CerbungFEATUREDSastra Kita

Kami (bukan) Tinta Berdasi

Oleh: Martha Syaflina el-Kutuby

Prolog

“Kamu mau tetap di sini atau ke luar?” kata Rafles dengan mata tajam.

Gadis itu masih terdiam mendengarkan suara Rafles sekaligus ayahnya. Raut wajah Rafles sangat serius. Matanya memandang tajam wajah takut gadis itu. Sesekali dia memainkan pulpennya di meja Pimpinan Redaksi. Rasa tak sukanya terhadap anaknya mulai tampak.

Rafles melonggarkan dasinya. Menarik napasnya dalam-dalam. Sedalam pikirannya yang akan terusik nanti. Kursi pimpinan itu diputar ke belakang. Rafles memandangi dinding bercat biru muda. Ada logo media MMI News disana. Jari jemarinya bermain di pegangan kursi. 

Hanya berselang tiga puluh menit. Dia memutar lagi kursinya menghadap gadis itu. Bola matanya memerah. Seakan-akan tak percaya. Dia mengira anaknya akan mengikutinya. Tapi, tetap saja dia memaksakan.

“Besok, kamu harus tetap seperti ini. Jangan ada yang tahu kalau saya ayahmu. Paham!” Rafles berkata tegas.

Gadis itu memandang wajah ayahnya. Kaget. Entah untuk berapa lama dia harus bersembunyi seperti ini. Gadis itu menundukkan pandangannya. Memandang lantai keramik putih susu. Menghitung jaraknya seteliti mungkin. Mungkin saja jarak dia dan ayahnya seperti jarak keramik antar keramik. Namun, polos. Tanpa rasa.

Tangannya menggenggam satu sama lain. Merapatkan jari jemari kecilnya. Kursi hitam yang didudukinya itu berderik hingga ayahnya kaget.

Dia bangkit menuju pintu keluar. Dinding ruangan Rafles mencekam. Hening. Pandangan matanya berkeliling. 

***

Tahun 2000.

“Yah, aku ingin jadi seperti ayah. Bisa masuk TV. Pegang mikrofon,” kata gadis kecil itu.

“Oh ya?” Wajah ayahnya berbinar. 

Gadis itu menganggukkan wajahnya. Polos. Manis. Penuh harapan. Guratan kebahagiaan muncul dari wajah sang ayah. Semilir angin sore itu menandakan bisik-bisik masa depannya.

Pohon mangga di taman belakang melambai-lambaikan daunnya. Mengikuti cerita si gadis kecil dengan ayahnya. Buahnya nan ranum menilik masa-masa kenangan.

Rafles sibuk membolak-balik koran hari itu. Kakinya dilipat. Kopi hitam sore hidangan Bik Inah sudah mulai dingin. Hanya meninggalkan aroma pahit.

“Kamu harus banyak membaca dan menulis. Dengan itu, kamu bisa seperti ayah.”

Rafles mengelus rambut gadis kecil itu. Lalu, berlalu ke dalam rumah.

***

Tangis gadis itu pecah di luar ruangan ayahnya. Tubuhnya tersandar ke dinding. Kepalanya masih menunduk. Air matanya jatuh satu demi satu. Semakin lama semakin deras.

Hatinya sangat sakit. Dia mengepalkan tangan sekuat-kuatnya. Lalu, meletakkannya di dada. Sesak menekan ruangan tengah dadanya. 

“Ayah sudah berubah!” batinnya.

Sepi menghinggapi lorong itu. Lama berdiri, gadis itu semakin lemas. Kakinya lunglai. Akhirnya dia terduduk di lantai. 

Otaknya berkecamuk. Memilih diantara kebenaran dan kebohongan. Dia tak akan bisa melakukannya.

“Ini! Pakailah! Bangun!”

Seorang laki-laki datang dari arah luar lorong itu. Sudah satu jam dia memandangi gadis itu berdiri lalu duduk di depan ruangan Rafles.

Laki-laki berwajah dingin. Matanya tajam. Berkulit putih bersih. Rambutnya ikal tapi kurang terurus. Sebab, pekerjaannya jadi redaktur lapangan sungguh membuatnya sibuk. Ada lingkaran hitam di bawah matanya.

Gadis itu hanya menerima saja. Tanpa berkata apapun. Dia terus menangis dan menangis. Masih berdiri di sampingnya. Laki-laki itu hanya diam. Matanya juga mulai berkaca-kaca. Namun, ditahannya. 

“Masih mau disini?” lanjutnya.

Masih tetap menangis dan diam. Gadis itu menundukkan kepalanya semakin dalam. Menaruh jidatnya di antara rapatan lututnya. 

“Menurutmu, aku akan menyerah?” suara berat itu keluar juga

“Kalau begitu, berdirilah!”

“Tunggu! Kamu boleh pergi. Biarkan saja aku sendiri.”

Laki-laki itu menuruti keinginan gadis itu. Dia pergi dan bersembunyi di persimpangan lorong arah ke ruangannya. 

Dia masih memperhatikan gadis itu dari kejauhan. Menunggunya hingga bisa bangkit. Wajahnya tak karuan. Matanya sesekali melihat persimpangan lorong. Berharap gadis itu muncul dan bilang “Aku kuat dan akan lanjutkan”.

Hanya bayangan sinar matahari dari kaca gedung media besar yang terlihat. Laki-laki itu memutar badannya dan memandang keluar. Ada taman hijau di luar ruangan. Bertepatan dengan ruangan kumpul karyawan ketika istirahat.

Lama dia menunggu gadis itu. Tetap saja tak muncul. Rasa penasarannya membuatnya ingin kembali ke tempat gadis itu.

Dia memulai langkah pertamanya. Lalu, berbalik lagi. Memulai lagi. Balik lagi. Sudah tiga kali. 

“Bodo amat, dah. Aku mau lihat dia.”

Akhirnya dia memberanikan diri untuk melangkahkan kaki melihat gadis itu. Baru saja akan berbelok di persimpangan lorong.

Bola matanya membulat besar. Wajahnya tegang. Bahunya sedikit naik. Kantuknya mulai hilang. Tanpa berpikir panjang. Dia lari menuju gadis itu.

“Ra…bangun, Ra!” cemasnya

***

Bersambung…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *