSP/BLHPMPT-2014, pada Diktum Kedua dan hal Ini menunjukkan bahwa Pemkab Sijunjung sejak tahun 2006 memang telah membeli lahan yang masih berstatus HPK dan ini mengindikasikan bahwasanya negara membeli tanahnya sendiri.

Permohonan Pelepasan, Tapi Tak Ada Aktivitas

PT Karbindo Internasional melalui surat bernomor 005/KI/IX/2014 tertanggal 8 September 2014, memasukkan permohonan pelepasan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi kepada Dinas Kehutanan dan Badan Koordinasi Penanaman Modal Provinsi Sumatra Barat. Setelah pelepasan kawasan selesai, PT Karbindo Internasional sudah mengantongi izin lokasi, namun, PT tersebut diduga belum mengantongi izin dokumen berupa UKL-UPL dan Amdal Maupun HGU, sehingga bertahun-tahun lokasi yang dilepaskan tidak terjamah dan tidak ada aktivitas yang berarti. Menurut Ramli salah seorang pejabat PTSP mengatakan, memang Karbindo Internasional belum melihatkan Dokumen UKL-UPL, AMDAL maupun HGU Kepada kami saat ditemui oleh wartawan pada (22/5).

Tahun 2022: Masuk Mafia Hutan

Pada tahun 2022, justru muncul masalah baru, dugaan praktik mafia hutan. Terjadi jual beli kawasan hutan seluas 700-1000 hektar di kawasan izin lokasi milik PT Karbindo. Ratusan hektar hutan dibabat oleh oknum cukong. Dalam permainan ini, disebut-sebut banyak pihak yang terlibat.
Aktivitas ini diduga ilegal dan sangat rentan dengan maladministrasi, bahkan pemalsuan dokumen perizinan. Namun sampai kini, tak ada penanganan hukum yang berarti. Masyarakat kecewa atas lambannya penegakan hukum, padahal kerusakan alam terjadi begitu nyata dan dugaan kerugian negara bisah mencapai triliunan rupiah.

(Foto Ilustrasi)
(Foto Ilustrasi)

Lingga, salah seorang aktivis muda Sijunjung menegaskan bahwa kerusakan hutan ini bukan hanya bentuk pelanggaran terhadap lingkungan hidup, melainkan juga potensi besar kejahatan terorganisir yang melibatkan oknum birokrasi, korporasi, dan mafia tanah.

“Ini bukan sekadar soal pepohonan yang hilang. Ini soal kedaulatan negara atas tanahnya. Ini soal bagaimana mafia bisa mengangkangi hukum, dan negara malah jadi penonton,” tegas Lingga.

Mahasiswa mendesak agar lahan yang disengketakan segera disegel, sambil proses hukum berlangsung. Sebab saat ini sudah menjadi atensi nasional yang kian meresahkan.

Obstruction of Justice: Ketika Hukum Dipermainkan

Kasus ini sudah menjadi atensi nasional. Kejaksaan Agung pun telah melimpahkan perkara ini ke Kejati Sumbar untuk pengungkapan lebih lanjut. Namun, dalam kasus dugaan korupsi tanah Pemda, ada isu krusial yang menjadi tameng perlindungan bagi para pelaku; mereka berlindung di balik alasan kedaluwarsa waktu pengungkapan kasus.

Padahal, Kejaksaan Agung baru-baru ini berhasil membongkar skandal korupsi besar di sektor izin perkebunan yang menjerat pejabat Kementerian KLHK. Kasus itu terjadi pada tahun 2005, namun baru diungkap tahun 2025. Artinya, alibi kedaluwarsa tak bisa dijadikan alasan hukum untuk mati. Inilah yang disebut obstruction of justice. Upaya sistematis menghalangi proses hukum oleh pihak-pihak yang berkepentingan, baik melalui tekanan politik, manipulasi data, hingga penghilangan barang bukti dan perlindungan terhadap saksi.

Menurut Salah Seorang Praktisi Hukum Yaitu Ismail Novendra, S.H., dirinya menyayangkan kejadian ini dan pengungkapan kasus begitu lamban padahal dugaan kerugian negara akan membengkak setiap tahun nya karna ini adalah sektor kejahatan lingkungan.

Dia menambahkan, pihak-pihak yang mencoba untuk menutupi dan mengelabui kasus ini harus diproses dan diberikan sanksi tanpa pandang bulu. Apalagi ada yang mengatakan kalau kasus ini telah kadaluwarsa, apa maksud oknum yang bicara seperti itu? Semua jelas aturannya untuk daluwarsa kasus dugaan korupsi.

“Dalam UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dinyatakan daluwarsa penuntutan untuk sebuah kasus korupsi dihitung sejak perbuatan itu dilakukan, yaitu 20 tahun jika ancaman pidana penjara seumur hidup atau lebih, atau 18 tahun jika ancaman pidana penjara di atas 7 tahun dan paling lama 15 tahun. Nah, apakah kasus itu telah melewati batas Daluwarsa?” tanyanya.

Terakhir, dia berharap agar kasus ini dibongkar secepatnya dan menyeret seluruh yang terkait ke meja hijau. Bahkan Ismail Raja Tega berharap mereka yang ikut menikmati hasil dari korupsi tersebut dapat menjalani hidup di Hotel Prodeo.

Dugaan obstruction of justice tericium karena mandeknya kasus penyelidikan dari belasan tahun silam bahkan upaya sistematis menghalangi proses hukum oleh pihak-pihak yang berkepentingan, baik melalui tekanan politik, dan permainan dengan oknum aparat penegak hukum itu sendiri kian terasa.
Bahkan sejumlah aktivis mendesak Kejaksaan Agung untuk menarik kasus ini ke Jampidsus Kejagung karena dinilai penyelidikan di Kajati bisa saja mandek karena adanya hubungan emosional antara petinggi Kajati Sumbar dengan pejabat tinggi di Kabupaten Sijunjung.

Bola Salju Kejahatan Lingkungan

Kejahatan dalam sektor lingkungan tidak bisa serta-merta berhenti. Tidak bisa berlindung di balik alasan kedaluwarsa, karena kerugian lingkungan akan membengkak dan tumbuh setiap tahun. Jika tidak segera ditangani, akan menjadi bola salju yang kian hari kian membesar.

Dalam kasus perambahan hutan di Kabupaten Sijunjung ini, banyak sektor dugaan kejahatan yang bisa dimasuki oleh penyidik. Dan tidak hanya terpaku dalam satu titik kasus: mulai dari alih fungsi hutan, pembabatan liar, permainan cukong, pemalsuan surat, hingga dugaan kongkalikong antar pejabat.

Pernyataan Wengki, Direktur Eksekutif WALHI Sumbar:

Pemanfaatan hutan harus tepat, berkelanjutan, dan menjaga fungsi ekologis, sosial, serta ekonomi untuk keadilan antar generasi. Kerusakan hutan akibat pemanfaatan ilegal berdampak serius secara ekologis dan sosial, serta merugikan generasi mendatang. Kejahatan lingkungan sering terorganisir dan sulit diungkap tanpa keterlibatan negara. WALHI mendesak penegak hukum mengusut aktor utama, bukan hanya masyarakat kecil, serta berharap Kejaksaan Agung dan kementerian terkait aktif menangani agar tidak terjadi bencana ekologis, sosial, dan krisis iklim yang lebih parah.

Reporter: Gangga

Editor: Khoirul Anam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *