CerpenFEATUREDSastra Kita

Asih Asuh dari Sosok Kiai

Oleh: Khoirul Anam

Terdengar aneh namun nyata adanya. Kiai merupakan tokoh sentral atau menjadi publik figur dalam kehidupan di pesantren, dia yang menjadi panutan untuk semua santri. Tugas dan peran dari kiai tidak hanya sebagai guru yang bertugas untuk mentransfer ilmu pengetahuan, akan tetapi sebagai orang tua kedua setelah orang tua kandung, dan pengasuh juga sebagai suri tauladan (uswatun hasanah) serta lain sebagainya.

Peran dari sang tokoh utama dalam sebuah sinetron atau film layar lebar tidaklah mudah untuk digantikan oleh siapa pun dan sembarangan orang, karena pandangan dan juga mindsed yang tertanam pada khalayak dan penonton tertuju pada tokoh dan pemeran utama tersebut.

Ada sisi yang menarik dan menetap dihati penonton jika pemeran utama dalam sebuah film atau sinetron ketika diperankan oleh tokoh A misalnya, begitu juga dengan peran yang dilakukan oleh Kiai, jika aktor utama dalam film tersebut mempunyai daya tarik pada penonton, Kiai mempunyai aura kewibawaan dan juga kealiman pada bidang-bidang keilmuan tertentu.

Dalam dunia pesantren, ada orang membantu Kiai dalam memberikan dan mentransfer keilmuan yang disebut dengan guru/ustaz dan ustazah, namun sifatnya bukan pemeran utama, karena tidak semua guru/ustaz dapat melakukan sebagaimana yang dilakukan oleh Kiai.

Pembantu Kiai adalah orang-orang kepercayaan yang dipilih langsung oleh Kiai, karena mempunyai kualitas yang baik dari segi keilmuan yang telah dipelajari dan juga ketekunan/keta’dhiman yang dimiliki.

Sisi perbedaan dari santri yang berkiai dan santri yang tanpa Kiai sebenarnya tidak begitu banyak, namun yang menonjol adalah pada kejelasan sanad (tersambungnya ilmu) yang telah diperoleh dari banyaknya guru. Dan santri yang berkiyai lebih condong sanadnya kepada Kiai tersebut dan jelas pada satu keilmuan.

Selain dari sisi keilmuan, pada hal sosialnya, santri yang berkiyai mempunyai sosok figur yang disegani akan wibawanya, dihormati, dan dijadikan sebagai contoh, walaupun menghormati siapa pun yang lebih tua dari kita adalah ajaran dari akhlak yang baik, akan tetapi hal tersebut tidak bagi santri yang tanpa kiyai, karena sifatnya seorang guru atau ustaz selain sebagai pendidik dan pentransfer ilmu adalah sebagai teman, teman seperjuangan dalam belajar.

Dari sisi asih dan asuh, secara umum, santri di mana pun mendapatkannya, entah dari seorang teman, pengurus dan guru/ustaznya, namun yang tidak bisa didapatkan adalah asih dan asuh dari Kiainya, yang mana asih dan asuh dari seorang Kiai yang tidak dapat dilakukan oleh yang lain adalah ke-istiqomahannya dalam membimbing dan mendidik luar maupun dalam (dhahir dan batin). Hal ini sebagaimana yang telah dilakukan oleh salah satu Kiai yang pernah diceritakan juga oleh Kiai dalam mauidhoh hasanahnya disebuah acara haflah akhirussanah salah satu pesantren yang ada di Jawa Tengah, seperti ini kisahnya;

“Suatu ketika ada sepuluh santri yang nakalnya luar biasa dan sudah kelewatan/melewati batas kewajaran dari santri-santri yang lain, sehingga dari pihak pengurus pesantren tidak lagi mampu untuk mengatasinya, karena sangat keterlaluan nakalnya. Kemudian semua pengurus pesantren sepakat dan sudah berniat akan melaporkan santri-santri nakal tersebut kepada Kiainya.

Lalu, tidak sengaja juga kebetulan Kiai memanggil salah satu dari pengurus untuk ke rumahnya (ndalem), dengan tujuan Kiai ingin mengetahui perkembangan sehari-sehari para santri, wah ini namanya minta hati eh dapatnya jantung/aji mumpung (ucap kang pengurus dalam hatinya), ibaratnya udah pengen dan ditawari, kemudian dari pengurus tidak berbasa-basi, tidak berlama-lama untuk beranjak ke rumah Kiai (Ndalem) dengan membawa segudang data kenakalan dari santri-santri tersebut.

“Assalamualaikum,” kang santri mengucapkan salam.

“Waalaikumsalam. Mlebu, Kang (Masuk kang),” jawab Kiai.

“Njeh, Pak. (Iya, Pak).”

“Piye kang perkembanganane cah-cah saben dinane? Apik kabeh? tah iseh ono seng bandel-bandel? (gimana Kang, perkemabangan anak-anak setiap hari? Masih banyak yang nakal?

“Njeh, Pak, taseh wonten santri ingkang bandel, malah sampun mboten kiat ngatasi niku rencang-rencang pengurus. (Iya, Pak. masih ada santri yang nakal-nakal, dan itu, dari teman-teman pengurus sudah kuat untuk mengatasi santri-santri itu).

“Lho iya tah kang, sopo wae kui cah-cah e? (Loh iya ya Kang? Siapa saja itu anak-anaknya?)

Kemudian pengurus memberikan nama-nama tersebut kepada Kiai dengan harapan agar nama-nama santri tersebut dapat diberikan hukuman langsung oleh Kiainya dan bahkan berharap santri tersebut untuk dikembalikan kepada orang tuanya masing-masing.

Setelah memberikan nama-nama tersebut santri pengurus minta pamit untuk kembali ke pesantren dengan hati bahagia karena telah melaporkan santri-santri yang nakal kepada Kiainya dan menunggu waktu untuk melihat santri tersebut untuk dihukum. Detik demi detik, Menit demi menit, bahkan hari demi hari, santri-santri tersebut belum juga dipanggil untuk diberi hukuman oleh Kiai, merasa tidak sabar, dan geregetan, namun santri pengurus harus tetap untuk sabar lagi, karena merasa sungkan jika akan menanyakan kepada Kiai terkait nama-nama tersebut.

Dan ketika dirasa cukup untuk menahan kesabarannya, salah satu perwakilan dari santri pengurus tersebut memberanikan diri untuk menanyakan kepada Kiainya terkait hukuman santri-santri yang nakal itu. Dan tanpa basa-basi lagi santri pengurus beranjak pergi ke rumah (Ndalem) Kiai lagi. Kedatangannya disambut dengan santai oleh Kiai, seakan-akan Kiai sudah berfirasat jikalau santri pengurus yang datang akan menanyakan nama-nama yang dilaporkan waktu itu. Dan tanpa panjang lebar dan basa-basi, kiai bertanya kepada kang pengurus.

“Ono opo kang (ada apa kang)?”

“Ngapuntene Romo Kiai, ajeng tangklet, ngeten, kagem santri-santri ingkang wingen meniko kok dereng wonten panggilan lan dereng diparingi ta’ziran? (mohon maaf Bapak Kiai, mau tanya begini, untuk santri-santri yang kemarin itu kok belum ada panggilan dan belum diberi hukuman)?”

“Heeh, heeh, seng endi kang (Iya, iya, yang mana kang)?”

“Ingkang santri-santri nakal meniko, tiang ingkang kulo setor asma-asmane. (yang itu santri-santri yang aku setor nama-namanya).”

“Oh, yo yo yo, (sambil menggelengkan kepalanya), piye kang ono opo karo cah-cah kui. (Oh, Iya iya iya, ada apa emangnya kang dengan anak-anak itu)?”

“Kok santri puniko taseh ten pondok, bukane sampun jenengan paringi sanksi, diwangsulaken ke tiang sepuhe? (Kok santri itu masih di pondok, bukannya sudah jenengan keluarkan/kembalikan kepada orang tuanya)?”

“Oalah, kui tah kang, la aku jaluk data-data kui ora arep tak wenehi sanksi kok kang, lan ora arep tak balekke neng wong tuane kok, la wong-wong seng nakal kui rencana ku arep tak kandani kok ben ora podo ndablek maneh, lan ape tak dongaake ben dewe’e sadar yen ora dadi bocah nakal wae. (Oh, Itu tah kang, kan saya minta data-data itu bukan untuk dikasih sanksi, dan tidak akan saya kembalikan kepada orang tuanya, dan orang-orang yang nakal itu rencanaku mau saya kasih tau, kasih wejangan agar dia tidak pada nakal lagi, serta mau saya doakan agar dia sadar dan tidak selalu menjadi anak anakl terus).”

“Jadi begini kang, dengarkan ya, pesantren itu ibaratnya seperti bengkel motor, jadi apabila motor yang masuk itu rusaknya parah atau sedikit, sebagai montirnya tetap harus mau memperbaiki walaupun itu membutuhkan waktu yang lama, tidak seperti ini, jika rusaknya itu parah kemudian tidak mau memperbaiki itu salah besar namanya. Hal itu juga sama dengan santri-santri itu yang kemarin kamu laporkan kepadaku, bahwa dalam mengasuh anak itu tidak bisa langsung dikembalikan kepada orang tuanya, apabila anak itu memang nakal dan sudah tidak sewajarnya, karena yang namanya mendidik dan mengasuh itu berbeda, jika mendidik itu ditransfer ilmu-ilmu pengetahuan, maka mengasuh itu lebih dari itu kang. Sampai disini bisa difahami kang?”

Kang-kang pengurus hanya menganggukkan kepalanya mendengar apa yang disampaikan oleh Kiainya.

“Data-data yang sampean berikan kemarin itu, untuk bekal saya dan informasi bagi saya kang, jika anak-anakku masih ada yang nakal dan bandel, nah itu ketika saya shalat malam saya selipkan doa untuk nama-nama itu khusus, agar dia diberi kesadaran dan bisa menjadi orang-orang baik nantinya. Bukan hanya santri-santri itu saja, semua murid-muridku setiap malam aku doakan agar dia diberi ilmu yang bermanfaat dan dapat menjadi orang yang bermanfaat bagi yang lainnya.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *