CerpenFEATUREDSastra Kita

Malam Dua Puluh Tujuh

Oleh: Silvha Darmayani

Datang lagi, angin malam ini sama seperti tahun kemarin, membisik semilirnya menyentuhku. Langit-langit malam tak berbintang, polos seperti  wajahnya. Wajah seseorang  yang masih hangat kuingat. Masih kutunggui. Tetap kutunggu walau semilir angin  itu mengubah intensitas pergerakan menuju masa lalu. Merambat dengan kecepatan 100 meter per detik.  Merenggut rapuhnya tumbuhan yang layu di hatiku.  Malam ikut terombang kuat, merontokkan dedaun yang lepas dari ranting  terbawa angin. Berserak. Sama seperti lilinku malam itu. Dua puluh tujuh, satu tahun lalu.

***

“Jadi malam ini kita main lilin, Mariah? Aku tak sabar ingin bermain api, mumpung tungku Amak masih menyala baranya,” kata Gadih berjalan membawa lilin yang berjumlah dua puluh tujuh.

“Gadih?” Dia datang. Kawanku

Dia Gadih, perempuan elok dan cantik, berbeda denganku. Namun, Gadih tak peduli. Aku dan Gadih tetap berkawan, eski sering Gadih dihasut kawannya untuk menjauh. Ia tidak peduli. Gadih sering pergi ke rumahku. Aku tinggal bersama Amak dan Ayah, meski takada lampu listrik, petromaks lebih disukai Gadih.

Memang aku tahu, Gadih anak orang elite, kedua orang tuanya adalah pegawai kantoran, rumah Gadih bak istana di tengah perkampunganku. Mereka sudah acap kali berencana pindah, tetapi Gadih tidak mau.

Gadih adalah kawan yang baik. Dia tak pernah menunjukkan kelebihannya, dia justru senang memujiku yang jauh di bawah dia. Sepulang mengaji di sore hari, dia main ke rumah, lalu kami pergi ke pinggiran laut mencari kerang di balik bebatuan, atau melihat perahu-perahu yang kembali ditambatkan ke limbung. Menilik matahari yang akan berpulang ke barat. Tenggelam di kaki langit, berwarna jingga keemasan. Itu saat yang menyenangkan. Menyenangkan sekali.

Aku masih ingat hari itu. Malam takbiran dua tahun lalu, aku dan Gadih mengambil bambu tua, kemudian memotongnya, tak terlalu besar untuk anak seumuran kami. Tungku Amak menyala, itu yang paling disenangi Gadih mengambil bara Amak untuk bermain masak-masakan. Namun saat itu, kami membuat obor, dari sisa bara batok kelapa di tungku Amak.

Aku dan Gadih berjalan mengikuti kawan-kawan mengaji. Menjajaki pesisir pantai sembari melafalkan takbir yang bergema. Itu tradisi bagi kami sederhana memang, tak mewah layaknya kebayakan orang. Namun, itu sangat berarti untuk anak pesisir pantai sepertiku, berkumpul di malam takbir, mendengar lantunan kebesaran nama Tuhan dilafaz berulang-ulang, ditambah sepoian angin lembut bermain dengan ombak yang berdebur. Malam itu awan tampak gelap, takada sedikitpun cahaya dari langit. Gemuruh menggerogoti, hingga aku sadar, hujan mengarah pada kami. Satu per satu obor rombongan anak mengaji padam ditiup angin. Dan giliranku, hujannya semakin lebat, membuat kami basah kuyub, tak terkecuali Gadih, dia takbisa kena lenting hujan. Gadih mudah sakit.

Selang beberapa menit, dua orang berpayung datang menuju kami yang berada di gelanggang tempat berteduh. Mama dan Papa Gadih menjemput. Gadih tampak pucat, tersirat jelas di bibirnya. Tubuhnya ringkih, gemeletuk tak henti.

“Gadih sayang, kenapa kau, Nak? Risau Mama dengan Papa sedari tadi di rumah memikirkan Gadih. Sudah Mama katakan, tidak usah ikut. Benar dugaan Mamam,” Mama Gadih kalut.

“Tidak usah ribut, Manah. Sebaiknya kita bawa Gadih segera ke bidan,” pungkas Papa Gadih menenangkan.

Mama dan Papa Gadih memang baik, termasuk kepadaku, Amak dan Ayah. Aku mengikuti mereka dari belakang, Gadih digendong papanya, dia dibawa ke puskesmas yang berjarak 100 meter dari rumahku. Sedari tadi Gadih hanya diam lemah. Aku takut dia kenapa-napa. Aku merasa bersalah, mengajak Gadih ikut pawai obor, dan membiarkan Gadih terkena hujan. Apa orang tuanya akan marah kepadaku setelah itu? Apa aku akan dijauhkan dari Gadih, kawanku?

Iya, benar.

Malam itu, Mama Gadih mengantarku pulang ke rumah beranjung, cahaya petromaks bertelau-telau, menimpa sudut-sudut rumah yang kelam. “Assalamualaikum.”

“Waalaikum salam.” Amak keluar, aku dan mamanya Gadih berdiri di bawah, menunggu Amak membuka pintu, menyilakan kami masuk. Di lapik pandan, dengan petromaks di tengahnya. Di atas talam ada ketupat, sudah matang, ditawarkan Amak kepada mamanya Gadih. Ayah sedang merajut jala, ada beberapa yang terputus pilinannya. Karena pagi-pagi Ayah sudah harus pergi melaut, jadi harus dirampungkan cepat. Amak berbicara dengan mama Gadih, aku tidak mendengar perbincangan keduanya. Amak menyuruhku masuk, aku berdiri mematung sesaat mama Gadih berpamitan pulang, wajahnya murung. Apa yang mereka bicarakan?

 Aku terdiam, mematik jendela kayu menatap ke arah laut malam. Jelas sekali bentuknya dari jendela kayu yang terbuka. Desau angin menjamah telak di wajahku, menggerakkan rambut, kemudian kusisipkan ke belakang telinga. Segar sekali malam itu. Menghirup aroma malam, menyelisik arah mataku memandang perahu-perahu di limbung sambil mencenungkan diri. Seseorang membuatku sedikit terkesiap, Amak rupanya, berjalan ke arahku, lalu duduk di atas anjungan yang bersebelahan denganku.

“Lihatlah, Nak. Laut dan langit itu. Bagaimana menurutmu?” Amak bertanya, matanya menilik kemilau  malam menimpa ombak yang meriak ke tepi.

Aku melihat wajah Amak, yang disinari siluet malam yang indah. Meski wajah itu mulai menggurat jelas kerutan di sana, tetapi jiwa keibuan Amak tetap ada. Sama, tak pernah berubah.

“Indah, Mak. Laut dan langit tampak terpaut, menyatu,” Mata Amak sayu, memahami pelan jawabanku.

Kembali Amak berkata dengan duduk kaki yang bersimpuh, “Benar, Nak. Kau benar sekali Mariah. Bagi Amak, bagi Ayah, dan bagimu, laut dan langit tampak terpaut. Begitulah pandangan kita pada dasar yang kita lihat, tapi kenyataannya tidak bagi orang di atas kita, Nak. Laut dan langit tidaklah terpaut. Samar-samar. Takkan pernah sebanding. Jauh sekali. Laut di bawah, langit jauh di atas, seperti apa pun cara kita melihat, Nak. Takkan pernah sepadan dengan mereka. Pahami itu Mariah,”

“Besok, kau tak usah bermain dengan Gadih, biarkan dia istirahat. Doakan saja dia lekas baik. Kau juga tak perlu menemui Gadih, karena Gadih akan pergi, Nak. Gadih akan pergi ke kota.”

Aku hanya diam mematung mencerna apa yang Amak katakan. “Gadih pindah ke kota?” Tidak! Kenapa Gadih pergi? Kenapa hidupku begini? apa aku salah dilahirkan? Kenapa aku tak seperti anak-anak sebayaku? Bisa merasakan sekolah? Tidak menjadi penjual ikan hasil tangkapan nelayan di pagi hari. Siang saja aku pergi mengaji, malam aku harus membantu Ayah merajut jala, apabila ada yang rusak. Hanya satu hal yang berarti, menanti dia datang, Gadih membawa buku pelajaran, diajarkannya padaku. Gadih berlagak seperti guru, tapi aku senang, dia mengajariku bagaimana cara membaca dan menulis. Dia adalah kawan terbaik. Namun, hal itu harus berakhir, karena sepertinya aku tak lagi bisa meneruskan bacaanku, atau menulis yang menjadi hobi menyenangkan. Gadih akan segera pergi, jauh kata mamanya, ke kota. Meninggalkanku sendirian. Aku harus apa? Aku hanya anak pesisir pantai, anak nelayan miskin, yang tak bersekolah dan tak punya teman.

Gadih telah sembuh, dua hari setelah itu ia pergi. Tak sempat melihatku, tak sempat mengatakan selamat tinggal. Aku meramu hari-hari baru, lebaran tanpa apa pun, hidupku sebatas memandang laut. Menjajakan ikan hasil tangkapan Ayah, kemudian dijual di pasar. Terus-menerus seperti itu, hingga datang bulan Ramadhan tahun berikutnya. Itu adalah malam yang ke-dua puluh tujuh. Malamnya indah, meski takada bintang, malam bersih, gelap gulita. Gelanggang depan dipenuhi anak-anak sebayaku bermain lilin, kembang api. Gelak tawa terdengar menghampir kepadaku. Andai aku punya lilin. Paling tidak, seseorang itu jauh lebih indah cahayanya daripada cahaya lilin.

“Jadi malam ini kita main lilin Mariah? Aku tak sabar ingin bermain api mumpung tungku Amak masih menyala baranya,” kata Gadih berjalan membawa lilin yang berjumlah dua puluh tujuh.

“Gadih?” Dia datang, kawanku datang. Malamku tak lagi temaram hari itu. Aku punya lilin, dua puluh tujuh buah, bilangan yang indah. Pemberian dari kawanku. Api cahaya lilin itu menyala tiba-tiba. Aku heran. Sejak kapan Gadih bisa menjadi tukang sulap, ia melempar tawa padaku. Kami menghadapkan wajah pada cahaya lilin, Gadih meraih tanganku membawa ke perkumpulan anak-anak pesisir bermain lilin malam dua puluh tujuh. Bahagia sekali, sungguh. Kali ini aku tak merasa diasingkan oleh siapa pun. Aku pun juga tidak kesepian, kami bermain lilin dan kembang api menikmati malam dengan semilir angin yang sejuk. Lambaian daun kelapa turut merasakan hatiku. “Gadih, ja—” Gadih tersenyum lalu merengkuhku. Kalau saja gemuruh tak bergelegar waktu itu, mungkin sudah kukatakan.

Aku tak mau lagi dia kehujanan, biar aku. Aku takingin kawanku sakit, biar aku. Aku takingin Gadih pergi lagi, hanya itu. Aku ingin Gadih tetap di sini bersamaku.

Pintu rumah anjung itu terbuka separuh, pertanda ada tamu di dalam. Aku melangkah, Gadih tidak. Dia tidak mau. “Masuklah Mariah, aku di luar saja,” Gadih bersikeras di luar. Aku bahkan memaksa Gadih, agar tidak kehujanan lagi. Namun, dia tetap mengatakan tidak.

“Aku tinggal sebentar,” Aku masuk, ternyata mama dan papanya Gadih yang di dalam. Wajah keduanya memang teduh, dan tenang seperti dulu., Tapi entah mengapa ia memeluk, aku dipeluk. Ada apa?

 “Apa kabar Mariah? Lama kami tak kemari, Mariah sehat?” Mama Gadih menatapku, ada linang yang tertumpuk. Aku memperhatikan itu. Ada apa?

“Sehat, Mama. Sudah lama Mama, Papa, dan Gadih tidak datang ke pesisir pantai. Tapi Mariah senang, akhirnya semua kembali seperti dulu, Mariah senang bisa jumpa lagi dengan  Gadih.” Raut wajah cerah mengatakan itu

“Nak, sini,” Amak menepuk pelan lantai kayu, menyuruhku duduk di sebelahnya.

“Gadih masih di luar. Kenapa dibiarkan begitu saja, nanti dia sakit.” Semua terpegun diam mendengarkan ucapanku. “Apa yang terjadi? Gadih menunggu di luar, dia tidak mau masuk.”

“Mariah, kau harus tahu, Gadih telah pergi, Nak. Dia sudah pergi satu tahun yang lalu,” Amak berkata itu padaku.

“Pergi? Tidak! Gadih di sini, dia sudah kembali,” Aku tidak percaya.

 “Gadih sudah pergi, Mariah. Dia tidak lagi ke pesisir pantai, tidak kembali kepadamu, tidak pada Mama dan Papanya,” Amak mengusap kepalaku. Mata Amak berair, Amak menangis. Kenapa? Aku tak mengerti.

Apa ini hukuman bagiku, karena sudah mengajak Gadih bermain lilin ke gelanggang. “Apa Mama dan Papa Gadih marah padaku? Tidak apa. Tapi Gadih masih di luar sendirian. Kenapa tidak dibawa masuk? Kenapa Amak mengatakan Gadih pergi? Pergi ke mana, Mak?” Suaraku hilang-hilang timbul, yang kubisa hanya bertanya tanpa ada jawaban. Semua berbohong. Kukejar pintu, untuk menjemput Gadih. Takada Gadih lagi. Hanya lilin saja di sana. Dua puluh tujuh. Masih menyala terang.

“Jangan pergi lagi Gadih, aku kesepian,” kata itu. Kata yang belum sempat kuucapkan tadi. Tapi dia sudah pergi. Seperti kata Amak. Gadih sudah pergi. Meninggalkanku.

***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *