Bersahabat Wardah
Oleh: Gisti Kartika
“Bagaimana kalo Nyiura saja!”
Begitu Mama memberi usul namaku di depan Papa yang tengah menggendongku, saat masih berusia lima bulan, 17 tahun yang lalu. Kata Mama, “Nyiura” diambil dari kata nyiur kelapa, juga karena tinggal di daerah pesisir pantai. Walau Papa sempat menolak usul mama perihal namaku, pada akhirnya papa setuju juga. Nama Nyiura kian lekat denganku hingga aku SMA. Awalnya, aku tidak percaya diri dengan namaku sendiri, karena kebanyakan dari teman-temanku memperoloknya. Namun, ada juga di antara teman-temanku yang menyukai nama itu. Lebih tepatnya satu orang teman, yang sekaligus merangkak menjadi sahabat. Sahabat yang jalinannya, bak rantai yang tak dapat dipisahkan.
“Nyiura!! Ah, kamu terlalu cepat, nih,”
Wardah. Keringat paginya membanjiri seragam SMA yang dikenakannya. Sesekali ia mengelap dengan tangan peluh yang merembes di keningnya. Sembari mengayuh sepeda bersama ke sekolah, waktu seolah melambat saat itu. Benar. Dia adalah Wardah, sahabatku.
“Kamu tahu, Nyiur selalu bergerak dengan cepat dan luwes,”
“Dan kamu tahu, Wardah selalu memesona dan memberi warna pada hari-hari yang kusut,” ucap Wardah sembari menambah kecepatan sepedanya hingga berlalu mendahuluiku.
Aku tergelak mendengar penuturannya. Ia selalu tahu membalas kata-kataku. Begitulah adanya Wardah. Sekadar humor pagi yang garing. Namun kenyataannya, aku sungguh merindukan humor itu lagi. Dari kejauhan kulihat punggungnya yang semakin menjauh. Kutambah juga kecepatan sepedaku untuk menyusulnya.
Aku tinggal di tepi Sungai Yangtze, di dekat sumbernya,
Sementara kau tinggal lebih jauh di tepiannya juga.
Kau dan aku minum air dari aliran yang sama,
Aku belum melihatmu meski setiap hari aku memimpikanmu . …
Dengan penuh khidmat, kusimak pembacaan puisi Wardah. Ia membacakan sebuah puisi persahabatan yang ada dalam novel Pearl of China karya Anchee Min, kesukaannya. Saking ia begitu suka, hingga aku bosan melihatnya yang terus-menerus merampungkan untuk membaca novel itu. Sesekali Wardah melirik ke arahku ketika membaca puisi itu. Memastikan bahwa aku masih di sana menyimak dengan fokus. Memang kenyataannya, aku masih menyimak dengan fokus. Meski aku sudah hafal betul puisi itu.
Tak seorang pun yang tahu betapa Wardah adalah bagian dari hidupku yang cemerlang. Ya, kecuali ibuku. Kerendahan hati, setia mendampingi, kepolosan berteman, dan kebaikan jiwanya adalah hal-hal yang membuatku ingin selalu menjadi sahabatnya, yang mengantarkanku ke perguruan tinggi, wisuda, bahkan pernikahan, selain ibu dan ayahku. Namun, tak kusangka rencana Tuhan lebih pedih. Atau bahkan lebih indah. Dan, Wardah pergi untuk selamanya meninggalkan aku dengan harapanku yang masih mengambang.
***