CerpenSastra Kita

Laung Genta Nirmala

Penulis: Annesa

Editor: Alvin Hanevi

Hangatnya mentari pagi meruak dengan bebas melalui jendela kamar, jam dinding menunjukkan pukul enam pagi, kulangkahkan kaki menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Akhir-akhir ini suasana pagi terasa lebih ringan dibanding biasanya. Setelah wisuda, inilah yang kurasakan, susana yang ringan namun membosankankan. Bisa dibilang, aku cukup beruntung, setelah wisuda ada tiga tawaran pekerjaan yang menanti. Aku seharusnya sudah bekerja beberapa minggu yang lalu hanya saja aku memutuskan untuk menolak tawaran bekerja itu dan beristirahat beberapa waktu. Aku hanya ingin mengelola mengelola cafe untuk beberapa saat. Aku ada alasan untuk menolak, aku tidak peduli apa yang akan orang-orang katakan padaku. Namun ini yang aku pilih, aku hanya ingin menenangkan diri dan beristirahat dan menghilangkan segala beban dan pikiran.

Langit tampak cerah berawan menambah susana hatiku bertambah baik. Tepat pukul delapan kuputar papan tanda di pintu cafe menjadi “open.” Hari ini pelanggan yang datang ke cafe lumayan banyak dari biasanya, aku agak sedikit kewalahan tapi setelah itu aku terbantu oleh beberapa karyawan yang masuk pada shift siang. Karyawan di cafe ini ada yang bekerja tetap ada yang partime. Cafe ini sebenarnya dikelola oleh beberapa teman sejurusanku waktu kuliah dulu, jurusan kependidikan. Hanya saja beberapa diantaranya tidak dapat lagi mengelola seperti dulu, sekarang hanya tinggal aku dan seorang teman laki-laki bernama Wira.

Kring! Lonceng di pintu masuk cafe menyadarkanku dari lamunan, “Alma, americano satu ya” gadis ramping dengan rambut yang terikat menjuntai hingga pinggang, Lani. Beberapa waktu yang lalu dia menghubungiku, ada beberapa hal yang ingin dia bicarakan padaku. Gadis itu tampak bersemangat saat kubawa minuman pesanannya. Kami duduk dekat jendela kaca menghadap keluar cafe, Lani menyeruput americanonya dengan anggun, gadis ini tidak pernah berubah sejak dulu, dia sangat menyukai americano dan meminumnya dengan penuh kenikmatan. ‘Huff…’ Lani selalu memulai percakapan yang serius dengan helaan napas yang pendek diawal percakapan, dan itu pasti akan dia lakukan. Aku agak curiga hal serius apa yang akan dia bicarakan.

“Alma, kamu tahu, aku mencemaskanmu sejak hari itu. Aku tahu kamu hanya ingin menenangkan diri, tapi sampai kapan? Telah banyak kesempatan yang kamu sia-siakan Alma” aku paham arah pembicaraan ini, lagi-lagi hal itu. “Aku tidak bisa menerima tawanmu lagi, Lani” tanpa basa-basi aku hanya perlu menolak apa yang dia bicarakan sebelum pembicaraan kami makin panjang. “Cobalah sekali saja Alma, kamu belum tahu apa yang akan aku tawarkan” aku sudah malas sebenarnya mendengar Lani memohon agar menerima pekerajaan-pekerjaan yang dia tawarkan. “Ayolah Alma, entah ini kesempatan bagus bagimu, kamu cukup mengajar di daerah ini dan kamu mendapatkan gaji, aku bisa mengurus kenaikan gajinya nanti setelah kamu menerima pekerajan ini” tawarnya lagi, “Masih banyak kesempatan yang bisa kudapatkan Lani, dan apa maksudmu daerah? Kenaikan gaji? Apa jangan-jangan ini seperti yang aku bayangkan?” Lani selalu saja bertele-tele jika sudah bicara hal seperti ini, “Oke dengarkan, pamanku yang di desa Lembayong membutuhkan seorang pengajar di desanya, dan tak ada seorang pun yang menerima tawaran di sekolah itu. Aku mohon kamu mau mengajar di desa itu, aku janji akan mencarikan jalan agar kamu menerima gaji lebih dari pekerjaan ini, aku akan usahankan kemanapun untuk mengurusnya, ya?” aku benar-benar tercengang dengan apa yang Lani tawarkan, kenapa harus aku, apa hanya aku satu-satunya.

“Lembayong? Lani jaraknya 15 km lebih dari sini, itu terpencil, aku tahu desa itu. Aku tidak bisa, memakan waktu yang lama dalam perjalanan untuk pulang pergi. Maaf Lani aku tidak bisa. Lebih baik kamu cari orang lain saja. Masih banyak pelanggan yang harus aku layani, Lani” aku berlalu meninggalkan Lani, bisa kutebak, dia pasti kecewa. Kali ini aku tidak bisa menerima tawaran yang dia berikan, ini sama saja memberikan beban lebih besar padaku. Mendengar letak sekolah yang akan ditempati saja sudah terbayang bagiku betapa lama dan jauh jaraknya untuk sampai ke sana.

Langit yang cerah telah berubah menjadi oranye kemerahan, angin sore membelai lembut wajah dan rambutku, aroma roti yang baru saja dipanggang tercium saat aku melewati toko roti di samping cafeku. Hari ini cafe sengaja kututup lebih cepat dari biasanya, Malam nanti akan ada acara keluarga di rumahku. Pasti pekerajan lagi yang akan dibahas malam nanti, aku hanya perlu mengalihkan, kudongkakan kepalaku menatap langit, apa aku salah melangakah untuk memilih keputusan ini? pikiranku tidak dapat tenang setiap kali masalah ini datang. Dan ujung-ujungnya aku hanya akan menyalahkan diriku. Kupaksa seret kaki ini menuju rumah, inginku segera berbaring ditempat tidur dan menenggelamkan wajah mengilangkan segala pikiran yang berkecamuk.

Dari ruang tengah telah terdengar beberapa orang berbicara, dari suaranya dapat kudengar itu suara mama dan tante Riri. Benar saja, saat hendak masuk kamar tampak mama sedang asik bicara denga tante Riri, tidak jauh disitu, papa sedang duduk santai dengan koran di tangannya, Andi sepupuku yang baru saja lulus SMA duduk di sebelah papa sambil memainkan game di handphonenya. Aku segera berlalu masuk setelah menyapa mereka. “Alma sini dulu” terdengar dari luar kamar mama memanggilku, aku terlalu malas bolak balik keluar kamar. “Nanti aja ma, aku mau tidur sebentar saja” kuraih handphone dalam sling bagku, kusetel alarm jam 6, satu jam cukuplah untuk istirahat sebentar pikirku, kubenamkan kepala ke bantal sambil memejamkan mata.

Pukul enam lewat lima menit, alarm yang kusetel tadi membangunkanku. Segera kumatikan alarm, kulangkahkan kaki dengan gontai menuju kamar mandi. Selesai mandi, ku lihat ada pesan dari Lani, lagi-lagi tentang tawaran itu.

‘Alma, ayolah bukannya kamu memang menginginkan menjadi seorang guru? Ini kesempatanmu Alma, hanya kamu yang bisa menolong, apa salahnya bekerja di sana, hanya setahun kok, setelah itu aku tidak akan memintamu lagi, ya?’

Aku abaikan pesan Lani dan memilih untuk membaca novel yang dua hari lalu ku beli, tampaknya menarik. Hampir seperempat dari buku itu kubaca, benar saja, dari sinopsis yang kubaca dibelakang buku, ceritanya begitu menarik sampai-sampai aku lupa waktu. Tok… Tok… dari luar kamar terdengar seseorang mengetuk pintu kamarku. “Alma, mama masuk ya” kuiyakan dan muncul mama dari balik pintu “Kenapa ma?” tanyaku “Sekarang sudah jam berapa, yang lain sudah menunggu kamu dari tadi di luar, mama pikir kamu masih siap-siap” bergegas kurapikan rambut dan mengganti pakaian untuk segera keluar kamar, aku lupa kalau ada acara di rumah hari ini karena keasyikan membaca novel. Kalau saja mama tidak masuk, mungkin aku sudah tidur setelah membaca novel tadi.

Di ruang tengah telah dibentang karpet berukuran besar dan di tengahnya telah tersedia berbagai macam hidangan, di sekeliling hidangan duduk keluarga besar mama dan papa, malam ini adalah acara yang selalu diadakan keluarga besar mama, setiap tanggal 20 bulan Agustus mereka selalu berkumpul dan membicarakan berbagai hal hingga larut malam. Ini selalu mereka lakukan setiap tahunnya, kata mama untuk menjalin tali silaturahmi yang lebih erat antar keluarga.

Hidangan sudah hampir habis disantap malam ini, cukup banyak yang datang ke rumah tahun ini dibanding tahun lalu. Malam ini juga ada Rima sepupu yang seumuran denganku, tahun kemarin dia tidak bisa datang karena rumahnya jauh dari rumahku dan harus dua kali naik bus. Tahun ini dia datang karena dia juga baru saja bekerja di salah satu PT di kotaku.

“Apa kamu belum juga bekerja Alma?” lagi-lagi pertanyaan ini selalu saja mengusikku, “Untuk beberapa waktu ini aku memutuskan untuk mengelola cafe” tampak Rima mengangguk tanpa bertanya lebih jauh lagi, “Ah ya Rima, aku baru ingat, seminggu yang lalu kamu pergi ke desa Lembayong bukan?” aku ingat Rima bicara tentang desa itu di chatt kami beberapa waktu yang lalu “Ooo yang desa itu, iya kenapa?” apa aku tanya saja tentang sekolah itu? Apa salahnya, aku hanya ingin tahu pastinya bagaimana sekolah itu, hanya itu. “Apa benar ada sekolah di desa itu?” Rima tampak diam dan berpikir “Ah ya ya, ada kok, tapi di ujung desa, katanya mereka kekurangan pengajar disana, soalnya guru yang mengajar sebelumnya pindah, mereka butuh guru disana, apa kamu mau mengajar di situ?” dari apa yang Rima katakan benar sekolah itu butuh guru “Ah tidak aku hanya bertanya kok”

“Kalau mau mengajar, saranku jangan disana, terlalu jauh. Akan susah untuk pulang balik. Katanya gajinya juga tidak seberapa, sepertinya murid muridnya tidak terlalu banyak. Dibanding di sana, kamu lebih baik cari sekolah yang dapat menggaji kamu dengan pantas.” Aku agak terdiam dan hanya tersenyum mendengar apa yang Rima katakan.

Rutinitas pagi kembali aku lakukan, kulihat ruang tengah tampak sudah bersih sepertinya mbok Sari pagi-pagi sudah membersihkannya. Kuraih sepasang sepatu sneakers berwana coklat dari box sepatu, hari ini seperti biasa aku ke cafe. Seperti biasa jam delapan cafe sudah buka, dan beberapa karyawan cafe juga sudah datang dari tadi. Tring! Satu pesan masuk dari Lani

‘Alma, siang nanti aku akan ke cafe untuk bicara’
Aku tidak peduli, aku tetap dengan keputusanku, terlebih lagi kenapa Lani terlalu memaksaku untuk bekerja di sekolah itu toh, nantinya akan ada yang mau selain aku.

Siang itu Lani benar-benar datang dan memohon agar aku mau bekerja disana. Aku benar-benar tidak suka jika harus seperti ini. “Alma, ayolah, hanya kamu yang bisa menolong, sekolah itu akan tutup kalau tidakk ada yang mau mengajar disana, apa kamu tidak kasihan dengan mereka?” aku tidak tahu lagi harus berkata apa, “Jadi kamu mengorbankan aku agar sekolah itu bertahan, harusnya aku yang patut dikasihani nantinya Lani, bayangkan jam berapa aku harus bangun pagi untuk bisa tepat waktu datang ke sekolah itu, belum lagi nanti bensinnya kalau aku pakai motor, pulang pun pasti akan capek setelah mengajar. Gajipun pasti akan pas-pasan. Aku tidak bisa Lani” ku coba menolak dengan berbagai alasan. Lani terdiam dan menatap lama mataku “Aku hanya tidak tahu lagi memohon pada siapa, Alma. Aku tahu kalau aku egois Alma, tapi hanya kamu yang bisa menolong” aku benar-benar tidak habis pikir, kenapa Lani begitu kukuh memintaku untuk menjadi pengajar disana.

Siang itu Lani hanya pergi setelah membuat suasana hatiku tidak karuan dan lagi-lagi membuat hariku menjadi berat. Aku yakin besok Lani akan datang lagi, aku tidak tahu lagi alasan apa yang harus aku katakan padanya. Aku berharap hari ini tidak cepat berlalu dan tidak ada hari esok yang harus aku jalani. Hari ini kuputuskan untuk menutup cafe lebih lama dibanding hari biasanya, aku ingin di cafe untuk lebih lama, menyeruput segelas latte sembari memandang suasana kota di balik jendela kaca cafe sambil mendengarkan musik lo-fi yang kusetel. Dan setelah puas menenangkan diri dan juga latteku juga sudah habis, kuputuskan pulang beristirahat.

Sebelum pulang, aku teringat tawaran Lani, kucoba untuk mencari diinternet di cafe malam itu, apa yang begitu istimewa hingga Lani begitu bersikeras aku harus bekeja disana. Aku agak kesulitan awalnya untuk mencari info terkait sekolah itu. Tapi beberapa informasi yang kudapat tentang sekolah itu benar-benar tidak mengenakkan dan menginformasikan segala kekurangan dari sekolah tersebut. Saat aku akan menutup tab pencariaan, mataku langsung tertuju pada deretan kalimat yang membuatku benar-benar tidak bisa lagi berkata-kata.

Esok harinya, Lani benar-benar datang pada jam yang sama seperti kemarin, memastikanku untuk mengajar disana. Setelah apa yang aku temukan kemarin, aku tidak bisa lagi mentolerin sikap Lani padaku. Kubawakan segelas americano untuknya, tanpa basa-basi kukatakan segala alasan penolakanku, “Lani, aku tidak akan berbasa-basi lagi, dari awal aku ingin menenangkan diri, aku hanya akan mengelola cafe untuk sementara. Sebelum wisuda aku juga sudah pernah membahasnya padamu, aku tidak bisa menerima tawaranmu tentang pekerjaan itu. Aku sudah mencari tahu tentang sekolah itu, jaraknya cukup jauh dari sini, terpencil, tidak akan ada kemajuan di sana Lani, tidak ada guru, tidak ada fasilitas, tidak internet, bahkan mungkin murid yang akan diajar disana tidak akan seberapa, percuma Lani, sekolah itu juga akan hampir ditutup. Tidak ada masa depan bagiku disana. Dan lagi, aku tidak habis pikir denganmu, kamu menawariku pekerjaan ini hanya untuk keuntunganmu, berapa banyak uang yang akan kamu terima jika kamu berhasil membujukku untuk bekerja disana? Aku sudah tahu tentang itu, dan jangan mengelak. Ah ya… mengapa tidak kamu saja yang bekerja disana dan kamu bisa mencri seseorang yang bisa membantumu mendapatkan uang itu”

Kulihat wajah Lani seketika pucat mendengar apa yang aku katakan, kemudian dia tertunduk malu, “Maafkan aku Alma, aku memang egois, aku tidak tahu lagi harus memohon pada siapa, aku sedang butuh uang-“ kalimatnya terpotong, Lani hanya diam dan menatapku dengan rasa bersalah. “Maafkan aku, aku harusnya tidak seperti ini padamu Alma” Lani beranjak dari tempat duduknya, aku hanya diam tidak menatapnya, aku benar-benar kesal karena telah dimanfaatkan seperti ini.

Langkah kakinya terhenti saat hendak keluar dari cafe, dan berbalik kembali ke arahku, “Alma, aku tahu harusnya aku tak pantas berbicara seperti ini, tapi kamu tahu Alma, kata-kata ini aku kembalikan padamu, ‘bagi seorang yang benar-benar guru, tidak bisa mendang siapa yang akan diajar, berapa orang yang akan diajar, bagaimana keadaan tempat dia mengajar, layak atau tidaknya tempat dia mengajar, cukup tidaknya fasilitas yang disediakan, letak jauh atau dekatnya jarak tempat dia mengajar. Bagi seseorang yang benar-benar tulus menjadi seorang guru tidak akan mementingkan hal tersebut’ aku hanya mengembalika kata-katamu dua tahun yang lalu untuk menerima segala alasan yang kamu katakan padaku tadi. Kata-katamu dulu yang selalu teringat olehku yang membuatku yakin untuk menawarkanmu untuk mengajar di sana Alma. Tapi, kamu bahkan sudah berkata tidak sebelum tahu bagaimana keadaan disana. Maaf telah memberatkanmu Alma.” Kata-kata Lani membuatku seperti tertusuk beribu bilah pisau, aku terperangkap oleh kata-kataku sendiri.

Malamnya aku tidak bisa tidur mengingat apa yang Lani katakan padaku, kata-kata itu dulu pernah aku lontarkan karena banyak sekarang yang berpikiran bahwa tempat, fasilitas, murid dan gaji adalah segalanya. Padahal masih banyak sekolah yang berkekurangan yang membutuhkan pengajar yang harus mengajar murid murid yang membutuhkan pengajaran dari seorang guru. Dan bodohnya sekarang aku secara tidak langsung telah termasuk dari orang-orang seperti itu. Ah tidak, aku memang telah termasuk orang orang yang hanya mementingkan dirinya sendiri. Apa yang telah aku lakukan, kenapa aku bisa berpikir seperti itu. Malam itu aku tertidur dengan pikiranku yang berkecamuk. Aku tidak bisa lagi menarik kata-kata penolakanku, aku terlalu malu.

Dua hari berlalu sejak penolakanku pada tawaran Lani hari itu, Lani tidak lagi datang ke cafe dan aku bahkan sekarang merasa dilema atas apa telah terjadi. Kupandang keluar cafe, begitu ramai orang-orang berlalu lalang, mataku tiba-tiba tertuju pada beberapa anak sekolah yang baru saja pulang dari sekolah. Pakaian seragam dimasukan ke dalam celana atau rok sekolah dengan rapi, dasi yang dipasang dileher, topi yang menutupi kepala, sepatu hitam bersih dengan kaos kaki putih, dan juga mengenakan tas besar berisi buku-buku pelajaran disekolah hari itu, ciri khas anak sekolah. Aku tertegun, tidak semua anak yang bersekolah akan mengenakan pakaian seperti itu, hanya anak-anak yang memiliki orang tua yang mampu membelikan segala hal yang dibutuhkan anak-anaknya. Lalu anak-anak yang tidak bekecukupan tidak akan merasakan hal yang sama seperti anak-anak yang lain. Tapi mereka yang seperti itu memiliki semangat paling tinggi untuk memperoleh pendidikan. Aku juga termasuk anak-anak yang dulunya juga berasal dari keluarga yang berkekurangan, hanya saja beberapa tahun kemudian, keberuntungan datang pada keluarga kami.

Sepulang bekerja dari cafe, diperjalanan ke rumah aku melewati toko alat tulis, tanpa sengaja, mataku tertuju pada poster seorang wanita yang siapapun pasti tahu saat melihat fotonya. Hatiku begitu sesak mengingat apa yang telah aku impi-impikan sejak dulu. Poster yang tegantung didepan toko alat tulis itu mengingatkanku saat aku mulai memimpikan impianku.

Kelas tiga SD, saat itu perekonomian keluargaku masih dalam keadaan yang buruk. Hari itu aku masih ingat, saat itu pelajaran IPS di sekolah, guru yang mengajar IPS tersebut meminta kami untuk membuat sebuah karangan yang menjadi inspirasimu atas mimpi yang ingin digapai, karangan itu dikumpul besok harinya. Di rumah aku bertanya pada mama, siapa yang sebaiknya patut aku jadikan sebagai inspirasi atas impianku, mama hanya tersenyum dan menjawab “Kamu harus tahu dulu apa yang ingin kamu gapai, apa cita-cita yang kamu ingin raih” aku hanya mengangguk dan kembali ke kamarku dengan kecewa, aku bahkan tidak tahu harus bercita-cita sebagai apa. Kubolak balik buku pelajaranku, berharap ada jawaban yang bisa kudapat.

Tiba-tiba aku teringat cerita guruku tentang salah satu pahlawan kemerdekaan Indonesia, salah satu pahlawan yang memperjuangkan pendidikan dan martabat kaum perempuan, R.A. Kartini. Jasanya yang begitu besar memperjuangkan pendidikan masih dikenang hingga akhir hayatnya. Aku begitu kagum dan bangga mendengar cerita tentang pahlawan tersebut. Hari itu aku bertekad akan menjadi seperti dia, aku bercita-cita menjadi seorang guru dan akan mengispirasi siapapun seperti R.A. Kartini, walaupun hanya sebagain kecil dibandingkan perjuangannya, tapi menjadi seorang guru adalah cita-cita yang mulia.

Ingatan masa kecilku yang begitu bersemangat memimpikan cita-cita yang cepat-cepat inginku raih. Aku sungguh malu atas diriku, apa lagi yang harus aku tunggu cita-cita dan impian yang aku inginkan sudah menanti. Belum ada kata terlambat, kupercepat langkahku untuk segera sampai rumah, kubersihkan diri. Aku tidak peduli lagi. Inilah yang aku harapkan, bukan waktunya untuk istirahat sejenak. Anak-anak yang butuh pendidkan dan ilmu, mereka juga butuh seorang guru. “Hallo, Lani… Apakah masih ada kesempatan kedua?” senyum lega tak bisa kupungkiri lagi.

Janjiku atas apa yang telah aku capai dan raih hingga hari ini sampai kedepannya bahwa, ‘menjadi seorang guru bukan sekedar tentang memberi dan menerima, menjadi seorang guru adalah tentang cita-cita dan harapan, menjadi seorang guru adalah tentang cinta dan perasaan, dan menjadi seorang guru adalah tentang keteladanan.’

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *