Secercah Harapan Mentari Pagi
Penulis: Annesa
Editor: Alvin Hanevi
Pagi ini tampak langit indah dengan awak yang berarak, mentari pagi masuk melalui celah-celah dari jendela kamarku yang masih tertutup gorden. Aku bangkit dari kasurku dan membuka gorden, sinar mentari masuk dengan bebas menyinari kamarku. Kubuka jendela dan kuhirup udara pagi yang belum tersentuh oleh polusi kota. Kupandangi langit sambil tersenyum, ‘hari ini pasti akan cerah pikirku.’ Hari ini adalah hari Minggu, hari ini aku akan membongkar barang-barangku dan merapikannya, sudah lama rasanya aku tidak membersihkan rumahku. Kuikat rambutku dan mulai dengan memindahkan barang barang yang perluku pindahkan ke gudang, rumahku tidak terlalu besar dan juga tidak terlalu sempit hanya saja aku jarang di rumah sehingga barang barangku tidak terlalu tersusun dengan rapi. Butuh waktu hampir setengah hari umtuk membereskan semua barang-barang di rumahku, kupandangi sudah hampir tersusun dengan rapi dan rumahku sudah hampir tampak sedikit luas karena sebagian barang barang sudah kupindakan ke gudang.
Sebenarnya temanku, Lucy, mengajakku pergi ke festival yang tak jauh dari rumahku malam ini, hanya saja aku ingin menghabiskan waktu di rumah hari ini. Kemarin aku menemukan diary lamaku di gudang, diary itu cukup tebal dan sudah lama aku tidak menyentuh diary itu. Hari ini aku ingin di rumah dan menghabiskan waktu membaca dan mengenang masa laluku. Aku ingin beristirahat sejenak dari hiruk piruk kota. Kubergegas membersihkan diri setelah itu membuat makanan dan secangkir teh lemon. Kusetel musik lo-fi kesukaanku melalui speaker bluetoot, kutaruh teh dan beberapa biskuit di meja kecil di samping jendela, lembaran pertama dari buku diaryku kubaca dengan senyum. Ingatan masa lalu yang cukup sulit kembali terbayang.
Tahun ajaran baru 2016, hari ini adalah hari Senin, hari pertama di SMA. Seperti biasa pasti akan ada upacara pagi sebelum belajar di kelas masing-masing. Sayangnya hari pertamaku di SMA tidak sesuai yang aku harapkan, aku sudah bela-belaan untuk tidak mengantar koran subuh tadi, ban sepedaku kempes, dan perlu ditambal, butuh waktu 15 menit menunggu ban sepedaku selesai ditambal. Jam delapan lewat lima belas menit aku berdiri di luar pagar dengan baju yang telah basah kuyup dan rambut lepek karena keringat yang becucuran. Salah seorang guru laki-laki yang mengenakan baju olahraga memandangku dengan heran sekaligus jijik. Di samping kiri kananku berdiri siswi perempuan yang dapat aku pastikan mereka juga terlambat. Meraka memandangku dengan pandangan yang tak jauh berbeda dengan guru tadi, mereka agak sedikit bergser badan dengan menutup hidungnya.
Selesai upacara 3 siswi yang terlambat termasuk aku diantaranya dimintai untuk tinggal dahulu di lapangan, kami ditanyai pertanyaan klasik ‘kenapa terlambat’ dan beberapa nasehat dan peringatan untuk kami agar tidak lagi mengulanginya. Hari pertama kembali ke sekolah kali ini tidak berjalan dengan baik, ban sepedaku kempes dan aku terlambat. Saat memasuki kelas, kulihat seorang guru perempuan duduk di depan kelas sambil berbicara dan kalimatnya terhenti karna melihatku baru datang. Kuucapkan salam, guru perempuan itu mempersilaku masuk dan melanutkan apa yang dia bahas sebelumnya. Semua mata tertuju padaku, kulihat tidak ada lagi kursi yang dapat kutempati kecuali bagian paling belakang. Bagiku tak masalah, lebih baik seperti ini dibandingkan aku harus duduk ditengah-tengah dan menahan malu akibat pandangan orang dan sikap orang yang melihat keadaan lusuhku yang sekarang.
Guru perempuan itu merupakan yang akan menjadi wali kelasku kedepannya, banyak hal yang dia sampaikan dan akhirnya meminta semua siswa yang ada di kelas untuk memperkenalkan diri. Dimulai dari anak yang duduk di barisan depan dan diikuti seterusnya. Dan dapat dipastikan aku anak terakhir yang akan memperkenalkan diri, kupikir tidak akan terlalu banyak yang akan memperhatikanku.
“Perkenalkan nama saya Alma Puteri, saya sebelumnya…” beberapa orang siswa menahan tawa salah seorang di antar mereka berbisik “putri babi kali hahaha lihat badannya hahaha” aku terdiam dan dapat mendengar dengan jelas kalimat hinaan itu, tapi dengan tenang kulanjutkan kalimatku dengan menutup mata. Aku sudah hapal dari dulu, pasti akan ada saja yang akan menghinaku dihari pertama masuk sekolah, ini cukup kutanggapi saja dengan diam. Aku sebenarnya sakit hati mendengar hinaan-hinaan itu, tapi memang begitulah fisikku, gendut, besar, tinggi, rambut panjang sebahu dikuncir tak karuan, lusuh dan mudah berkeringat. Mungkin hanya satu yang dapatku banggakan wajah yang tidak terlalu jelek, standar.
Hari-hari di SMA kulalui dengan biasa, tidak ada teman dan banyak menerima hinaan. Bagiku tak masalah, sudah bisa diterima di SMA aku bersyukur, dengan keadaan ekonomi keluargaku yang bisa dibilang tak dapat menolong kehidupan kami sehari-hari. Aku anak pertama dikeluargaku, ibu ku tidak dapat bekerja karena tubuhnya lemah, anakku yang paling kecil juga butuh uang karna dia baru saja masuk SD, ayahku? Jangan tanyakan padaku, aku bahkan tidak mengingat lagi bagaimana wajahnya. Ayahku pergi dari rumah saat aku kelas 5 SD. Setahuku ayah pergi karena tidak sanggup lagi menghidupi keluargannya dan memutuskan pergi dari rumah. Sejak saat itu ibulah yang menjadi tulang punggung keluarga kami. Aku mulai membantu ekonomi keluarga dengan berjualan kue hasil buatan ibu dan juga aku mengantarkan koran dipagi hari. Pulang sekolah aku tidak pulang aku harus bekerja dulu di toko swalayan yang tidak jauh dari rumahku.
Kulangkahkan kaki dengan berat masuk ke kelas menuju tempat dudukku paling belakang. Tapi baru saja kakiku akan melangkah masuk ke kelas, “Babi, baru cuci rambut ya? Tidak sempat dikeringin atau gimana? Lepek banget tau hahaha…” hinaan sejenis ini sering dilontarkan padaku setiap pagi. Awalnya kupikir ejekan serta hinaan yang teman-teman sekelasku hanya berlangsung beberapa minggu pertama masuk sekolah, tapi ini sudah hampir tiga bulan dan mereka masih betah menjadikanku bahan tertawaan. Apakah semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin tidak ada sikap saling menghargai dan menghormati satu sama lain? Mereka bahkan tidak pernah tahu dimana aku tinggal bagaimana aku bisa kesekolah, dengan apa aku kesekolah. Mereka hanya senang mengejek dan menghina kekuranganku. Mereka bahkan tidak tahu kalau setiap pagi aku berusaha mengantar koran awal-awal dan harus mengayuh sepada sekuat tenaga sejauh 7 km meter untuk bisa sampai ke sekolah tanpa harus terlambat.
“Selain babi, dia juga tuli ternyata hahaha… lihatlah baju lusuh dan bau keringat, aku mau muntah mencium baunya” seisi kelas tertawa mendengar hinaan tersebut dan bahkan beberapa dari mereka sengaja melempariku dengan gulungan kertas. Pagi itu betapa ramai dan ributnya kelas, mereka tampak begitu bahagia menertawakan bagaimana diriku. Aku hanya bisa menahan air mata dan mencoba untuk tidak peduli.
“Ada apa ini?! Kenapa ribut?!” suara Pak Danang guru bahasa Indonesia menggelegar memenuhi ruang kelas, keributan yang memekak tadi hening seketika, “Suara murid kelas ini berisik sekali macam pasar, sampai terdengar suara kalian ke kantor guru, kalian pagi-pagi sudah bikin masalah, mau saya seret kalina satu satu ke kantor guru, kalian?!” tak ada yang menjawab dan diam seribu bahasa dan tak ada juga yang berani melawan. Hampir semua isi kelas menunduk ketakutan mendengar ancaman Pak Danang. Aku merasa beruntung dengan kedatangan Pak Danang, setidaknya teman-teman sekelasku secara tidak langsung telah berhenti sejenak menertawakanku.
Matahari beranjak naik dan panasnya mulai menyengat kulit, ditambah dengan adanya ulangan hari ini, ada dua mata pelajaran yang harus diulangankan. Aku bahkan semalam tidak belajar untuk ulangan hari ini. untuk belajar dimalam hari aku tidak bisa karna aku sudah begitu lelah dari pagi hingga sore belajar di sekolah dan setelah itu aku juga harus bekerja sepulang dari sekolah, aku bahkan tidak punya waktu belajar. Dan aku bisa pastikan ke dua ulanganku pasti hancur nantinya. Dan aku perlu bersiap-siap untuk dipanggil ke kantor guru mengahdap guru yang bersangutan dengan ulangan tersebut, atau bisa saja aku akan diceramahi habis habisan oleh wali kelasku Bu Tati.
Teng… teng… teng… lonceng tanda pulangpun berbunyi,murid murid berhamburan keluar kelas kegirangan dan bersiap untuk pulang beristirahat.
Pagi ini langit tampak mendung, angin berhembus tidak begitu kencang tapi memberikan hawa dingin yang begitu menusuk pagi ini. Suasa hatiku tidak karuan, tidak ada semangat bagiku seperti setiap pagi sebelum-sebelumnya. “Sepertinya akan hari ini aku akan menjalani hari yang begitu berat” gumamku. Kuparkirkan sepeda reyotku ke dinding di tempat parkiran di sekolahku. Kulangkahkan kaki dengan berat menuju kelasku yang letaknya sederetan dengan ruang kantor guru tapi berada paling ujung. Baru saja aku hendak melangkah menuju pintu kelas sudah dapat kudengar teman-teman sekelasku bersiap memulai aksinya. Lagi-lagi aku hanya akan bersikap tak acuh dan hanya akan diam di tempat dudukku seraya berdoa dalam hati agar gru yang mengajar hari ini segera masuk ke kelas. Tapi sayangnya doaku hari ini tidak dikabulkan, guru yang mengajar hari ini sedang tidak dapat masuk kelas karna harus pergi ada keperluan pagi itu. Jadilah selama dua jam pelajaran yang kosong diisi oleh teman-teman sekelasku dengan menggangguku.
Ketika jam istirahat mereka tak mengizinkanku keluar kelas dan malah mengunciku di kelas. “Lebih baik putri babi itu di kelas saja, jaga kelas jangan sampai kabur ya hahaha..” Andre si pembuat masalah yang dari awal masuk sekolah tak bosan-bosannya mengganggu. Aku bahkan tidak dapat menangis sangking kesal dengan perbuatan orang-orang yang merendahkanku. Tak hanya sampai disitu, sepulang sekolah pun aku juga kembali dikurung di kelas, padahal aku harus menemui Bu Tati wali kelasku. Aku hanya bisa diam dikelas dan berharap salah seorang petugas kebersihan sekolah lewat membantuku keluar dari kelas.
“Alma?!” aku yang terduduk di lantai menghadap pintu kelas, terkejut mendengar suara wanita yang familiar kudengar. “Ini siapa yang mengunci kamu di kelas?” aku hanya diam dan menunduk malu mendengar perkataan Bu Tati. “Sebentar Ibu akan cari Pak Eko dulu buat bukakan pintu” Tak lama Bu Tati dan Pak Eko penjaga sekolah datang dengan membawa kuci untuk membukakan kelas. Bu Tati memintaku untuk ke kantornya sebentar, dan menanyakan apa yang sebenarnya terjadi padaku.
“Alma, kamu jawab yang jujur, siapa yang mengunci kamu di kelas? Apa ini sering terjadi? Kalau saja tadi ibu tidak cek ke kelas kamu, mungkin kamu akan bermalam di sekolah.” Aku hanya bisa diam dan tak bisa menjawab. Aku tadi bisa saja berteriak meminta seseorang untuk menolongku membukakan pintu kelas, hanya saja aku terlalu takut dan pengecut. Aku tidak punya keberanian dan hanya bisa pasrah. “Alma, kamu tidak bisa hanya diam saja, Ibu perlu tahu apa yang terjadi.” Bu Tati melanjutkan kalimatnya dengan nada yang begitu kasian melihatku. “Alma, jika kamu ada maslah dan kamu diperlakukan seperti ini terus menerus kamu tidak bisa diam saja dan hanya menerimanya, kamu perlu melawannya jangan kamu tinjukkan apa kelemahanmu. Orang-orang yang memperlakukanmu seperti ini tidak boleh dibiarkan saja menginjak-nginjak harga diri kamu. Kamu bisa bilang ke Ibu atau ke guru lainnya, kami sebagai guru akan memberika solusinya untuk kamu dan mengatasi masalah kamu.” Aku hanya diamdan menitikkan air mata mendengarkan Bu Tati berbicara seperti itu padaku. Baru kali ini ku dianggap ada dan dipedulikan oleh seseorang, sebelumnya tak ada sisapapun yang mengerti bagaimana masalahku. Akupun hanya bisa memendam pada akhirnya. Hari itu kupustuskan untuk menceritakan segala masalah yang aku hadapi pada Bu Tati.
Setelah kuceritakan semua keluh kesahku, ku lihat mata Bu Tati berkaca-kaca mendengarkan sederatan masalah yang aku hadapi. “Alma, apapun yang terjadi dan apapun masalahmu jangan pernah kamu pendam sendiri dan jangan hanya diam pasrah menerima segalanya. Ini akan mempengaruhi diri kamu nantinya, pada akademik kamu juga akan berdampak. Ini sama saja kamu juga tidak menyayangi diri kamu sendiri. Kamu masih panjang masa depan kamu, kamu masih membutuhkan orang-orang dapat membantu kamu. Kamu tidak hidup sendirian selama ini Alma. Ibu dan guru-guru yang yang lain akan membantu masalah kamu. Dan saat orang lain mengganggu kamu, kamu berhak melawan, saat orang lain menghina kamu buktikan bahwa hinaan itu tidak berlaku padamu. Ibu berharap kamu dapat ebih terbuka dengan masalah seperti ini. kamu juga berhak merasakan kenyamanan selama bersekolah, selama belajar.” Aku diam dan mendengarkan setiap kata yang disampaikan Bu Tati.
Hari itu, rasanya beban yang kupikul seperti berkurang setangah. Perasaanku mulai agak lega. Mendengarkan nasehat Bu Tati membuatku menjadi lebih bisa mengerti bagaimana menghadapi masalahku. Berbicara dengan seseorang yang dapat mendengarkan dan memberikan solusi terhadap masalahku membuat hatiku merasa nyaman.
Aku langsung pulang ke rumah, aku bolos bekerja hari itu, sesampai di rumah terus kupikirkan agar aku tidak lagi pasrah dengan sikap anak-anak yang selalu menggangguku. Dan yang perlu aku lakukan adalah keberanian.
Awalnya memang agak sulit melakukannya, tapi aku tidak ingin dipandang rendah oleh orang-orang. Aku bertekad pada diriku aku harus menjadi seseorang yang dapat menginspirasi siapapun tanpa memandang siapa aku. Aku selalu berbicara dengan Bu Tati tentang beberapa hal yang membuatku tak nyaman. Bu Tati telah menjadi seseorang yang sangat berati bagiku. Tanpa bantuan dan nasehatnya aku tidak akan bisa menunukkan siapa aku dan bersikap lebih percaya diri. Aku sungguh bangga dapat bertemu dengan seorang guru yang dapat mengerti bagaimana muridnya.
Sudah hampir tiga tahun lamanya aku menduduki bangku SMA dan segala halnya sudah mulai berbeda. Beberapa hal sudah ada peningkatan pada diriku, aku tidak ada lagi di hina ataupun ditertawakan lagi seperti dulu, walaupun masih ada yang berbicara dibelakangku. Tapi aku abaikan saja. Kemudian hasil belajarku juga sudah meningakat sejak aku mulai membuka diri. Aku lebih aktif saat pembelajaran. Aku juga sudah memanagemen waktuku dengan baik, sehingga aku bisa lebih maksimal belajar.
Aku juga membuktikan bahwa fisik dan kekurang bukan menjadi penghalang lagi. Bu Tati juga menasehatiku bahwa aku juga harus mengejar cita-citaku tanpa memandang bagaimana dirimu dan kemampuanmu. Aku selalu mengingat apapun yang Bu Tati katakan padaku. Aku sangat berterima kasih pada Bu Tati, karna kalau tanpanya, mungkin aku tidak akan berubah dan akan tetap menjadi Alma yang pegecut.
Setelah lulus dari SMA aku memilih untuk mengambil kuliah di kependidikan, sebab aku ingin menjadi seseorang yang juga dapat menginspirasi siapapun, seperti bagaimana Bu Tati memberikanku inspirasi. Bu Tati mengingatkanku dengan Kartini yang juga menginspirasi wanita-wanita di Indonesia.
Ingatanku tentang masa lalu membuatku sedih sekaligus terharu dengan bagaimana aku bisa berubah dan bangkit dari ketidak percayaan diriku. Sekarang aku juga sudah tidak lagi gemuk, aku mulai mengubah pola makanku dengan lebih baik sejak aku mulai masuk dunia perkuliahan. Dan sejak saat itu berat badanku mulai berkurang. Orang-orang tak lagi memandang fisikku yang gendut, orang-orang akan mendangku dengan tatapan bahwa aku adaah seseorang yang ceria.
Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam, aku terhanyut dalam kisah hidupku hingga aku tidak sadar bahwa sudah lama aku duduk membaca diaryku tanpa jeda. Kupadang langit malam yang bertaburan kelap-kelip bintang, malam itu bulan tidak tampak, angin malam menghembus wajahku pelan menemani hari Mingguku yang akan segera berlalu.