Pendidikan Abad 21: Menakar Eksistensi Guru
Abad 21 membawa manusia menuju peradaban baru, peradaban serba elektrik, saintifik dan kalkulatif. Sebetulnya paradigma ini bukan barang baru. Paradigma ini dimlaui sejak munculnya gerakan budaya baru yang disebut Renaisans (kebangkitan kembali), sebuah paham yang menjunjung tinggi eksistensi manusia yang muncul pertama kali di Italia dan menyebar ke seluruh penjuru Eropa. Renaisans membawa paham antroposentris, yakni sebuah paham yang menyatakan bahwa manusia lah yang menjadi pusat kajian. Gerakan ini muncul di abad ke 14 sebagai counter terhadap paham sebelumnya, yakni Teosestris yang menekankan hegemoni gereja atas nama Tuhan (Tobias Lansor).
Inti dari Renaisans adalah kemajuan dalam bidang industri, arsitektur, seni rupa dan ilmu pengetahuan sehingga meninggalkan ajaran-ajaran kultus gereja yang dianggap menghambat kemajuan manusia. Oleh para ahli sejarah masa di mana Gereja berkuasa dan berhasil menanamkan doktrinnya dinamakan abad pertengahan, dan masa setelahnya, yakni munculnya Renaisans dinamakan abad modern. Renaisans ini kemudian melahirkan paham-paham baru seperti rasionalisme, humanisme, individualisme dan empirisme serta gerakan pencerahan yang disebut dalam bahasa Jerman dengan nama Aufklarun (Purwanta, 2021). Hingga kini paradigma abad modern masih berlaku dan di seluruh dunia.
Paham-paham warisan Renaisans ini kemudian merambah di bidang pendidikan. Di abad 21 ini pendidikan seolah kerasukan rasionalisme, empirisme dan individualisme. Dalam pendidikan guru dituntut lebih ke arah kuantitatif, profesional dan semuanya berbasis di atas angka. Jika tidak dapat mengikuti perkembangan zamannya, guru ini akan tersingkir.
Pada era revolusi industri 4.0 ini, terutama di saat pendemi, peran guru semakin tergeser oleh komputerisasi mesin dan kecerdasan buatan yang diciptakan oleh manusia. Melalui media-media sosial yang dapat diakses dengan mudah, anak didik bisa mencari dan mempelajari objek apa pun yang ingin ia ketahui. Bahkan banyak aplikasi yang menawarkan pengajaran online dengan biaya yang terjangkau.
Bagaimana Peran Guru?
Guru adalah sosok penting berjalannya pendidikan. Era digital dan komputer seperti sekarang ini, secanggih apa pun ia, tetap tidak dapat menggantikan peran guru. Meskipun materi pembelajaran dapat diakses dari mana saja, posisi dan peran guru tidak dapat digantikan. Sebab dalam pendidikan ada hal lain yang jauh lebih penting dari pada sekedar materi belajar, yakni karakter (hal) dan spirit mengajar guru (ruh).
Hal (karakter) adalah keteladanan yang ditampilkan oleh seorang guru sehari-harinya. Dari situlah seorang murid memahami berbagai sikap, nilai-nilai moral dan akhlak dari sang guru. Keteladanan inilah pelajaran sesungguhnya yang mestinya diambil oleh seorang murid di luar materi pembelajaran yang tertuang dalam teks-teks, gambar dan media lainnya.
Sedangkan ruh (spirit) adalah unsur intrinsik yang tersimpan dalam hati sang guru. Ruh yang baik biasanya disebabkan dengan kedekatan yang intensif seorang guru dengan Tuhan. Sebab ruh dalam konteks ini, menurut al-Gazali (2016) adalah sesuatu yang lembut yang mampu mengetahui, mengenali dan menemukan pancaran ilahiyah. Dari ruh yang baik itu pula seorang guru mampu memancarkan pancaran ilahiyah tersebut pada murid-muridnya. Dari konsep ini juga KH Hasyim Asy’ari menyimpulkan Al-Thariqah Ahammu min al-Maddah, wa al-Mudarris Ahammu min al-Thariqah, wa Ruh al-Mudarris Ahammu mi al-Mudarris Nafsihi, (metode mengajar lebih penting dari materi, guru lebih penting dari metode dan ruh-nya lebih penting dari guru itu sendiri (Suranto, 2020). Dengan demikian posisi ruh justru menempati tingkatan tertinggi dalam hirarkhi pendidikan.
Dua hal di atas tidak mungkin ditemui dari alat teknologi mana pun. Secanggih apa pun tenknologi pendidikan yang digunakan tidak akan mampu mengajarkan teladan-teladan dan memancarkan cahaya ilahiyah. Oleh sebab itu, dalam mengajar, memberi teladan baik dan membentuk spiritual yang kuat masih sangat penting bagi seorang guru. Tanpa keduanya guru tidak ubahnya sebuah mesin atau kecerdasan buatan manusia yang menampilkan materi-materi semata. Maka tidak heran jika banyak manusia cerdas intelektual tapi krisis spiritual dan moral.
Sumber:
Purwanta, H. (2021). Sejarah Eropa: Dari Renaisasns Sampai Revolusi Industri Kedua. Klaten: Lakeisha.
Suranto, M. (2020). KH. Ahmad Umar: Sumber Keteladanan Membangun Karakter Beragama, Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. Klaten: Lakeisha.
Tobias Lansor, M. E. Hidup di Abad Pertengahan. Cambridge.
Al-Gazali, Abu Hamid, (2016), Ihya Ulum al-Din, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.

Oleh: Iga Kurniawan
(Penyuluh Agama Islam Non PNS Kementrian Agama Kab. Jepara, Jawa Tengah).