CerpenSastra Kita

Dandelion

Penulis: Annesa

Editor: Alvin Hanevi

Hari itu, anak laki-laki itu datang mengetuk pintu rumahku, “Main yuk, ke tempat biasa?” tempat yang dia maksud adalah padang rumput luas yang letaknya tidak begitu jauh dari tempat kami tinggal, aku bingung kenapa dia ingin bermain pada pagi hari. “Nanti sore saja, lagi pula sekarang aku malas untuk ke sana, panas” ujarku, dia hanya diam dan terus menatapku, kemudian berkata “Tidak ada waktu lagi” aku tidak mengerti apa yang dia katakan, aku merasa dia aneh hari itu. Akhirnya kuiyakan saja ajakannya.

Kami menyusuri jalan kecil untuk kesana. Sepanjang jalan aku hanya menatap punggung anak laki-laki itu, bau harum shampoo yang begitu segar tercium olehku saat rambutnya ditiup lembut angin hari itu. Anak laki-laki itu sepanjang jalan hanya diam dan memunggungiku hingga sampai ke tempat yang kami tuju. Tidak seperti biasanya yang selalu setiap hari bercerita dan tertawa, berjalan berdampingan dengan bahagia. Tapi hari itu dia seperti orang lain, aku bahkan merasa berjalan dengan orang asing.

Sampai di padang rumput, kurebahkan diri menatap langit cerah berawan. Di sampingku, anak laki-laki itu hanya diam dan menatapku. “Kenapa?” tanyaku, pertanyaanku hanya dibalas gelengan dan kemudian tersenyum tipis sambil menatap langit, namun kembali tertunduk. Apa yang sebenarnya terjadi padanya? Apa yang dia pikirkan? Apakah dia punya masalah? Apakah dia baik-baik saja? Bagaimana aku bisa mengembalikan lagi senyum sahabatku ini? Berbagai pertanyaan muncul dikepalaku, namun tidak satupun yang kukatakan.

Kubangkit dari tempatku sambil menarik tangannya agar dia juga bangkit. Tanpa kulepas tangan anak laki-laki itu, dengan cepat kuberlari sambil tertawa berharap sedikit senyum ataupun tawa tampak diraut wajahnya. Apa yang aku lakukan berhasil, senyum tipis tampak pada wajahnya. Tapi kemudian dia kembali murung dan duduk menatapku. Kuberanikan bertanya padanya “Apa yang terjadi? Kamu begitu aneh hari ini, bukan seperti dirimu yang biasanya. Kalau kamu ada masalah bukankah aku ada yang akan selalu mendengar, walaupun aku tidak tahu bagaimana menyelesaikan masalahmu.” yang diajak berbicara hanya diam dan lagi-lagi menatapku. Sudah berapa lama kami berteman, tapi sisi dirinya hari itu adalah hal yang pertama dan terakhir kali dia perlihatkan.

Aku tidak yakin berapa lama kami hanya diam dan duduk menatap langit yang kemudian sore datang tanpa kami sadari. Dengan pemikiran yang masih begitu pendek pada usia yang masih kecil, aku berusaha agar dia, sahabat yang begitu berharga bagiku kembali tersenyum dan tertawa seperti biasanya. Kususuri padang rumput yang luas itu berharap mendapatkan sesuatu yang dapat menenangkan hatinya. Aku bahkan tidak tahu apa yang kucari dan hanya berpikir anak laki-laki itu harus tersenyum dengan lebar.

Mataku menangkap sesuatu yang begitu menarik, dengan cepat kudekati dan kuperhatikan. Sebuah bunga mungil dengan bentuk yang menarik. Tidak seperti bunga pada umumnya memiliki kelopak yang begitu jelas, namun bunga ini berbentuk seperti lolipop. Kepala bunga bulat putih yang tampak seperti kapas dan memiliki tangkai yang mungil tidak terlalu panjang. Dengan semangat kupanggil anak laki-laki itu dengan penemuan yang menarik yang belum pernah kami temukan sebelumnya. Tidak ada balasan darinya, kulihat dia tampak termenung menatap ke bawah. Tanpa berpikir panjang, kupetik bunga mungil itu dan berlari dengan bahagia ke arahnya.

“Lihat, aku baru saja mendapati sesuatu yang menarik” kusodorkan tanganku ke depan wajahnya, betapa kagetnya aku, bagian kepala bunga yang seperti kapas itu telah hilang. Tampaknya beterbangan saat aku berlari. Anak laki-laki tidak merespon apapun. Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi, bunga yang kudapati hanya satu dan aku mengacaukannya. Anak laki-laki itu kemudian memegang ke dua pundakku sambil menangis. “Apa karena aku menghancurkan bunganya? Maafkan aku” aku bingung sekaligus merasa bersalah, “Tidak, maafkan aku, sangat berat untuk mengatakannya, tapi kamu perlu tahu. Aku akan pergi hari ini, aku akan pindah bersama keluargaku. Aku tidak tahu kemana kami akan pindah tapi yang pasti jauh dari sini. Maafkan aku telah mengingkari janji. Aku tidak bisa menepati janjiku untuk selalu bersamamu” aku hanya diam tidak berkata maupun menatap wajahnya.

Anak laki-laki itu tidak berhenti menangis, dia memelukku dengan erat hari itu. Tidak satu patah katapun yang terucap oleh mulutku. Tangkai bunga yang temukan hari itu masih kupegang erat hingga anak laki-laki itu melepaskan pelukannya dan pergi menjauh dan sosoknya tidak lagi tampak diujung jalan yang dilalui. Aku terduduk menahan rasa sakit di dada yang tiba-tiba. Air mataku berlinang mengenang apa yang telah terjadi. “Jika saja aku tahu bahwa kelopaknya rapuh dan membawanya dengan hati-hati dan tidak terburu-buru tanpa aku harus berlari, apakah aku akan melihat senyum diwajahnya? Akankah dia tetap pergi?” Aku terisak dan menatap tangkai bunga itu.

Anak laki-laki itu pergi dengan tiba-tiba, aku bahkan tidak sempat mengucapkan selamat tinggal dan bahkan aku tidak berkata apapun. Aku masih belum percaya apa yang telah terjadi. Sosok sahabat yang selama ini aku pikir akan selalu ada di sampingku kapanpun di mana pun dan dengan waktu singkat dia pergi. Untuk pertama kalinya aku tahu bagaimana rasanya kehilangan, bagaikan bunga Dandelion yang beterbangan dibawa angin pada hari itu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *