FEATUREDOpini

OPINI: Represi Digital ditengah Pandemi

Oleh: Muhammad Rabbani

Pandemi Covid-19 tidak hanya berdampak terhadap kesehatan manusia kiwari, tetapi juga mengubah perilaku kita sehari-hari. Kita dipaksa tidak hanya lebih peduli terhadap cuci tangan, penggunaan masker, hingga kesehatan secara umum, tetapi juga mengubah kebiasaan sebagai makhluk sosial. Kebiasaan kita untuk bersosialisasi, bersama di dalam kerumunan, sekarang harus rela diganti isolasi.

Setahun berselang setelah pandemi menjungkir balikkan tatanan global sejak ditemukan pertama kali pada akhir 2019 di Wuhan, Cina, kini kita makin terbiasa menjadikan isolasi sebagai norma. Kita bersama di satu ruang yang sama, tetapi juga harus menjaga jarak. Kita saling berjumpa, tetapi harus menutup sebagian wajah agar tak menyebarluaskan wabah.

Beruntunglah ada teknologi informasi yang memfasilitasi.

Ruang-ruang digital melalui media daring semakin tumbuh subur menggantikan perjumpaan di ruang nyata. Jarak yang dulu memisahkan, kini tak lagi berarti selama kita memiliki koneksi. Belajar di rumah. Bekerja dari ruang pribadi. Walaupun, ibadah melalui layar kaca. Internet memungkinkan itu semua.

Namun, sayangnya, kesempatan itu tak berlaku sama untuk semua warga. Kemewahan belajar, bekerja, beribadah, dan kegiatan lain melaui media daring hanya bisa dinikmati jika ada sumber daya untuk menggunakannya. Tidak hanya dari sisi perangkat, tetapi juga kapasitas warga.

Pandemi Covid-19 memerlihatkan gagapnya negara dalam memenuhi hak-hak digital bagi warganya. Untuk mencegah penularan Covid-19, banyak negara memberlakukan pembatasan total (lockdown) atau pembatasan sehingga orang harus melakukan kegiatannya dari rumah, termasuk kerja, belajar, dan ibadah. Namun, tuntutan untuk untuk terhubung melalui internet ini belum diiringi dengan ketersediaan akses internet yang bisa diandalkan (reliable) dari sisi ketersediaan dan kecepatan. Banyak warga, terutama kalangan kelas bawah dan daerah terpencil, masih harus berjuang utuk mendapatkan akses internet.

Dari sisi ketersediaan akses, sebenarnya penetrasi internet di Indonesia terus meningkat. Meskipun demikian, peningkatan penetrasi itu tidak berjalan lurus dengan pemerataan akses internet. Keharusan berkegiatan dari rumah belum bisa di lakukan sebagian warga karena keterbatasan infrastruktur, ekonomi, dan kapasitas mereka.

Pembelajaran jarak jauh dilakukan secara dalam jaringan (daring) maupun luar jaringan (luring). Namun, kebijakan ini tidak sejalan dengan keadaan infrastuktur dan akses internet di masyarakat.

Masalah lainnya, siswa tidak memiliki ponsel pintar atau perangkat lain untuk mengakses internet. Atau, kalau memiliki ponsel pintar, mereka tidak bisa membeli paket data internet atau menggunakan aplikasi yang digunakan untuk belajar jarak jauh.

Selain pendidikan, hak ekonomi sebagian warga juga tidak terpenuhi karena terbatasnya akses internet selama pandemi Covid-19. Untuk mengatasi dampak pandemi terhadap Usaha  Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), pemerintah mendorong digitalisasi usaha. Namun, ini pun menghadapi kendala akses internet yang relatif mahal, tidak stabil, dan tidak merata.

Pemerintah membuat kebijakan kartu prakerja dan bantuan sosial. Namun, lagi-lagi terbatasnya akses internet yang seharusnya menjadi hak setiap warga, juga menjadi hambatan dalam pemenuhan hak ekonomi sosial budaya ini. Untuk mendapatkan kartu prakerja, warga korban PHK harus menggunakan internet, sesuatu yang tidak bisa diperoleh dengan mudah.

Jawa Timur, 19 Juli 2021

Penulis : Mahasiswa Universitas Hasyim Asy’ari, Jombang, Jawa Timur

Reporter: Adhifatra

Editor: Khoirul Anam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *