FEATUREDOpiniTOP STORIES

Bicara Soal Penangkapan adalah Tugas, Fungsi, dan Wewenang Penyidik

Foto: Muhtar Habe (Wartawan Senior MZK News Wilayah NTB)

Oleh: Muhtar Habe

Bicara soal tindakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan penjemputan paksa terhadap terduga pelaku atas dugaan pelanggaran ketentuan pidana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), dan Undang-undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) adalah merupakan tugas, fungsi, dan wewenang penyidik di institusi masing-masing.

Upaya penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dilakukan penyidik terhadap terduga pelaku yang berstatus tersangka atas suatu tindakan pidana dilakukan untuk kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan peradilan. Namun, tidak untuk kepentingan lain.

Kendati demikian, penyidik tidak boleh sewenang-wenang dan harus sesuai mekanisme dan prosedural hukum. Tindakan benar-benar profesional. Penindakan-penindakan itu dapat dilakukan harus berdasarkan dua alat bukti cukup sebagai bukti permulaan dimaksud Pasal 184 KUHAP.

Dalam upaya penindakannya, penyidik harus memperhatikan hak-hak yang bersangkutan seperti menyampaikan informasi terlebih dahulu atas perkara yang menyeret namanya, memperlihatkan surat perintah penangkapan, atau penahanan.

Selain itu, penyidik juga harus memberitahukan keluarga terduga pelaku, memberi ruang untuk menyapa dan sejenisnya kepada keluarganya dikawal penyidik dan paling penting adalah yang bersangkutan tidak boleh dihakimi dan tetap menghormati asas hukum praduga tidak bersalah, karena yang memiliki otoritas menentukan seseorang bersalah adalah putusan hukum yang berkekuatan tetap.

Sementara terkait penangkapan terhadap Ketua PPWI Wilson Lalengke, marak diberitakan media online dalam group WhatsApp Forum Pimpinan Redaksi Nasional (FPRN) kemarin dan memunculkan keberagaman pendapat dan pandangan tentunya.

Jika dikaji, ditelaah, dicerna, dan dicermati dalam redaksi pemberitaan sejumlah media online dalam group itu, dapat disimpulkan ada dua substansi masalah hukum yang menonjol.

Pertama, terseretnya Wilson, kuat diduga itu dampak dari penangkapan dilakukan Polres Lampung Timur terhadap oknum wartawan atas dugaan suap-menyuap uang Rp2.800.000,- dengan seseorang wanita yang mengaku suaminya berzina dengan wanita lain agar diberitakan.

Kedua, Polres pun menilai Wilson Lalengke tidak kooperatif atas proses hukumnya, karena Wilson ngotot pertanyakan identitas pelapornya hingga digiringnya menuju Mapolres itu.

Jika melihat dari alur penangkapan terhadap sosok Wilson dan wartawan itu ditangkap bukan karena soal produk jurnalistik dan kritikan yang amat pedas dan menggelitik ditujukan kepada kepolisian. Namun, ada substansi lainnya, yang tidak relevan sama sekali dengan profesi jurnalistik, maupun pelaksanaan tugas jurnalistik diatur Pasal 6 KEJ dan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Oknum itu ditangkap, soal dugaan suap-menyuap sebagaimana dimaksud ketentuan dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Atas Perubahan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.

Sedangkan Wilson ditangkap, kuat diduga bukan lantaran memperjuangkan nasib wartawan yang ditangkap dalam kasus pemerasan itu. Namun, ada substansi lain.

Itu kuat dugaan jika dilihat sigap polisi hingga menghadang Wilson saat turun pertanyakan peristiwa yang menimpa wartawan itu di wilayah hukum Polres Lampung Timur, sebagaimana dikutip dari sejumlah media.

Diyakini jika Wilson ditangkap akibat kiriman karangan bunga dengan ucapan kepada selamat Kapolres Lampung Timur. Selain itu, juga ditambah dengan pertanyaan identitas pihak pelapor hingga menyeretnya Wilson ke ranah hukum.

Kalau wartawan itu ditangkap atas kasus dugaan suap-menyuap, maka itu sudah tepat sekali. Sebaliknya, jika ditangkap soal pemberitaan yang dibuatnya, penyidik mesti melepas yang bersangkutan, karena soal produk jurnalistik, tidak ada kewenangan polisi menyelidik dan menyidik terlebih dahulu.

Apalagi, bagi wartawan yang menjalankan profesinya sesuai ketentuan, maka tidak bisa dipidana, itu diatur Pasal 50 KUHAP.

Jika soal jurnalistik itu ada mekanisme penyelesaiannya. Pihak merasa dirugikan, ada ruang hak jawabnya, tidak puas hak jawab, adukan ke Dewan Pers. Di sana akan keluar rekomendasinya.

Sementara terkait penangkapan Wilson, tidak mesti dilakukan oleh kepolisian dan dikedepankan restorative justice. Apalagi obyek yang dirugikan bukan masyarakat, melainkan kepolisian sendiri.

Lakukan restorative justice juga penindakan hukum bagi orang-orang yang bertindak dengan secara tidak sengaja melawan hukum. Coba saja Wilson mangkir dua kali panggilan atas kejahatan luar biasa, mungkin tidak soal. Tapi, ini kan hanya soal sepele, meskipun menurut polisi, atas tindakan Wilson mencoreng institusi Polri.

Sebagai warga negara yang baik, taat, patuh, dan hormati hukum, harus ikuti prosesnya. Sebaliknya, jika temui kejanggalan, bisa dituntut, karena hukum diberlakukan sama pada setiap warga.

Editor: Martha Syaflina

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *