Bulan Dzulhijjah Bulan Perkawinan
Oleh: Iga Kurniawan
Pada dasarnya manusia merupakan makhluk yang memilki fitrah untuk selalu berkembang biak layaknya makhluk hidup lainnya. Hal ini disebabkan oleh dorongan syahwat atau ketertarikan mereka pada lawan jenis yang berujung pada aktifitas seksual. Agar tidak sama dengan binatang, aktifitas seksual manusia harus terlebih dahulu diikat dengan sebuah ikatan bernama perkawinan.
Dalam Islam, teknis perkawinan sangat sederhana. Hanya membutuhkan mahar, saksi dan restu dari wali. Tidak perlu ada perangkat mewah seperti resepsi mewah, lamaran mahal dan upacara yang rumit hingga menghabiskan banyak dana. Jika wali sudah menyerahkan anak perempuannya pada calon suami dengan akad perkawinan dan dengan mas kawin tertentu, sedangkan calon suami menerimanya, maka perkawinan itu sah. Hubungan mereka pun halal seutuhnya.
Kesederhanaan perkawinan itu akhirnya mengalami intervensi budaya, terutama budaya Jawa, sehingga memunculkan berbagai aturan yang harus dipenuhi. Hingga salah satu persoalan mendasar adalah waktu pelaksanaan perkawinan. Salah satunya bulan.
Dalam tradisi Jawa ada bulan tertentu yang diperbolehkan untuk melangsungkan perkawinan dan berbagai pesta lainnya, ada pula yang tidak. Beberapa bulan justru dilarang. Salah satu bulan anjuran melangsungkan perkawinan adalah bulan Dzulhijjah (Jawa: Besar).
Bulan Dzulhijjah atau Besar diyakini sebagai bulan yang baik melangsungkan perkawinan. Adanya bulan baik dan bulan tidak baik untuk perkawinan didasarkan pada kemampuan orang Jawa kuno merespon, mengenali dan menilai gejala alam yang muncul dalam tiap-tiap bulan tersebut. Dalam pengamatan mereka tiap-tiap bulan memiliki gejala masing-masing.
Gejala alam yang berlangsung lama dan berulang-ulang itu kemudian direkam dan dicatat. Karena gejala tersebut berlangsung tetap dan memunculkan fenomena yang sama, maka disimpulkan bahwa setiap perbuatan yang dilangsungkan pada waktu dan situasi yang sama akan menghasilkan akibat yang sama pula. Inilah yang disebut oleh orang Jawa sebagai “ilmu titen”, yakni sebuah ilmu yang didasarkan pada kejadian yang sama secara berulang-ulang. Kemudian ilmu titen itu dirumuskan dalam angka-angka yang disebut “primbon”.
Dengan demikian primbon merupakan rumusan angka yang didasarkan pada pengalaman orang-orang terdahulu yang terjadi secara berulang-ulang, sehingga dijadikan pedoman pada.hampirseluruh seremonial masyarakat.
Meskipun demikian, ada beberapa hari pantangan untuk melangsungkan perkawinan dan seremoni lainnya di bulan Dzulhijjah. Dalam bukunya, seorang pakar primbon Jawa bernama Mama Flo mengatakan bahwa hari Senin dan Selasa bulan Dzulhijjah tidak baik melangsungkan perkawinan. Hari sangar atau angker adalah hari Sabtu dan Minggu, hari sial adalah selasalegi, tanggal tidak baik adalah 25, tanggal nahas adalah 6 dan 10, sementara tanggal bangas padewan adalah 6 dan 20.
Pandangan Islam tentang Primbon
Primbon yang digunakan oleh masyarakat Jawa sesungguhnya merupakan upaya untuk mencegah hal-hal buruk yang hendak terjadi. Proses perumusan primbon selayaknya proses perumusan kode-kode ilmu lainnya. Dalam dunia sains, misalnya kita mengenal adanya mendung yang menjadi tanda turunnya hujan, asap keluar dari kawah gunung menjadi gejala meletusnya gunung tersebut, dan lain sebagainya. Meskipun mendung tidak selalu berakhir dengan hujan dan asap tidak selalu berakhir dengan letusan.
Begitu juga primbon. Pengalaman yang dikumpulkan oleh masyarakat Jawa kuno hingga mereka merumuskan pengalaman mereka dalam angka-angka yang digunakan untuk memprediksi kejadian mendatang hanya sebatas perkiraan yang tidak selamanya terjadi. Semua itu hanya upaya antisipatif manusia merespon alam. Bukan upaya mendahului kehendak Tuhan.
Jika sains diakui oleh Islam sebagai upaya kreasi akal manusia, maka primbon seharusnya juga diakui sebagai hasil kreasi manusia. Justru primbon lah yang seharusnya diapresiasi tinggi sebab dengan alat dan perkembangan ilmu yang masih terbatas, masyarakat Jawa berhasil merumuskan prediksi alam yang begitu kompleks.
Apabila ditarik lebih dalam, rumusan perhitungan primbon oleh masyarakat Jawa sesungguhnya merupakan wujud refleksi nyata dari surat Al ‘Alaq ayat 1, yakni perintah Tuhan untuk membaca, termasuk membaca gejala-gejala alam. Dengan demikian primbon yang digunakan sebagai pedoman prediksi kejadian akan datang adalah bagian dari luasnya cakupan Islam.