Ketika Dukaku bukan Dukamu Lagi
Oleh: Liza Warni (Mahasiswa Pascasarjana Prodi Pendidikan Agama Islam Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat)
Bak cinta bertepuk sebelah tangan, seperti itulah sekiranya negeriku hari ini. Ketika kepentingan rakyat kecil makin dikerdilkan oleh kebijakan para elit politik. Alih-alih sebagai perwakilan aspirasi, mereka lebih terlihat sebagai pengkhianat mimpi-mimpi. Ketika kata demokrasi membuat ngeri dan mengingat janji-janji semakin membuat jijik. Bagaimanakah pertiwiku akan menampung luka yang digoreskan oleh tangan-tangan kekuasaan yang memegang jantung kehidupannya sendiri ?
Pengesahan RUU Omnibus law cipta kerja awal Oktober ini, ibarat menyiramkan air garam pada luka yang menganga di punggung rakyat. Belum usai wabah yang merenggut kebebasan, dimana ribuan orang kehilangan anggota keluarganya sendiri, dan yang lainnya berusaha untuk tetap bertahan hidup dalam kepelikan dan rasa takut. Kini, datang lagi wacana baru. Seperti kata pepatah, sudahlah jatuh terhimpit tangga pula.
Seperti yang kita lihat isi dari RUU cipta kerja Omnibus law akhir-akhir ini yang menjadi kontroversi dan memantik genderang perdebatan antara rakyat dengan pemimpinya sendiri yang dianggap sebagai perpanjangan tangan dalam mewujudkan kesejahteraan.
Terlepas dari isi yang kini telah menjadi isu, bahaya dari usaha penolakan pengesahan RUU tersebut lebih patut dipertimbangkan. Apalagi ketika beberapa pihak yang menolak turun kejalan untuk menyuarakan aspirasi mereka. Mungkinkah keselamatan mereka bisa terjamin dalam kondisi wabah yang merebak tak kasat mata?
Bisa dibayangkan bagaimana kondisi ketika massa turun ke jalan, menyuarakan hak dan pendapat mereka di gedung DPR di berbagai daerah ini, otomasis pembatasan interaksi sosial akan sulit dikendalikan sehingga bisa menimbulkan dampak lain, yaitu ancaman penyebaran virus yang yang dapat membahayakan kesehatan para peserta aksi.
Kontoversi Oktober ini bisa saja menjadi bumerang bagi keselamatan bangsa ini. Karena dilemanya, jika rakyat diam maka dianggap menyetujui pengesahan RUU yang telah dirancang dengan merelakan berbagai kebijakan yang dirasa tidak adil atas mereka, tapi ikut beraspirasi juga membuat mereka terseret dalam arus bahaya. Alih-alih menuju kesejahteraan dan kemajuan seperti yang diwacanakan pemerintah dalam RUU yang ada malah menuju duka yang panjang. Karena kebutuhan rakyat yang dinilai tak sejalan dengan kebijakan pemerintah.
Bak makan buah simalakama, begitulah Indonesiaku hari ini. Bagaimana caranya harus memaknai keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia? ketika nurani para elit mengesampingkan kebutuhan rakyat kecil di atas kepentingan mereka, Apalah daya rakyat kecil jika setiap kebijakan yang diluncurkan pemerintah selalu membuat patah hati.
Harusnya hal seperti ini tidak terjadi, apalagi dimasa pandemi seperti sekarang. Tetap bertahan hidup dalam musim sulit, kehilangan lapangan pekerjaan dan kondisi yang tidak memungkinkan untuk bekerja sudah lebih dari cukup. Apakah nurani mereka sebuta itu untuk paham dengan kondisi bangsanya sendiri saat ini.