CerbungFEATUREDSastra Kita

Kami (bukan) Tinta Berdasi (Part#2)

Oleh: Martha Syaflina el-Kutuby

Jejak Petaka Awal

“Selamat kepada Tuan Rafles telah terpilih menjadi Pimpinan Redaksi Media Millenial Indonesia.”

Suara pembawa acara di balik mikrofon terdengar menggelegar. Rafles menuju pelataran panggung yang sudah dihiasi berbagai pernak-pernik pesta. Kali itu, dia akan memimpin media terbesar di Indonesia. Mulai dari sinilah misinya akan bercerita.

Panggung megah itu bergema. Sorak-sorai tamu undangan terdengar bahagia. Para pejabat dan juga politikus ikut hadir dengan undangan khusus dari Rafles. Pembawa acara mundur ke belakang, lalu mempersilahkan Rafles untuk menyampaikan beberapa kalimat sambutannya.

Mikrofon kecil di hadapannya terlihat sedikit cuek. Agaknya, dia malas melayani suara Rafles. Tapi, apa boleh buat. Kali ini Rafles harus tetap memakainya. Sunggingan manis di bibir Rafles memecahkan seisi ruangan. Dia melirik ke kiri dan ke kanan tanda penghormatan kepada tamu.

Setelan jas abu-abu dan sepatu hitam membuatnya berwibawa. Hingga dia lupa kemarin baru saja terjadi cerita hangat di rumahnya bersama anaknya. Tanpa menghiraukan siapa pun, Rafles memberikan sambutannya.

“Terima kasih kepada para tamu undangan dan juga Pimpinan Umum Media Millenial Indonesia. Semoga saya bisa mengelola media ini dengan baik dan sukses.”

Sambutan Rafles dibalas dengan tepuk tangan yang meriah dari para koleganya. Ada sesuatu yang tersembunyi di balik senyuman bibirnya. Sudah sejak tadi, dia hanya mendehem dan melanjutkan sambutannya. Satu orang yang dia pandangi dari tadi tetap membuatnya gusar.

***

“Bagaimana Pak Rafles?” tanya seorang sahabatnya, Andri.

“Wah. Ini bisa kita bicarakan nanti, Pak. Saya akan dukung ide Bapak.”

Rafles berusaha berbicara seformal mungkin di hadapan sekelompok orang yang mendukungnya. Dia menampakkan dirinya dalam wibawa. Raut wajahnya mengisyaratkan untuk diam kepada Andri. Biar pun Andri terus mempertanyakan hal itu.

Ruangan berubah menjadi senyap seketika. Hanya beberapa rokok yang terus dihisap Rafles dan Andri. Koleganya yang lain masih menunggu ocehan lanjutan dari Rafles. Tetap saja dia diam. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.

Kepulan asap rokok itu sudah membubung tinggi. Dia masih memandangi wajah-wajah koleganya dengan tatapan tajam. Dari sudut matanya, dia sudah menandai siapa saja yang akan menjadi kolega eratnya nanti.

Sejenak Rafles meletakkan rokoknya di atas asbak rokok. Dia mendekatkan mulutnya ke telinga Andri. Seolah-olah memberikan arahan. Tak lama kemudian, Andri bergegas ke belakang menuju taman gedung pesta itu.

“Sudah kubilang, nanti saja dibicarakan. Bagaimana jika mereka tahu?”

“Tenang saja, Bro! Ini akan menjadi api yang akan memanaskan wajan.”

“Maksudmu?”

“Kau pasti tahu, setelah ini akan terjadi apa.”

Andri lalu meninggalkan Rafles dan tersenyum sinis. Sudah dua puluh tahun dia bersahabat dengan Rafles. Tetap saja Rafles seperti saat ini. Niatnya selalu dikucilkan Rafles. Anehnya, Andri masih mau mendekati Rafles demi kepentingannya di masa depan.

***

Rafles berpikir sejenak. Kursi putarnya berderik karena kecemasannya. Ada sesuatu yang perlu dia hubungi setelah mendengar Andri. Namun, tangannya tak bisa bergerak. Ada yang menahannya. Dia tak tahu. Tetap saja matanya memandangi ponsel itu.

Andri semakin jauh meninggalkannya. Punggungnya menyiratkan sebuah kata-kata tajam. Ada maksud lain dari Andri kali ini. Rafles hanya tidak memahami saja. Setelah kemarin dia senang menerima uluran tangan Andri. Kemenangannya meninggalkan jejak luka di hatinya.

“Lihat saja nanti. Aku bukan kacungan yang bisa kau olah,” batin Rafles.

Rafles meraih kembali ponselnya di meja. Lalu, mengetik sebuah nama dan menelponnya.

“Tunggu saja setelah ini. Saya akan urus sampai selesai.”

Sekejap Rafles mematikan ponselnya dan menyandarkan kepalanya di kursi pimpinan itu. Siang semakin berlalu. Hatinya juga semakin tak karuan. Dia mencoba tenang hingga semuanya berjalan lancar.

***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *