Santri Dari Masa Ke Masa
(Sumber Foto: DocPlayer.info)
Oleh: Iga Kurniawan, S.H., M.Ag.
Nusantara ini memang memiliki kekayaan yang begitu luas yang menjadi aset berharga bagi bangsa hingga saat ini. Salah satu kekayaan yang menurut saya patut untuk terus dilestarikan adalah santri dan pesantren.
Istilah “santri” menurut beberapa ahli berasal dari bahasa Jawa kuno “cantrik”, sebuah istilah yang disematkan bagi seseorang yang berusaha belajar dalam keahlian tertentu dan dilakukan dengan mengikuti jejak langkah guru di mana pun berada. Ada pula yang menyebut istilah “santri” berasal dari kata “shastri”, kata dalam bahasa Sansekerta yang berarti “melek huruf” (Setiawan, 2021).
Kedua bahasa tersebut, baik “cantrik” maupun “shastri” menunjukkan bahwa santri merupakan orang-orang yang sibuk dalam pencarian pengetahuan dan keterampilan. Dengan kata lain, santri merupakan kaum intelektual yang bergulat dengan ilmu pengetahuan. Kemudian secara spesifik istilah santri ini seolah menjadi paten bagi kaum intelektual muslim setelah Islam masuk ke Nusantara dan dikuatkan dengan kekuasaan politik Islam yang ada, terutama di Tanah Jawa. Santri-santri ini ada yang belajar secara mukim (menetap) di tempat para guru (Kiai) hingga kemudian tempat para pelajar muslim ini disebut dengan pesantren.
Eksistensi santri sebagai kaum intelektual muslim zaman dulu sangat kuat sebab satu-satunya lembaga pendidikan yang ada hanyalah pesantren. Belum ada sekolah formal sebagaimana Era Penjajahan Belanda dan Jepang. Karena itu pula istilah yang digunakan untuk menunjuk pelajar di lembaga pendidikan formal belum ada. Kini jika siswa, sarjana, atau istilah lainnya digunakan untuk menyebut kaum intelektual lembaga pendidikan formal dengan sistem pendidikan modern, maka santri juga sejajar dengan istilah-istilah itu. Ia hanya satu dari banyaknya kaum intelektual dari berbagai bidang keilmuan lainnya yang patut diapresiasi dan diakui eksistensinya.
Santri dan Nasionalisme
Bicara santri dan nasionalisme sudah pasti tidak akan ada putusnya. Banyak sejarah yang telah diurai dan dipaparkan tentang tema ini. Santri dan pesantren selalu terlibat aktif dan berada pada barisan terdepan untuk menjaga bumi nusantara terutama sejak kolonialisme dan imperialisme masuk.
KH. Zainal Musthafa, pengasuh pesantren Sukamanah di Tasikmalaya secara tegas menentang pendudukan Jepang (Kusniadi, 2014). Jauh sebelum itu terjadi perang Jawa yang diprakarsai Diponegoro yang juga seorang santri melawan Belanda yang berlangsung selama lima tahun (Ruspandi, 2011), hingga Resolusi Jihad oleh KH. Hasyim Asy’ari yang mampu menggerakkan seluruh santri di Jawa Timur untuk bersatu mempertahankan kemerdekaan (Asmani, 2022).
Kisah-kisah heroik kaum santri di atas setidaknya menunjukkan bahwa santri tidak hanya kaum pelajar tradisional yang identik dengan sarung belaka. Sebaliknya, santri memiliki kontribusi besar atas merdekanya Bangsa Indonesia dari berbagai tindakan kolonial. Kisah heroik tersebut sepertinya tidak terlepas dari karakter para ulama pesantren yang konsisten mengajarkan pendidikan moral dan spiritual di samping memberikan nutrisi intelektual keagamaan. Sebagaimana yang ditulis oleh Zamakhsyari Dhofier, bahwa tujuan pendidikan tidak semata-mata untuk memperkaya pikiran santri dengan palajaran-pelajaran agama, tetapi untuk meninggikan moral, melatih dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan sikap dan tingkah laku yang bermoral, dan menyiapkan para santri untuk hidup sedarhana dan bersih hati (Dhofier, 1994).
Melihat sejarah besar peran santri untuk tanah air dari masa ke masa membuat saya semakin yakin bahwa santri akan tetap konsisten menjaga keutuhan dan kedaulatan negara sampai kapan pun. Sebab dalam benak kaum santri sudah menancap prinsip “Cinta Tanah Air Adalah Bagian Dari Iman”. Prinsip ini diajarkan turun-temurun oleh para ulama agar santri memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi untuk selalu merawat dan menjaga tanah air yang indah ini agar tetap utuh dalam kesatuan.
Bibliography
Asmani, J. M. (2022). Jihad Keilmuan dan Kebangsaan Pesantren. Yogyakarta: IRCiSoD.
Dhofier, Z. (1994). Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiai. Jakarta: LP3ES.
Kusniadi, A. (2014). Sejarah Pesantren Jejak, Penyebaran dan Jaringannya di Wilayah Priangan (1800-1945). Bandung: Humaniora.
Ruspandi. (2011). Perang Diponegoro. Jakarta: Be Champion.
Setiawan, F. (2021). Kebijakan Pendidikan Muhammadiyah 1911-1942. Yogyakarta: UAD Press.